Saturday, September 11, 2010

Mario dan Parade Kemiskinan di Istana

Siang itu, ratusan rakyat jelata "menumpuk" di trotoar sepanjang Jalan Majapahit. Tepat di depan gerbang besi gedung Sekretariat Negara, mereka antri untuk dipanggil masuk ke dalam komplek Istana Kepresidenan, dan berlebaran dengan keluarga Presiden.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono, siang itu, menggelar "open house" di Istana Negara. Mereka memberi kesempatan kepada masyarakat yang ingin bersilaturahim pada Lebaran hari pertama atau Idul Fitri 1 Syawal 1431 Hijriah.

Jauh hari sebelumnya, Sekretariat Negara telah mengumumkan "open house" di Istana Negara berlangsung pukul 15.00-17.30 WIB.

Untuk itu, masyarakat dipersilakan menuju Istana Negara melalui pintu Sekretariat Negara di Jl Majapahit No.7 yang mulai dibuka pada pukul 14.00 WIB dan akan ditutup pada pukul 16.30 WIB.

Kegiatan "open house" atau silaturahim bagi masyarakat itu adalah salah satu dari sejumlah rangkaian acara Pak Presiden dan keluarga dalam merayakan Lebaran.

Sebelum menerima masyarakat umum, Presiden lebih dahulu menerima Wakil Presiden Boediono dan Ibu Herawati, para menteri, dan pejabat negara lainnya

Pada hari kedua Idul Fitri, Presiden Yudhoyono dan keluarga dijadwalkan akan berhalal bihalal dengan Ibunda Presiden Yudhoyono, Ny Siti Habibah, serta para keluarga sepuh Presiden. Dengan demikian, rakyat harus mengurungkan niat mereka untuk berlebaran di kediaman pribadi Presiden di Cikeas, Bogor, seperti biasa dilakukan beberapa tahun sebelumnya.



Parade kemiskinan

Tidak gampang untuk masuk Istana. Rakyat harus mengenakan pakaian rapi, serta tidak diperkenankan membawa tas, kamera, dan telepon genggam.

Maka tak heran jika sebagian orang terlihat memaksakan diri dan memutar otak guna tampil rapi seperti yang diminta pihak Istana.

Setelah tampil rapi, mereka harus mendaftarkan diri untuk kemudian dikelompokkan oleh panitia sebagai orang yang layak memegang kartu dengan warna tertentu. Tak seorangpun dari mereka tahu maksud pengelompokan itu.

Mereka yang termasuk "jenis" manusia yang layak masuk Istana akan dipanggil dan harus melalui dua tempat transit yang terhubung dengan koridor beratapkan tenda sebagai peneduh, sebelum bisa menatap Presiden secara langsung.

Pada Lebaran kali ini, Pak SBY memberi kesempatan warga untuk berlebaran di Istana, menatap presiden secara langsung, serta sekedar menjabat tangan orang nomor satu di Indonesia itu selama sekian detik dan kemudian pergi.

Setelah keluar dari dalam Istana, sebagian besar dari mereka menghabiskan waktu di sekitar taman komplek Sekretariat Negara. Beberapa bergerombol, beberapa menyendiri.

Taman komplek Sekretariat Negara seketika menjelma menjadi ruang publik, tanpa sekat sosial. Seketika itu pula larangan menginjak rumput taman dilanggar.

Tidak hanya aturan yang seragam dalam silaturahmi di Istana, namun juga niat para pengunjung. Sejauh kaki melangkah di taman, kasak-kusuk atau bahkan teriakan kekecewaan terdengar dengan mudah.

"Kagak ada apa-apanya, gak ada duitnya," teriak seorang dari mereka.

Bahkan seorang pria yang terlihat segar bugar, bukan tuna netra, secara jelas meluapkan rasa kecewa dan iri karena hanya para tuna netra yang mendapat "uang saku" dari Istana.

"Masa cuma yang cacat yang dikasih," kata pria yang menolak ketika ditanya siapa namanya.

Beberapa tuna netra mengaku menerima uang Rp100 ribu per orang dari Istana.

