Wednesday, November 17, 2010

Bersahabat Dengan Sapi Pak Presiden

Dua ekor sapi itu berada di dalam komplek Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu pagi. Keduanya diikat dengan tali kekang pada bagian leher dan kepala. Kemudian, tali kekang itu diikatkan pada dua batang pohon.

Kedua sapi itu berada di dalam taman, tepat di samping salah satu pintu masuk masjid yang konon paling besar se-Asia Tenggara itu.
Pintu masuk itu adalah pintu khusus karena akan dilewati oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Presiden dan Ibu negara berada di Masjid Istiqlal untuk menunaikan shalat Idul Adha 1431 H.

Dinding di sekitar pintu masuk itu berhias kain warna-warni. Warna merah, putih, dan biru sangat dominan di ruangan itu.

Sejumlah pejabat negara dan beberapa pasukan pengamanan bersiaga di lokasi tersebut. Bahkan, taman tempat dua ekor sapi itu berada juga tak luput dari penjagaan khusus.

Singkat kata, dua ekor sapi yang akan dikurbankan itu beruntung. Bagaimana tidak? berdasar pantauan, hanya dua sapi itu--selain tentunya para pejabat negara--yang bisa berada di dekat presiden saat orang nomor satu itu memasuki Istiqlal. Sementara itu, hewan kurban yang lain ditempatkan jauh dari pintu masuk tersebut.

Maklum saja, dua ekor sapi itu adalah hewan kurban yang diserahkan oleh Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono kepada pengelola Masjid Istiqlal.


Yunus bersaudara

Meski berada di taman dan dekat dengan pintu masuk bagi presiden, kedua sapi itu terlihat tidak begitu nyaman.

Kedua hewan kurban itu beberapa kali mengibaskan ekor ke segala arah. Mereka bahkan kadang memukulkan ekor ke bagian tubuh tertentu.

Mereka hentakkan kaki keras-keras, sambil sesekali mendongakkan kepala ke atas sehingga tali kekang yang membelenggu mereka menegang.

Sapi-sapi itu terlihat berusaha menghilangkan tanah basah yang melekat pada kaki mereka, dengan menghentakkan kaki atau mengoleskan tanah itu ke pohon atau bagian tubuh yang lain.

Hanya sebagian kaki-kaki sapi itu yang kotor. Selebihnya, kedua sapi itu tampak putih bersih. Tidak ada bercak tanah basah atau kotoran lain melekat pada tubuh hewan tambun itu.

Adalah Wahyu Yunus yang mampu mengenali gerak tubuh sapi-sapi tersebut. Dia bahkan berani menegaskan, kedua sapi itu tidak merasa nyaman berdiri di tanah basah yang mengotori sebagian kakinya.

"Biasanya mereka berdiri di atas karpet karet," katanya tenang.

Bersama saudaranya, Muqorrobin Yunus, Wahyu bagaikan sahabat karib kedua sapi itu. Mereka begitu mengenal tingkah laku dan kebiasaan dua hewan kurban itu.

Wahyu Yunus dan Muqorrobin Yunus adalah kakak beradik yang didaulat untuk merawat sapi pesanan Presiden dan Wakil Presiden.

Bersama ayah mereka, Wahyu dan Muqorrobin mengelola bisnis perawatan sapi di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.

Menurut Wahyu, bisnis yang dikelola keluarganya selalu diminta oleh pihak Istana Kepresidenan untuk merawat sapi khusus, terutama setiap kali presiden dan wakil presiden akan berkurban pada Hari Raya Idul Adha.

Dengan bangga, Wahyu Yunus mengaku telah merawat "sapi kepresidenan" yang dijadikan hewan kurban sejak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pada 2004.


Sapi emosional


Yunus bersaudara merawat sapi milik Presiden dan Wakil Presiden selama kurang lebih satu bulan, sebelum dikurbankan di Istiqlal.

Kakak beradik itu membagi pekerjaan untuk menunaikan tugas mulia tersebut. Sang kakak, Wahyu Yunus, bertugas mengurus sapi milik Presiden Yudhoyono. Sedangkan si adik, Muqorrobin Yunus, bertugas merawat sapi pesanan Wakil Presiden Boediono.
Meski ada pembagian tugas, mereka saling membantu dalam bekerja.

