Thursday, December 09, 2010

Yogyakarta dalam Ancaman Kisruh Pengelolaan Tanah

Pemerintah Pusat akan mengatur keistimewaan Yogyakarta. Niat pemerintah yang dituangkan dalam sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) itu menuai kritik dan penolakan dari sebagian rakyat Yogyakarta.

Polemik keistimewaan Yogyakarta itu berpusat pada kedudukan Sultan Hamengkubuwono X dan penerusnya sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pemerintah Pusat menginginkan gubernur DIY dipilih langsung melalui pemilihan umum, sedangkan rakyat Yogyakarta ingin Sultan ditetapkan langsung sebagai gubernur.

Perdebatan masih berkutat soal kepemimpinan Yogyakarta. Padahal, jika dicermati lebih dalam, pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyikapi polemik itu berisi sejumlah catatan yang akan dicantumkan dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Substansi keistimewaan yang dimaksud presiden itu antara lain hal-hal yang berkaitan dengan sisi pemerintahan, terutama posisi gubernur dan wakil gubernur yang pas dan yang khusus bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Presiden juga menyinggung perlakukan khusus dan peran istimewa bagi pewaris Kesultanan dan Pakualaman secara permanen.

Dan yang tak kalah penting, kepala negara juga menyinggung masalah pengelolaan tanah--kebutuhan dasar dan aset yang sangat berharga bagi sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk Yogyakarta.

"Tentang hak ekslusif pengelolaan tanah di Yogyakarta, baik yang menjadi otoritas Kesultanan maupun Pakualaman dan tata ruang khusus pula bagi Daerah Istimewa Yogyakarta," kata presiden.


Sistem khusus

Yogyakarta terkenal dengan sistem khusus pengelolaan tanah. Bahkan, Undang-undang Pokok Agraria seakan tidak kuasa menembus sistem pengelolaan mandiri terhadap tanah keraton atau yang lebih dikenal dengan Sultan Ground itu.

Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan, Sultan Ground merupakan tanah adat peninggalan leluhur yang dimiliki oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sultan Hamengkubuwono X menyebut tanah keraton sebagai tanah-tanah raja dan keluarga keraton, situs, magersari, serta tanah garapan kosong.

Tanah keraton terhampar luas di berbagai daerah di Yogyakarta. Kabupaten Bantul, misalnya, mengelola ribuan hektare tanah keraton yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Sebagai contoh, Desa Selopamioro, Imogiri, Kabupaten Bantul mengelola tanah keraton seluas 500 hektare. Tanah itu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, penghijauan, tempat ibadah, dan pemakaman. Selain itu, Sekolah Polisi Negara (SPN) juga memanfaatkan tanah keraton seluas 26 hektare untuk kegiatan pendidikan di kawasan itu.

Dokumentasi Dinas Pertanahan DIY pada 2007 mencatat pemanfaatan serupa di Desa Karang Tengah, Imogiri. Tanah keraton seluas 58,5 hektare di kawasan itu dimanfaatkan untuk transmigrasi lokal, kawasan pertanian, dan konservasi tanaman langka.

Tanah keraton di Kabupaten Bantul itu hanya salah satu contoh. Tanah keraton yang lain tersebar hampir di semua kabupaten di Yogyakarta.

Salah satu pemanfaatan tanah keraton adalah untuk tempat tinggal rakyat Yogyakarta dengan status magersari. Rakyat boleh memanfaatkan tanah, dengan kesadaran penuh bahwa status tanah itu adalah milik keraton.

Penduduk setempat yang menempati tanah itu tidak memiliki sertifikat. Mereka hanya berbekal Serat Kekancingan atau surat yang dikeluarkan Keraton tentang penggunaan tanah.

Keraton menugaskan sejumlah abdi dalem yang tergabung dalam satuan khusus pengelolaan tanah bernama Paniti Kismo. Satuan khusus ini memiliki struktur organisasi yang tertata apik hingga tingkat desa.

Paniti Kismo memiliki otoritas mengelola pemanfaatan tanah keraton untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat Yogyakarta.