Beberapa orang dengan jelas memperlihatkan kekecewaan. Bahkan seorang ibu yang nampak sehat, segar bugar, mengiba kepada petugas keamanan untuk bisa masuk ke istana meski waktu yang disediakan sudah habis.

Ibu yang mengenakan busana kantor berwarna biru muda itu merengek dan memaksa petugas keamanan untuk mengantarkannya masuk ke dalam Istana.

Namun, lagi-lagi, ketika ditanya identitas dan motvasi masuk ke Istana, ibu itu diam dan menolak manjawab.

Ketidaksabaran rakyat dalam menuai belas kasih Istana itu sebenarnya nampak sejak awal. Ratusan orang berdesakan, memaksa petugas membuka gerbang meski saatnya belum tiba.

Mereka yang sehat tidak mau kalah, mendorong, menyikut, berteriak. Mereka yang tuna netra terdorong dan terinjak.

Satu nyawa melayang dalam kejadian itu. Joni Malela (45), seorang tuna netra, menghembuskan nafas terakhir setelah terdesak ratusan orang di sekitarnya.






Harga diri

Mario adalah salah satu dari ratusan orang itu. Meski sama-sama masuk ke Istana, namun pemuda itu memiliki motivasi berbeda.

Senyum Mario merekah ketika menginjakkan kaki di komplek Istana Kepresidenan. Pemuda itu bersemangat untuk merayakan Lebaran di Istana bersama Presiden Yudhoyono. Semangat itu pula yang mendorongnya bangun pagi, kemudian melangkahkan kaki demi menjabat tangan pemimpin negeri.

Mario tampak laiknya pemuda biasa. Dan memang seperti itu adanya, sederhana.

Namun, di balik kesederhanaan itu, jelas terlihat pemuda 25 tahun itu berusaha memperindah diri untuk bertemu Presiden. Sepasang sepatu putih yang agak kecoklatan, karena termakan usia, membungkus kedua telapak kakinya.

Celana panjang berwarna biru ia kenakan untuk disandingkan dengan kaos putih. Untuk ukuran badan yang tidak terlalu gempal, kaos itu memang terlalu besar.

Namun, sepertinya, Mario tidak ambil pusing. Dia tetap riang, sigap bergerak, meski kadang kaosnya berkibar bak layar perahu yang tertiup angin.

Kalung yang menyerupai rantai terbuat dari logam melingkar di lehernya. Kilau logam itu semakin nyata karena menempel di kulit yang legam.

Sepintas, Mario hanyalah pemuda biasa. Dia hanya remaja yang beruntung memiliki fisik sehat. Namun, harga diri dan semangat yang berapi-api membuatnya menjadi luar biasa.

Dia langsung bergegas pulang, tanpa meluangkan waktu bersungut-sungut karena tidak mendapatkan "uang saku".

"Saya sudah dapat kue," kata Mario bersyukur.

Dia justru sepakat jika santunan hanya diberikan hanya kepada mereka yang membutuhkan, terutama para tuna netra.

Meski tidak ada yang bisa menjamin ketulusan hati para tuna netra tersebut, Mario beranggapan ketidaksempurnaan fisik membuat para tuna netra pantas mendapatkan santunan.

"Karena itu, mereka memang pantas dibantu," katanya pemuda asal Papua yang baru setahun tinggal di Jakarta itu.

Dia mengaku tidak memiliki niat lain selain berjabat tangan dengan presiden. Begitu senangnya dia berhasil menjabat tangan presiden, Mariopun selalu mengumbar senyum dalam perjalanan pulang.

Gerakannya sigap, jalannya cepat. Kedua kakinya terlihat nyaman dalam balutan sepatu yang tak lagi baru itu.

Di tengah perjalanan, Mario berbelok arah menuju halte bus Transjakarta yang akan membawanya ke kawasan Cempaka Putih dengan lebih cepat.

"Saya harus kembali bekerja," katanya bersemangat, tersenyum, melambaikan tangan, dan kembali bergegas.

Dia memilih bekerja ketika ratusan orang lain bersungut-sugut menunggu pintu Istana terbuka kembali, berharap belas kasih, memelas.


Salam memelas
F.X. Lilik Dwi Mardjianto