Setiap sapi memiliki sifat berbeda, kata Muqorrobin Yunus. Untuk tahun ini, sapi milik Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono cukup emosional.

"Mereka kadang marah, tidak mau dipegang bagian tubuh tertentu," katanya.
Menurut Muqorrobin, sapi-sapi itu juga tidak senang jika tidak ditempatkan di tempat yang tidak senyaman lokasi perawatan.

Dia kemudian menjelaskan, sapi-sapi pesanan itu tidak nyaman berdiri di atas tanah basah di samping Istiqlal karena keduanya biasa berdiri di lantai yang dilapisi karpet yang terbuat dari karet.

Meski demikian, Yunus bersaudara memperlakukan sapi-sapi "istimewa" itu laiknya sahabat. Mereka merawat dan memberikan makanan khusus.

Mereka juga memandikan sapi-sapi itu secara rutin terutama menjelang dibawa ke Istiqlal, tempat penyerahan sapi dari Presiden Yudhoyono kepada pengelola masjid.

Selain itu, kakak beradik itu juga menyediakan makanan sehat. Secara rutin, mereka menyediakan kulit jagung, ampas tahu, kedelai, dan singkong untuk pakan.

Muqorrobin menjelaskan, berbagai jenis pakan itu digiling atau diaduk menjadi satu. Adonan pakan itu kemudian dicampur garam secukupnya supaya lebih berasa.

Tidak ada waktu khusus untuk memberi makan sapi-sapi itu. Menurut Muqorrobin, sapi pesanan presiden dan wapres itu hobi makan.

"Jadi kalau sudah terlihat lapar, ya langsung kita kasih makan lagi," katanya.

Muqorrobin mengatakan, pakan khusus itu terbukti menyehatkan dan bisa menambah bobot sapi. Setelah menjalani perawatan sebulan penuh, katanya, sapi milik presiden berbobot 1,8 ton dan sapi milik wakil presiden berbobot 1,2 ton dalam usia tujuh tahun.

Meski bercerita banyak tentang cara perawatan sapi, Yunus bersaudara tidak mau buka mulut ketika ditanya tentang jenis dan harga sapi yang beratnya diukur dalam satuan "ton" itu.

Keduanya juga tidak mau menjawab ketika ditanya jumlah honor untuk merawat dua "sapi kepresidenan" itu.

Berdasarkan ciri fisik, sapi milik presiden dan wakil presiden itu termasuk jenis Sapi Ongole. Setidaknya hal itu diuraikan dalam laman Kementerian Pertanian.

Ciri-ciri fisik Sapi Ongole yang diuraikan dalam laman itu sama persis dengan ciri sapi milik presiden dan wakil presiden yang "dipajang" di Masjid Istiqlal.

Sapi Ongole adalah sapi potong yang berwarna putih. Beberapa bagian tubuhnya, terutama ujung ekor dan hidung, berwarna hitam.

Sapi jenis ini bergelambir, mulai dari rahang hingga dada. Dia berbadan besar, panjang, berpunuk, dan bertanduk. Hewan ini juga memiliki daya adaptasi yang cukup baik, serta bisa tumbuh dengan cepat.

Sebuah biro iklan di Ciputat, Jakarta Selatan, mematok harga Rp12 juta untuk seekor sapi jenis ini dengan berat 350 kilogram.

Sedangkan data Dinas Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat pada September 2010 merinci, harga sapi jenis ini bisa mencapai Rp35 ribu per kilogram berat hidup.

Sementara itu, Kementerian Pertanian pada Mei 2010 menyatakan harga rata-rata sapi potong adalah Rp25 ribu per kilogram berat hidup.