Menurut Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, rakyat yang berbekal Serat Kekancingan tidak dibebani pembayaran pajak kepada Paniti Kismo dan keraton.

Bahkan, rakyat juga tidak perlu menyerahkan Glondhong Pengarem-arem atau uang yang diberikan oleh rakyat Yogyakarta kepada keraton sebagai ucapan terima kasih karena boleh menggunakan tanah keraton.

Singkat kata, tanah milik keraton itu digunakan secara gratis oleh rakyat Yogyakarta. Rakyat bisa menempati tanah itu secara turun temurun tanpa beban pajak.


Sikap Sultan

Sri Sultan Hamengkubuwono X belum bersuara lantang tentang niat Pemerintah Pusat untuk mengatur keistimewaan Yogyakarta.

Sultan juga belum menyinggung soal pengelolaan tanah yang disebut oleh Presiden Yudhoyono sebagai salah satu substansi yang akan diatur dalam RUU keistimewaan Yogyakarta. Hingga kini, pemerintah pun belum menjelaskan secara rinci substansi pengelolaan tanah dalam RUU tersebut.

Sebenarnya Pemerintah Pusat dan DPR RI telah membahas RUU keistimewaan Yogyakarta pada 2008. Saat itu sebagian besar fraksi telah menyepakati isi RUU. Fraksi Partai Demokrat adalah satu-satunya fraksi yang tidak setuju, khususnya tentang mekanisme pemilihan gubernur DIY.

Draf RUU yang dibahas pada 2008 juga menyinggung soal pengelolaan tanah. Pasal 9 ayat (1) draf RUU itu menyatakan, Kesultanan sebagai bagian dari Parardhya mempunyai hak milik atas tanah keraton atau Sultanaat Grond. Pasal yang sama juga menyatakan, Pakualaman mempunyai hak milik atas Pakualamanaat Grond.

Pengelolaan dan pemanfaatan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, pasal 39 draf tersebut mewajibkan Sultan tetap tunduk pada peraturan Pemerintah Pusat dengan mendaftarkan hasil konsolidasi dan klasifikasi tanah kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Sebenarnya, polemik tentang tanah keraton sudah muncul pada 2007, ketika muncul wacana tanah gratis bagi rakyat.

Saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X selaku Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta mengatakan, tanah milik keraton atau tanah kasultanan tidak mungkin termasuk tanah yang akan diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada warga miskin dalam program tanah gratis bagi rakyat.

"Tanah Kasultanan adalah tanah milik keraton, sehingga tidak mungkin tanah ini termasuk yang akan diberikan secara gratis oleh Pemerintah Pusat kepada warga miskin," katanya

Sultan mengatakan, keberadaan tanah milik keraton tidak akan terusik dengan program pemerintah dalam reformasi kebijakan agraria tersebut, karena tanah kasultanan bukan tanah milik pemerintah.

Menurut Sultan, selama ini sebagian dari Sultan Ground telah digunakan atau ditempati oleh rakyat, di antaranya untuk mendirikan rumah tinggal, gedung sekolah, dan perkantoran, tetapi tidak bisa mengambil alih hak kepemilikan tanah tersebut.

"Statusnya hanya menempati atau magersari, dan tidak bisa dimiliki," katanya.

Kini, dalam polemik di penghujung 2010, Sultan memilih diam untuk sementara. Dia belum membicarakan berbagai kemungkinan yang timbul akibat perubahan sistem pengelolaan tanah yang (bisa jadi) tidak lagi melibatkan Paniti Kismo.

Sultan belum menyikapi kemungkinan berkurangnya lahan pertanian, hunian, pusat budaya, dan konservasi tanaman langka karena menjelma menjadi kawasan bisnis akibat perubahan mekanisme pengelolaan tanah.

Sultan belum bicara tentang kemungkinan adanya "uang terimakasih" dari pengusaha kepada pejabat daerah dan pusat yang telah "melonggarkan" aturan pertanahan sehingga para pengusaha bebas masuk dan mengeruk kekayaan di Yogyakarta.

