Monday, February 07, 2011

Berpisah Dengan Orang Tua di Mesir

Rambut gadis itu berminyak. Bukan minyak wangi, namun minyak yang keluar dari pori-pori kulit kepala yang membasahi rambut sebahu itu.

Rambutnya saling silang, tak tersisir rapi layaknya bocah sebaya yang selalu dimanja dalam hangat dekapan orang tua.

Kaos lengan panjang bercorak garis-garis melintang yang dia kenakan memang masih terlihat cerah, namun kusut.

Afna, bocah yang baru empat tahun berada di dunia itu, harus merasakan sepinya hati. Dia terpisah dari kedua orang tuanya yang kini sedang mengadu nasib dalam kemelut di Mesir. Jarak dan waktu memisahkan mereka.

Di samping Afna, seorang bocah mungil lainnya duduk termangu. Namanya Ala, saudara sekandung Afna yang hanya dua tahun lebih tua.

Penampilan Ala tak jauh berbeda. Kaos kuning yang dia kenakan tak lagi rapi, terlipat tak teratur.

Matanya sembab dan basah oleh air mata yang terus mengalir. Jilbab yang menutup sebagian wajah tak mampu menutup kesedihan yang terpancar dari mata mungilnya.

Mulut mereka selalu terkatup, hanya terbuka ketika rintih tangis tak tertahan.


Kasih

Afna dan Ala masih bisa bercengkerama ketika Mesir masih damai. Mereka berada di negeri orang karena harus bersama sang ayah, Muhammad Taisri, yang sedang menuntut ilmu di Kairo. Sang ibu, Umi Khulsum, juga turut serta.

Keluarga itu hidup dalam kebersamaan, hingga pada akhirnya Mesir tersulut amarah demonstran yang menuntut Presiden Hosni Mubarak turun tahta.

Amuk masa membuat semua orang tertunduk haru, termasuk keluarga Afna. Namun, masih ada kasih di dalam amuk masa. Kasihlah yang menyelamatkan Afna dan Ala.

Setelah kerusuhan melanda Kairo, keadaan sangat mencekam. Semua orang seperti berlomba untuk lari dari kerusuhan. Beberapa dari mereka berusaha keluar dari Mesir, sedangkan yang lain tetap tinggal dan berusaha mengunci pintu rumah rapat-rapat.

Pemerintah sejumlah negara pun saling beradu cepat untuk menyelamatkan warga negaranya yang terjebak. Pemerintah Indonesia juga turun tangan.

Ribuan warga Indonesia tinggal di Mesir, jumlahnya sekitar 6.149 orang. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa beserta keluarganya, sedangkan sisanya adalah tenaga kerja dan wisatawan.

"Sekarang mereka berkomunikasi melalui 20 posko," kata Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa dalam keterangannya di Jakarta.

Beberapa hari setelah kerusuhan, para petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo mengumumkan bahwa akan dilakukan evakuasi udara bagi warga negara Indonesia.

Evakuasi itu akan dilakukan secara bertahap. Untuk itu, semua warga negara Indonesia diminta berkumpul di lokasi yang telah ditentukan. Setelah itu, petugas akan membimbing mereka ke bandara untuk selanjutnya diterbangkan menuju Tanah Air.

Afna, Ala, dan kedua orang tua mereka juga sibuk berbenah. Tak butuh waktu lama, mereka bergabung dengan rombongan menuju bandara dengan satu tujuan, pulang ke Indonesia.

Sesampainya di bandara, mereka masih harus menunggu. Keinginan untuk kembali ke Tanah Air harus dipendam sesaat setelah mereka mengetahui keterbatasan yang ada.

Pemerintah saat itu hanya menyediakan satu pesawat terbang berkapasitas sekitar 400 orang. Mau tidak mau, pemerintah harus membuat keputusan yang mungkin pahit bagi sebagian orang, termasuk keluarga Afna.

Hanya sebagian warga negara Indonesia yang bisa pulang saat itu. Orang tua Afna dan Ala tidak termasuk di dalamnya.

Pemerintah sebenarnya mengutamakan pemulangan kepada wanita dan anak-anak. Namun, nasib baik memang belum berpihak. Ibunda Afna tidak masuk dalam daftar.

Pada saat-saat yang menentukan itu, Muhammad Taisri dan Umi Khulsum membuat keputusan. Kasih membimbing mereka untuk tabah terpisah dari buah hati, Afna dan Ala.

Dua gadis kecil itu dititipkan kepada orang lain supaya bisa pulang ke Indonesia. Adalah Asep Anwar Mustofa (30) yang memikul kepercayaan untuk mengantar dua gadis itu ke Indonesia.

"Kita ketemu di airport, ternyata ini anaknya, kemudian mereka menitipkan ketika ketemu di bandara," kata Asep.

Pria asal Garut, Jawa Barat, itu juga mahasiswa di Kairo. Dia bersama istrinya, Kharifah Khairani, menerima tanggung jawab itu dengan tulus.


Mencekam

Asep dan Kharifah tak sampai hati untuk menolak permintaan rekannya. Dia tidak tega meninggalkan Afna dan Ala di Mesir yang sedang berkecamuk.

Selama penerbangan menuju Jakarta, kedua bocah itu selalu bersama Asep dan Kharifah. Bahkan, kata Kharifah, gadis-gadis mungil itu selalu memeluk erat.

Sejak saat itu, dia bertekad menyelamatkan Afna dan Ala.

"Pesannya supaya segera ditemukan dengan nenek mereka di Jakarta," kata Kharifah menirukan keinginan hati orang tua Afna dan Ala saat berpisah di Mesir.

Asep menambahkan, warga negara Indonesia di Kairo hanya berpikir bagaimana cara supaya keluar dari negeri itu.

Menurut dia, situasi Kairo sudah tidak terkendali dan mencekam. Semua warga tidak boleh keluar rumah sejak pukul tiga sore sampai tiga dini hari waktu setempat.

Ketika warga memutuskan untuk ke luar, mereka harus berhadapan dengan tentara.

"Di tiap belokan ada penjagaan dari tentara Mesir," kata Asep.

Asep juga menyatakan, jumlah makanan semakin menipis. Bahkan, katanya, persediaan bahan pangan di sejumlah tempat mulai habis. Kalaupun ada, harganya sangat mahal.

"Apalagi kami tidak bisa mengambil uang dari bank atau ATM," katanya menambahkan.

Suasana semakin mencekam, ketika sejumlah stasiun televisi memberitakan kaburnya puluhan tahanan dari penjara dan maraknya penjarahan.

Hal-hal itulah yang membuat Asep dan Kharifah mau membimbing Afna dan Ala pulang ke Indonesia.

Sedikitnya 411 warga negara Indonesia berhasil pulang ke Indonesia. Sujud syukur, tangis haru, hingga tawa berderai ketika mereka tiba di terminal haji Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Rabu (2/2) siang.

Mereka bertemu sanak saudara, saling berpelukan. Begitu banyak orang berkumpul, sehingga kursi yang berjajar rapi di terminal itu terpakai, tak tersisa.

Di kursi barisan depan, Afna duduk di pangkuan Kharifah. Dia peluk erat tubuh perempuan yang bukan ibunya itu, dengan mata yang masih berkaca-kaca.

Di sebelahnya, Ala bersandar lunglai di bahu Asep. Lelaki yang bukan ayahnya itu tak henti mengelus pundak si gadis kecil.

Afna dan Ala masih harus menunggu untuk bisa bertemu orang tua yang masih bertahan hidup di Mesir.