Berdasar harga rata-rata sapi potong versi Kementerian Pertanian, maka Presiden Yudhoyono harus mengalokasikan dana sedikitnya Rp45 juta untuk membeli seekor sapi dengan berat 1,8 ton. Sebuah harga yang jauh lebih tinggi daripada harga sapi milik korban dan pengungsi letusan Gunung Merapi yang akan diganti pemerintah dengan uang Rp5 juta sampai Rp10 juta per ekor.
*****

Foto: koleksi pribadi
Cerita ini juga bisa dibaca di: http://www.antaranews.com/berita/1289973525/bersahabat-dengan-sapi-pak-presiden

Thursday, November 11, 2010

Tampilan Baru Podium Pak Presiden

Rene Decartes yang jago filsafat pernah bilang, "Cogito Ergo Sum" atau "Aku berpikir maka aku ada". Tapi, untuk tulisan ini, aku cuma mau bilang,..."Aku ber-podium, maka aku ada."

Pagi itu, kegiatan Pak Presiden SBY di depan rakyatnya diawali di ruang wartawan yang berada di kantor presiden. Sejak pukul delapan pagi, puluhan juru warta sudah berkumpul untuk mendengarkan titah Sang Kepala Negara tentang rencana kunjungan kerja ke Korea Selatan dan Jepang.

Sejumlah penyangga kamera berderet rapi di baris paling depan. Sedangkan para juru tulis atau wartawan cetak berada di belakang penyangga tersebut.

Saya sendiri kurang mengerti mengapa pihak istana mengatur urutan sedemikian rupa. Oh, mungkin saja memang ada arahan agar sorot kamera tidak terganggu hilir mudik wartawan cetak. Maklum saja, gambar pak presiden yang rupawan akan kacau balau kalau terhalang makhluk-makhluk jelata itu.

Pagi itu, perhatian tertuju pada Podium Garuda--sebuah podium andalan Pak SBY setiap kali berpidato. Konon, istana memiliki sejumlah podium yang sama persis dan harus selalu ada setiap kali presiden ingin berpidato, kapanpun..dimanapun; di puncak dataran tinggi Yahukimo sekalipun.

Aku yang gampang kagum--atau kata orang Jawa "gumunan"--mencoba mengintip. Oalah, ternyata para abdi Pak Presiden sedang menata ulang tampilan podium andalan itu.

Satu hal yang kutangkap adalah, para abdi itu berusaha sedemikian rupa agar mikorofon para wartawan televisi bisa "nangkring" di podium dengan rapi. Entah kenapa harus begitu.

Tidak cukup satu orang untuk mempercantik podium pak SBY. Dengan sigap, beberapa orang memasang penyangga khusus di atas podium. Penyangga itu akan menyangga mikrofon dengan rapi, sehingga tampilan pak presiden di layar kaca akan semakin yahud.



Sebelumnya, Pak SBY tidak pernah berpidato menghadap deretan mikrofon. Biasanya, podium pak presiden selalu polos, hanya dilengkapi dua tiang mikrofon khusus yang memang dirancang menempel pada podium itu. Dua mikrofon itu "menjulur" dari permukaan podium ke arah mulut pak presiden.


Entah kenapa kini harus ada mikrofon wartawan televisi yang tersusun rapi di atas podium. Pikiran bebalku melayang ke peristiwa ketika Pak Yudhoyono tidak jadi berpidato di Halim Perdanakusuma.

Mungkin teman-teman masih ingat, waktu itu presiden menunda pidato karena mikrofon televisi tidak diletakkan di atas podium. Padahal biasanya mikrofon wartawan tidak pernah mengarah ke pak SBY. Biasanya, mikrofon selalu mengarah ke pengeras suara yang berada di sudut ruangan atau di belakang barisan wartawan.

Para abdi menangkap kekecewaan pak presiden. Dengan segala daya upaya, para abdi berusaha menyusun mikrofon televisi di atas podium. Tidak ada alat penyangga khusus waktu itu. Tak apalah mikrofon tidak tersusun rapi. Yang penting bapak senang.

Lagi-lagi aku terlalu bodoh untuk berpikir, bahkan terlalu bebal untuk menduga kenapa Pak SBY ingin sekali berpidato di depan mikrofon wartawan televisi.