Sultan juga belum bereaksi terhadap kemungkinan pungutan pajak tanah kepada rakyat setelah Serat Kekancingan tak berlaku dan rakyat harus tunduk pada hukum agraria nasional.

Bahkan, Raja Yogyakarta itu belum memberikan pernyataan tentang kemungkinan hilangnya martabat keraton karena tak mampu lagi berbagi rasa dengan rakyatnya melalui sistem penataan tanah yang tidak saling membebani.

*****
Foto diunduh dari http://www.google.co.id/

Thursday, December 02, 2010

"Apel" di Atas Lambang Negara Republik Indonesia

Hari kedua Desember 2010.

Dengan langkah pelan Pak SBY menuju Podium Garuda kesayangannya. Sejumlah juru foto, juru kamera, dan juru tulis sudah bersiaga. Ya, mereka hendak mendengarkan pernyataan Pak Presiden tentang hal yang sangat penting, polemik Kraton Yogyakarta.

Pak SBY menjadi bahan berita beberapa hari terakhir, terutama setelah dia berucap tentang sistem monarki yang tidak mungkin sejalan dengan demokrasi.

Gunung Merapi seakan meletus kembali dan gempa Jogja seolah terulang setelah ucapan itu keluar dari mulut Pak SBY. Rakyat Jogja merasa Sang Presiden "memandang rendah" keyakinan mereka.

Di belakang Podium Garuda, Pak SBY memberikan klarifikasi. Saat itu, SBY menunjukkan niat baik untuk menghargai Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Saat itu juga, meski tidak terlalu nyambung, bapak mas Ibas itu menampilkan diri sebagai pribadi yang terbuka terhadap kemajuan, termasuk perkembangan teknologi.

Ya benar, komputer tablet iPad buktinya. Itu barang mahal, tentu untuk ukuranku yang melarat ini.

Perangkat elektronik bikinan Apple itu adalah barang baru di atas Podium Garuda. Anda mungkin masih ingat dengan cerita tentang Tampilan Baru Podium Pak Presiden. Cerita itu menggambarkan betapa presiden kita sangat sayang dengan Podium Garuda. Hanya ada beberapa benda yang boleh nangkring di atasnya, antara lain mikrofon podium dan mikrofon milik para wartawan televisi.

Nah, kini iPad menjadi barang baru di atas podium. Pak SBY tampak sigap mengoperasikan perangkat canggih itu. Sesekali dia melirik iPad selama berpidato di hadapan rakyatnya. Tanpa canggung, dia juga kadang menyentuh layar alat itu. Maklum, konon perangkat itu sangat menurut hanya dengan menyentuh dengan lembut layarnya yang licin.

Hati Pak Presiden jatuh dalam rengkuhan Apple. Sebenarnya pidato tentang Jogja bukanlah kali pertama Apple menemani SBY di depan kamera televisi. Sebelumnya, mereka sudah berdampingan dalam beberapa rapat terbatas ataupun rapat kabinet paripurna di kantor kepresidenan.

Siapa tak senang memiliki presiden yang "melek teknologi"? yang jelas, Pak SBY kini tampak lebih "update". Saya ikut senang, semoga tidak kebablasan menjadi aL4y :)

Tak terbayang aku menenteng perangkat mahal itu. Saking penasarannya, kucoba mencari tahu apa sih isi Apple iPad, hingga orang nomor satu di negeri ini begitu jatuh hati.

Laman resmi Apple menggambarkan, iPad adalah alat canggih dengan bentuk yang ramping. Tak perlu ribet dengan "keyboard" dan kabel kusut. Barang tanpa kabel ini memiliki layar yang sangat sensitif...tinggal sentuh, dunia menjadi milik anda.

Dengan mesin pencari cekatan yang "ditanam" di dalamnya, barang yang satu ini bisa menuntun anda berselancar di dunia maya tanpa batas...ya internet.

Surat elektronik? tentu saja. Anda akan mendapat pemberitahuan setiap kali ada surat elektronik masuk. Tanpa prangko...tanpa Pak Pos. Ya, ini berguna bagi Pak SBY yang selalu mengaku sangat memperhatikan rakyat yang ingin mengirim surat atau mengadu.

