Thursday, May 31, 2012

Politik Sastra Politik


Sastra bisa dinikmati dengan menggunakan dua pendekatan, bentuk dan isi. Pendekatan bentuk memungkinkan seseorang mengidentifikasi apakah sebuah karya sastra masuk dalam kategori prosa, sajak, atau yang lain—lengkap dengan ciri khas masing-masing. Sedangkan melalui analisis isi, seorang akan masuk dan tenggelam lebih dalam dalam lautan cerita yang disuguhkan.
Namun, dalam konteks kritik sastra, kedua hal itu sering dipertentangkan. Beberapa kalangan menganggap krtik sastra hanya bisa menyentuh “bentuk”. Dengan kata lain, isi atau substansi sebuah karya adalah wilayah terlarang bagi seorang kritikus. Mereka beralasan, niai suatu karya sastra terletak pada eksistensinya, keberadaannya. Melihat keberadaan suatu karya berarti melihat bentuk karya tersebut[1]. Sementara itu, kalangan lain beranggapan kedua wilayah itu—bentuk dan isi—adalah area bebas alias tak bertuan, sehingga kritikus bebas bertualang dengan leluasa di dalamnya. Antonio Gramsci adalah pemikir yang bersikeras bahwa kritik atau analisis sastra bisa menembus ruang isi. Dengan membahas makna, suatu analisis akan terasa lengkap dan berisi (Liftschitz dan Salamini, 2004)[2].
Buku kumpulan puisi esai Atas Nama Cinta adalah sebuah karya yang laik menjadi obyek analisis dengan menggunakan pendekatan bentuk dan isi secara bersamaan. Lima puisi esai karya Denny J. A. ada di dalam buku tersebut. Format puisi esai menjadi pilihan Denny untuk berkarya dan mengungkapkan cinta sekaligus kegelisahannya terhadap realitas sosial-politik yang kadang penuh diskriminasi. Format puisi esai dan kegelisahan terhadap diskriminasi itulah yang menjadi batu loncatan bagi penulis untuk “mengiris” dan “menusuk” lebih dalam dengan menggunakan Politik Sastra Politik sebagai pisaunya.
Politik Sastra Politik adalah untaian tiga kata yang ditawarkan oleh penulis untuk memasuki dua alam analisis, yaitu alam bentuk dan isi. Politik Sastra Politik bisa memiliki dua makna sekaligus—hanya dengan melesapkan dua kata politik secara bergantian. Pelesapan pertama menghasilan Politik Sastra yang digunakan oleh penulis untuk menganalisis bentuk. Sedangkan pelesapan kedua memunculkan Sastra Politik, yang digunakan untuk mengurai substansi sebuah karya.

Politik Sastra
            Katrin Bandel, seorang doktor kelahiran Jerman yang menekuni sastra Indonesia, pernah mengulas politik sastra melalui analisis tentang kecenderungan pola pikir masyarakat mengenai sastra, perempuan, dan seks. Ia menekankan, kebiasaan publik yang secara otomatis menganggap sejumlah sastrawan perempuan selalu mengumbar soal seks merupakan salah satu periode politik sastra di Indonesia[3].
Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia online mengartikan politik sebagai kebijakan. Dalam bidang kebahasaaan, KBBI menyamakan politik dengan ketentuan yang bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan masalah kebahasaan[4]. Merujuk kepada sederet pengertian itu, penulis memberanikan diri untuk menawarkan salah satu makna politik sastra, yaitu semacam kesepahaman tentang hal-hal terkait dengan sastra. Jika pembicaraan diperuncing menjadi pembahasan tentang bentuk karya sastra, maka politik sastra bisa dimaknai sebagai kesepahaman tentang bentuk-bentuk karya sastra.
            Posa dan puisi atau sajak jelas adalah bentuk-bentuk karya sastra. Selama puluhan tahun, masyarakat meyakini bahwa masing-masing bentuk sastra itu memiliki ciri-ciri yang khas. Puisi, misalnya, pernah diyakini sebagai karangan yang terikiat oleh baris dan bait, oleh irama dan rima, dan oleh jumlah kata dan suku kata (Atmazaki, 1993). Pakar yang lain, Jakob Sumardjo mengartikan puisi sebagai bentuk pengucapan sastra dengan bahasa yang istimewa, bukan bahasa biasa. Prinsip puisi adalah berkata sedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin (Sumardjo, 1984).
Sapu Tangan Fang Yin adalah salah satu karya Denny J. A. dalam buku Atas Nama Cinta. Oleh pengarangnya, Sapu Tangan Fang Yin—dan empat karya lain di dalam buku itu—disebut dengan istilah puisi esai.
Sapu Tangan Fang Yin bercerita tentang permenungan seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan pada pertengahan Mei 1998. Dari segi bentuk, karya itu terdiri dari 13 bagian. Masing-masing bagian terdiri dari sejumlah bait. Dan setiap bait terdiri dari sejumlah baris. Sampai di sini, puisi esai itu nampaknya padu dengan politik puisi yang pernah berkembang pada masanya. Namun, setelah mengamati lebih rinci, karya ini menembus garis batas ”kepatutan” sebuah puisi. Ia menggunakan bahasa yang lugas dan tidak mengumbar metafora; ia tidak terpaku pada jumlah dan keserasian kata, suku kata, rima, dan irama; ia seakan tak berpola.
 Karya itu seakan mendobrak kebuntuan berekspresi yang disebabkan oleh “kesepakatan” angkatan sebelumnya. Dobrakan serupa sebenarnya sudah dilakukan oleh angkatan 45 dan penganut paham puisi modern. Mereka bercerita secara lebih lugas dan kadang terlepas dari estetika bentuk sebuah puisi. Namun, sesuatu yang mucul dalam Sapu Tangan Fang Yin adalah fenomena yang berbeda. Ia memang melepas belenggu. Akan tetapi—pada saat yang sama—ia mengawinkan konsep penulisan esai dengan tatanan penulisan puisi. Ia menggunakan bahasa yang lugas dan data yang tegas, namun masih sesekali mengandalkan kekuatan personifikasi. Sebaliknya, ia terwujud dalam sederet bait, namun terlepas dari ketentuan tentang keserasian kata, suku kata, rima, dan irama.