Saat itu, yang terlintas di otakku adalah: pak presiden merasa pidatonya begitu berharga sehingga wartawan televisi rela menumpuk-numpuk mikrofon di podium. Eits...tunggu dulu, saya hanya bilang pak presiden MERASA pidatonya berharga.

Kembali ke ruang wartawan di kantor presiden. Atas usaha keras para abdi, akhirnya mikrofon para wartawan televisi bisa tersusun rapi di atas podium. Dengan begitu, gambar pak presiden yang muncul di televisi akan semakin mantap. Kesan penting serta berharganya setiap kata yang keluar dari mulut presiden akan tetap terjaga.



Mungkin anda bertanya, kok yang diurus hanya mikrofon yang terhubung langsung ke kamera wartawan televisi? bagaimana dengan alat rekam suara milik wartawan cetak? Sayapun bingung. Oh, mungkin karena belum ada alat rekam suara yang bisa menampilkan gambar pak presiden yang rupawan.

*****

foto-foto: koleksi pribadi, www.antarafoto.com, dan www.antaranews.com

Wednesday, November 10, 2010

"Apa Kabar Indonesia," Kata Obama

Menanyakan kabar adalah hal pertama yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Barack Obama begitu menginjakkan kaki di teras Istana Merdeka, Jakarta, Selasa.

Ucapan itu terlontar sesaat setelah dia disambut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono di beranda istana.

"Apa kabar," katanya kepada semua orang dalam bahasa Indonesia yang boleh dikatakan fasih.

Tentu saja, pertanyaan itu dijawab serempak, "baik pak". Jawaban itu memang tidak salah, meski pada kenyataannya, rencana penyambutan Obama di kompleks Istana Kepresidenan berubah total akibat hujan.

Lebih jauh lagi, jawaban "baik" itu tidak selaras dengan kenyataan bahwa ratusan nyawa melayang dan ribuan warga Kepulauan Mentawai, Yogyakarta, dan Jawa Tengah terpisah dari kampung halaman karena terpaksa menjadi pengungsi.

"Kabar buruk" tentang perubahan mendadak rangkaian acara kunjungan kenegaraan Presiden Obama terjadi sekitar pukul 16.00 WIB, atau beberapa saat sebelum Obama dan rombongan tiba di Bandara Halim Perdanakusuma. Saat itu, tiba-tiba hujan deras mengguyur ibu kota Jakarta.

Alhasil, kompleks Istana Kepresidenan diguyur hujan lebat, tepat ketika segala persiapan menyambut kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama sedang dilakukan.

Akibat hujan, sejumlah perlengkapan yang akan digunakan untuk menyambut Obama di halaman Istana Merdeka basah kuyup.

Panggung kehormatan yang tepat berada di depan istana tak luput dari guyuran air hujan. Sejumlah penyangga kamera televisi yang sudah disiagakan juga basah.

Para pekerja istana dan beberapa wartawan nampak sibuk memindahkan peralatan itu ke tempat yang tidak terkena hujan.

Rencananya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menyambut Obama dalam upacara resmi kenegaraan di halaman depan Istana Merdeka.

Sesudah menggelar pertemuan bilateral, rencananya kedua kepala negara akan menggelar konferensi pers di halaman tengah komplek istana. Untuk itu, panggung berukuran besar dan deretan kursi untuk menampung 300 wartawan telah disiapkan. Lengkap dengan karpet merah tentunya.

Rencana pun gagal total. Upacara penyambutan akhirnya digelar di teras Istana Merdeka. Presiden Yudhoyono, Presiden Obama, Ani Yudhoyono dan Michele Obama beserta puluhan pasukan pengamanan dan wartawan "berjubel" di teras itu.

Panggung "raksasa" dan karpet merah di halaman istana juga basah kuyup dan sia-sia, karena konferensi pers akhirnya digelar di dalam istana.

"Kabar buruk" lainnya muncul tepat saat kedua presiden bertukar harapan tentang hubungan baik kedua negara, di tengah hamparan berbagai hidangan jamuan makan malam kenegaraan. Saat itu, gempa mengguncang Tasikmalaya dan daerah sekitarnya, serta membuat warga di daerah itu panik.