Alat ini juga menyimpan sejumlah perangkat lunak untuk membuat catatan penting, dan bahan presentasi lengkap dengan berbagai animasi grafik.

Foto? sudah pasti. Pak SBY bisa menyimpan ribuan foto. Bahkan, kalau mau, Pak SBY bisa membantu menampung foto-foto anak buahnya, para pejabat yang gemar berfoto dan membuat banyak orang belajar narsis.

Apple sesumbar, alat yang satu ini juga bisa menyimpan jutaan lagu dan ribuan video. Mudah-mudahan dengan bantuan iPad, Pak SBY yang juga pencipta lagu bisa semakin produktif...syukur-syukur bikin video klip.

Musik tak lengkap tanpa 'game', dan iPad mengerti itu. "Social game" adalah menu yang akan anda nikmati. Dengan alat ini, anda tidak akan kesepian, karena bisa bermain dengan orang lain meski mereka tidak ada di sebelah anda. Ya, anda bisa bermain dengan orang di ujung bumi sekalipun. Wah..pasti pak presiden bisa menghalau stress. Yang pasti, 'Game' akan melatih presiden untuk lebih cepat, tangkas, trengginas, dan lepas dari keraguan.

Anda juga bisa bernafas lega karena alat ini akan membantu anda supaya tidak tersesat. Peta pintar adalah jawabannya. Pak SBY yang sering pergi ke berbagai daerah dan luar negeri tentu sangat membutuhkannya.

Untuk sebuah iPad, anda harus merogoh kocek hingga 829 dolar AS, atau sekitar Rp8 juta.

Masih banyak keajaiban iPad. Saking banyaknya, saya tidak bisa menguraikannya satu per satu. Yang nyantol di kepalaku hanyalah hasil survey dari lembaga survey terkenal, Nielsen.

Nielsen menyatakan, iPad menempati urutan pertama dalam daftar alat elektronik yang dicari anak-anak usia 6 hingga 12 tahun, hehehehe.... :)


*****

Foto-foto:

http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1291288209/penjelasan-diy

http://www.apple.com/ipad/gallery/#hardware01

http://www.apple.com/ipad/design/

http://www.ivillage.com/so-if-menu-s-ipad/3-a-210614

Wednesday, December 01, 2010

Aksi Nyonya-Nyonya Pejabat di Pesisir

Hari pertama Desember 2010. Aku melanjutkan perjalanan ke desa Tanjung Pasir, Tangerang, Banten. Tidak sendiri memang. Saat itu, ribuan pasang kaki melangkah menuju pesisir desa tersebut. Ribuan pasang mata tertuju pada satu lokasi tempat sebuah tenda besar tegak berdiri.

Ya, orang-orang berdesakan di tenda itu. Beberapa orang sibuk mencari kursi tak bertuan dan bergegas mendudukinya. Beberapa orang lainnya memilih mengamati ribuan bibit pohon berbagai jenis yang diatur rapi di atas hamparan tanah berpasir, siap untuk ditanam.

Ada yang menarik perhatian. Sebagian besar dari mereka yang datang adalah wanita, kalau aku tidak salah lihat tentunya.

Dilihat dari cara bersolek, mereka bukan dari kalangan rakyat jelata sepertiku. Bedak yang menempel di muka mereka bisa dibilang tebal, gincu cerah mencolok memoles bibir mereka. Dan tentu saja, kaca mata hitam dan lebar bertengger di atas hidung.

Memang ada kaum adam di sana. Namun, kali ini, para pria harus mengakui dominasi perempuan yang juga nyonya-nyonya pejabat teras negeri ini.

Mereka berada di pesisir untuk menyambut Bu Ani Yudhoyono, istri Pak SBY. Bu Ani sedang punya hajat besar, yaitu gerakan peningkatan kualitas masyarakat dan lingkungan hidup di pesisir.

Harus saya akui, semangat nyonya-nyonya itu sungguh luar biasa. Mereka menyanyi, bertepuk tangan, sampai tertawa kecil hingga terbahak-bahak.