Gempa dengan kekuatan cukup besar itu berlangsung beberapa detik namun hampir sebagian besar warga merasakannya dan berhamburan keluar rumah.



Romantisme

Presiden Amerika Serikat Barack Obama bersama Michele Obama, berada di Jakarta untuk melakukan kunjungan kenegaraan dan sejumlah agenda kerja lainnya.

Obama tiba di Istana Merdeka Jakarta, Selasa sore, dan langsung disambut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Belasan mobil yang tergabung dalam iring-iringan kendaraan yang mengantar Obama tiba di Istana Merdeka tepat pukul 17.00 WIB.

Setibanya di halaman samping Istana Merdeka, Obama dan Michele disambut langsung oleh Presiden Yudhoyono dan Ibu Negara.

Keempatnya tampak akrab dan saling berjabat tangan. Sesaat kemudian, keempatnya menuju teras Istana untuk upacara penyambutan.

Sebagian orang menganggap kedatangan Obama ke Indonesia adalah "kabar baik". Bahkan, sebagian orang mungkin menganggap kedatangannya ke tanah air adalah "berkah". Setidaknya hal itu bisa dilihat dari setumpuk harapan kerjasama di berbagai bidang yang dibahas dalam pertemuan bilateral kedua negara.

Presiden Yudhoyono berharap, kerja sama itu bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Namun, hal yang pasti menjadi topik pembicaraan dalam kunjungan Obama adalah "romantisme" masa lalu. Maklum, Obama menghabiskan masa kecil di Jakarta.

Harapan itu pun tidak terlalu muluk. Hal itu terbukti benar karena Obama memang kembali mengurai untaian kenangan yang menghiasi benaknya selama di Jakarta, puluhan tahun silam.

Barack "Berry" Obama terkenang masa lalunya ketika dia berada di Indonesia terutama tentang "becak" dan "bemo", kendaraan khas Jakarta yang sering dia jumpai pada masa kecilnya.

"Tahun 1967, saat itu orang-orang naik becak, kereta yang dikayuh dengan roda tiga. Dan kalau tidak naik becak mereka naik bemo," kata Obama saat menggelar konferensi pers bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa malam.

Saking melekatnya kenangan masa lalu itu, Obama bahkan menjelaskan apa yang dimaksud dengan bemo.

"Jadi seperti taksi kecil dan orang bisa duduk atau berdiri di belakang. Sangat padat," katanya sembari tersenyum dan disambut gelak tawa hadirin.

Menurut Obama, kembali ke tempat yang dulu pernah ditinggali adalah hal yang luar biasa.

Namun demikian, Obama mengaku mengalami disorientasi ketika kembali ke Jakarta setelah puluhan tahun ditinggalkan. Menurut Obama, Jakarta sudah menjadi jauh lebih baik dibanding pada saat dia tinggal dulu.

"Saya rasa itu luar biasa untuk kembali," katanya

Romantisme memang disinggung oleh Obama. Namun, hal itu tidak selamanya menjadi "kabar baik" bagi warga negara Indonesia, khususnya mereka yang mengidolakan atau berharap banyak terhadap Obama.

Sebab, di akhir untaian romantisme masa lalu, Obama menegaskan masa lalu bukanlah tujuan utama Obama di Indonesia. Obama memilih menatap ke depan, daripada terbuai kenangan masa lalu.

"Hari ini sebagai presiden saya berfokus bukan pada masa lalu, tapi masa depan," katanya.

Sebuah pelajaran berharga dari Obama. Dia berusaha jujur dengan berkata tidak mementingkan romantisme masa lalu, meski banyak orang akan kecewa dengan pernyataan itu.

Indonesia bisa meniru sikap jujur Obama itu dengan menyatakan bahwa kabar negeri ini sedang "buruk" akibat rentetan bencana alam dan keterpurukan ekonomi. Indonesia juga bisa memilih menatap masa depan, melepaskan dari kungkungan masa lalu, dan fokus pada usaha meringankan penderitaan rakyat yang sekarang sedang terjadi.
*****

foto: http://antarafoto.com/cari/v1289308812/kunjungan-presiden-obama

Monday, November 01, 2010

Belajar Narsis Bersama Pejabat

Malam itu, udara Shanghai menusuk tulang. Ketika udara itu bergerak karena perbedaan tekanan dan menghempasku, tubuh ini semakin menggigil.

Maaf kalau berlebihan, maklum saja, tubuhku terlalu terbiasa terpanggang panas dan tersembur asap yang keluar dari knalpot berkarat sejumlah kendaraan di Jakarta.

Aku semakin terkagum-kagum ketika sadar bahwa sebagian besar kendaraan di Shanghai, terutama angkutan umum, adalah kendaraan listrik tak berasap. Di beberapa tempat yang sudah disediakan, kendaraan-kendaraan itu berhenti untuk mengisi ulang daya listrik mereka.

Sekali lagi aku minta maaf, kali ini karena bersikap kampungan. Maklum, selama aku hidup di Jakarta, aku hanya melihat ratusan angkutan kota meraung, dengan asap mengepul, dan kadang antri mengular untuk mengisi bahan bakar minyak yang harganya terus melangit.

Ah sudahlah. Singkatnya, karena keberuntunganku, aku sampai ke negeri tirai bambu itu. Karena keberuntungan pula, aku bisa menikmati suasana, sekaligus mengintip aktivitas para pejabat kita yang melakukan kunjungan kerja di sana. Kuulangi sekali lagi, kunjungan kerja.

Akhir Oktober ini, Pak Presiden SBY memang dijadwalkan berkunjung ke Shanghai untuk melakukan sejumlah pekerjaan, mulai dari menghadiri forum pengusaha hingga mengunjungi pavilion Indonesia yang berada di World Expo 2010.

Tentu saja pak presiden tidak sendiri. Seperti biasa, sang istri dan anak bungsunya ikut. Beberapa petinggi, namun masih kalah tinggi dari pak SBY, juga tak mau ketinggalan.

Sore menjelang malam, rombongan tiba di sebuah hotel mewah, tepat di jantung kota. Malam itu, pak presiden menghabiskan waktu dengan bertemu sejumlah kalangan, terutama pebisnis yang sedang menggelar forum bisnis tentang segala macam investasi di Indonesia.

Singkatnya, segala sumber daya alam tanah air kita ditawarkan untuk dieksploitasi para pengusaha dari negeri tirai bambu.

Keesokan harinya, rombongan menuju World Expo 2010. Hanya dalam waktu 20 menit dari hotel dengan mengendarai mobil, kami sampai di lokasi pameran budaya dan teknologi yang diikuti sejumlah negara itu.

Rencananya, keluarga presiden dan para pejabat lainnya akan mengunjungi pavilion Indonesia. Pavilion kita ini, kata Pak SBY, patut dibanggakan karena menjadi salah satu pavilion favorit.

Saya kembali bersyukur karena diperbolehkan ikut pameran semegah itu. Maklum, selama ini saya hanya sering melihat pameran foto atau lukisan amatiran tentang kemiskinan di tanah air.

Rasa syukur itu terutama saya tujukan kepada para pejabat yang, secara tidak langsung, telah mengajari saya untuk menjadi narsis. Sampai saat itu, saya memaknai kata narsis secara positif, yaitu mengagumi dan menjaga diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Cerita dimulai ketika rombongan presiden mampir ke pavilion China. Dengan pengawalan ketat, rombongan yang berisi sejumlah petinggi negeri itu diarahkan ke lantai 14 atau puncak tertinggi dari sekian banyak pavilion yang dipamerkan.

Dari puncak itu, Shanghai memperlihatkan kecantikannya. Deretan gedung beringkat teratur rapi. Rastusan gedung itu tertata apik dalam setiap blok-blok kota yang terlihat simatris. Sejumlah jembatan dengan desain menawan, melangkung di atas sungai yang mengalir lancar tanpa tersendat sampah.

Pak presiden dan para pengikutnya meluangkan waktu untuk menikmati keindahan itu. Beliau terkesima dengan keindahan yang dihasilkan oleh cipta, rasa, dan karsa manusia itu.