Ibu-ibu pejabat dan panitia sigap mempersiapkan segala sesuatu untuk satu tujuan, semua rangkaian acara berjalan lancar ketika Sang Ibu Negara tiba.

Laksana persiapan upacara bendera, semua yang hadir mengikuti sesi latihan sesuai tata urutan acara. Sang pembawa acara, mbak Tia Maryadi, luwes membacakan susunan acara sambil mengarahkan setiap anggota untuk melaksanakan tugas masing-masing.

Kaum jelata yang akan diberi bantuan atau santunan dilatih cara naik panggung, dan dibimbing harus berdiri di tempat tertentu di atas panggung. Petugas khusus--lengkap dengan alat komunikasi berkabel atau tanpa kabel-- dengan sabar menuntun mereka.

Sesi persiapan ini juga menyertakan tata cara bertepuk tangan sebagai salah satu "mata pelajaran". Semua hadirin harus tahu persis kapan harus bertepuk tangan.


"Ramah" lingkungan

Bu Ani tiba di tempat acara menjelang pukul sembilan pagi. Puji Tuhan, semua berjalan lancar. Semua petugas , penerima santunan, dan penonton berhasil menjalankan peran masing-masing. Berlatih dengan sungguh-sungguh terbukti tidak sia-sia.

Ibu Negara menyaksikan dengan seksama setiap rangkaian acara, hingga tiba gilirannya berpidato. Sang Ibu berpidato dengan lancar, tentu saja karena dibantu dengan teks yang sudah disiapkan sebelumnya.

Acara selanjutnya adalah menanam bibit pohon. Tunggu dulu, jangan Anda bayangkan kegiatan yang satu ini akan dilaksanakan dengan cara biasa. Setiap kegiatan nyonya pejabat, apalagi dihadiri oleh wanita nomor satu di republik, harus tertata rapi.

Panitia telah membuat ratusan lubang berdiameter sekitar 20 cm di hamparan pesisir yang luas, tepat di samping tenda tempat Bu Ani berpidato. Lubang-lubang itu berjajar rapi, dengan jarak yang terukur.

Di setiap lubang terdapat sebatang bibit pohon, ember, dan papan hijau bertuliskan nama nyonya pejabat lengkap dengan jenis bibit pohon yang ditanam. Handuk putih bersih diletakkan di atas papan tersebut. Dengan demikian, para nyonya tak perlu takut kotor. Hebat kan? Sungguh disiapkan dengan baik. Orang Inggris bilang, "well prepared".

Sesi menanam pohon dilakukan serempak. Sesaat setelah Bu Ani menekan tombol sirine, para nyonya pejabat serempak memasukkan bibit pohon ke lubang, menguruknya dengan tanah seperlunya, mengelap tangan,...dan biarkan petugas yang lain menyelesaikan sesi penanaman hingga tuntas.

Acara Nyonya-nyonya pejabat di pesisir ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Desa Tanjung Pasir dipilih sebagai tempat peresmian Desa Sejahtera hasil binaan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu.

Peresmian itu ditandai dengan bunyi sirine dan pelepasan ribuan balon karet warna-warni. Ribuan balon karet itu melayang tinggi dan sebagian jatuh di atas air laut, karena memang saat itu angin berhembus ke arah laut.


Aku membayangkan, semua balon itu pasti akan jatuh di laut atau di pesisir jika gas yang membuatnya melayang telah habis.

Keindahan balon itu sangat mungkin sirna dalam kurun waktu tertentu. Dan tidak mustahil, ribuan balon itu pada akhirnya akan menjadi sampah di pesisir.

Kucoba mencari tahu apa sebenarnya kandungan dalam karet yang menjadi bahan dasar pembuatan balon. Laman Institut Teknologi Bandung menyebut produk dan buangan industri karet sangat mungkin mengandung NH3 atau yang kita kenal sebagai amoniak. Bahan kimia ini berbau sangat menyengat dan bersifat racun untuk pernafasan manusia. Waduh...!?!
*****

Foto-foto: koleksi pribadi