Mungkin karena kesadaran akan berharganya manusia yang dikaruniai cipta, rasa, dan karsa itu, pak presiden dan keluarga menyempatkan diri untuk berfoto dengan latar belakang kota Shanghai. Ya, mumpung di Shanghai yang eloknya berlipat ganda bila dibandingkan dengan Jakarta.

Tanpa dikomando, semua alat kelangkapan, protokol, tim pendukung, dan pasukan pengaman langsung menyiapkan tempat ketika kalimat "sepertinya bagus foto di sini" diucapkan pak presiden.

Putra bungsu, mas Ibas, juga langsung merapat ketika puluhan kamera membidik pak presiden dan ibu Ani yang selalu berdampingan.

Meski berlangsung singkat, sesi foto itu mungkin telah menghasilkan ratusan 'frame' karena jumlah kamera yang membidik sangatlah banyak. Bahkan, beberapa kamera adalah kamera canggih yang bisa menghasilkan puluhan gambar dalam satu detik.

Saat itu saya juga baru tahu kalau gejala narsis ternyata menular. Sekali lagi, saat itu saya berpikir positif, bahwa narsis adalah wujud rasa syukur dalam bentuk penghargaan diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Bukti bahwa narsis itu menular bisa dilihat dari gelagat sejumlah pejabat juga menyempatkan diri untuk berfoto di tengah agenda kerja yang padat.

Di atap pavilion China itu, beberapa dari mereka menyuruh ajudan yang selalu mendampingi untuk memotret. Setelah memantau lokasi yang cocok dan mengatur gaya semenarik mungkin, tombol bidikpun ditekan. Jadilah foto dengan latar belakang hingar bingar kota Shanghai.

Saya semakin takjub melihat kesigapan pejabat lain yang main tarik siapapun yang berada di dekatnya, dengan satu tujuan; meminta tolong untuk dipotret. Senyum mereka tersungging begitu kamera membidik.

Pajabat kita benar-benar sigap, berpikir cepat, dan berpikir global. Setelah saya bertanya kepada teman yang melek teknologi dan komputer, sifat seperti itu bisa disebut sebagai "multi tasking".

Betapa tidak, para pembesar itu berpikir cepat dan bertindak sigap begitu melihat latar belakang yang bagus untuk dijadikan obyek foto. Mereka juga berbikir global karena bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu, yaitu melakukan kunjungan kerja yang padat dan mengagumi diri dalam waktu yang bersamaan.

Semakin kagum kektika aku melihat para pemegang amanat rakyat itu bisa bekerjasama dengan baik. Mereka bisa membagi tugas dengan sesama pejabat, ajudan, dan staf.

Dengan sesama pejabat, mereka bisa bergurau, tertawa terbahak dalam setiap pembicaraan tentang nasib bangsa.

Dengan para ajudan dan staf, mereka juga berbagi tugas. Pembagian tugas itu sangat tegas; para staf bertugas membawa setumpuk data dan dokumen penting, sedangkan para pajabat bertugas membawa kamera foto.

Ya, kamera foto lekat di tangan mereka untuk berjaga-jaga jika mendadak menemukan latar belakang yang bagus untuk diabadikan.

Aku sering mendengar kata narsis, terutama dalam pembicaraan dengan rekan-rekan sebaya. Biasa saja, tidak ada yang negatif dalam kosa kata itu.

Namun, bulu kudukku mendadak berdiri setelah membaca pengertian padanan kata itu dalam kamus Oxford yang sering menjadi penolongku.

Padanan paling mendekati kata narsis dalam kamus itu adalah "narcissism" yang masuk kelas kata benda.

Kamus itu memberikan definisi "narcissism" dari sisi disiplin ilmu psikoanalisa, sebagai "Kecenderungan pemusatan pada diri sendiri yang timbul akibat ketidakmampuan untuk membedakan diri sendiri dan obyek-obyek di sekitarnya, dan sebagai ciri kekacauan mental."

Aku semakin bergidik, miris, dan merasa bersalah ketika menyandingkan definisi psikoanalisa naris dengan apa yang dilakukan oleh para pembesar kita di Shanghai.