Sastra Politik
Fang Yin tergambar sebagai korban perkosaan yang terjadi pada pertengahan Mei 1998. Dia diperkosa sekelompok orang ketika terhadi kerusuhan bernuansa rasial di Jakarta. Setelah kejadian itu, ia dan keluarganya mengungsi ke Amerika Serikat. Dalam duka, Fang Yin, kehilangan dua cinta sekaligus; cinta kekasih dan cinta tanah air. Dilihat dari isinya, Sapu Tangan Fang Yin adalah karya sastra tentang politik; sastra politik.
Denny J. A., si penulis puisi esai, berusaha mendekatkan karyanya dengan peristiwa yang benar-benar muncul pada Mei 1998 itu. Ia berulang kali mendeskripsikan kekacauan yang terjadi saat itu dengan berbagai kata yang mendefinisikan kekacauan, seperti pemerkosaan, kerusuhan, asap, api, dan sebagainya. Dalam hal ini, puisi esai itu memang merefleksikan kenyataan karena ungkapan tentang pemerkosaaan dan permusuhan terhadap etnis Tionghoa bersesuaian hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)[5]. Puisi esai itu berhasil membawa nuansa kerusuhan saat itu ke atas kertas. Kelugasan cara bertutur, yang kadang dibumbui dengan metafora secukupnya, membuat pembaca bisa dengan mudah membayangkan suasana mencekam yang menghantui Fang Yin.
Hal lain yang menjadi titik berat puisi esai itu adalah pertanyaan mengenai cinta. Sang pengarang berusaha menempatkan rasa cinta terhadap kekasih sebagai gambaran tentang rasa cinta kepada negara. Sekaligus, bagian tentang cinta kekasih itu menjadi pemanis dalam cerita. Rasa cinta tanah air terlontar dan tersurat dalam beberapa bait melalui ungkapan, “Apa arti Indonesia bagiku?”. Melalui pertanyaan itu, puisi itu ingin menegaskan sekaligus mempertanyakan nasionalisme warga Tionghoa.
Selanjutnya, si penulis puisi-esai secara “cantik” mampu membuat pagar pembatas antara narasi pribadi dan penokohan. Ia bisa menggambarkan nuansa rasisme dalam peristiwa itu dengan “membuat” sejumlah tokoh mengucapkan kata “cina”. Pada saat yang sama, beberapa narasi yang ada menunjukkan penghormatan si pengarang terhadap etnis itu dengan menggunakan istilah Tionghoa. Hal itu antara lain bisa dibaca dalam bait berikut:

Teriakan pun berubah arahnya
Dan terdengarlah Bakar Cina! Bakar Cina!
Gerombolan yang tegap dan gagah
Menyisir toko, kantor, dan pemukiman Tionghoa

Baris ketiga dalam bait itu, juga menjadi cara si pengarang untuk berusaha memberikan gambaran pelaku pemerkosaan tanpa menuduh kelompok atau korps tertentu.
Hal mendasar yang patut menjadi bahan permenungan dalam diskusi sastra politik adalah bagaimana suatu karya sastra mencerminkan realitas politik. Sejauh pengamatan penulis, tidak ada catatan bahwa cerita tentang Fang Yin adalah kisah nyata. Pertanyaan itu juga sering kali ditujukan terhadap karya sastra lain yang mengulas peristiwa sejarah. Pergumulan tersebut kadang berujung pada pernyataan bahwa karya sastra tidak bisa dijadikan sumber sejarah. Itulah sebabnya, Sutardji Calzoum Bachri menulis kata-kata tentang buku Atas Nama Cinta dengan tegas, “Puisi atau imajinasi bisa sewenang-wenang terhadap fakta sebagaimana sewenang-wenangnya kata terhadap maknanya. Ia bisa melecehkan fakta demi meraih kepuisiannya.”
Namun, bagaimana pun juga, sebuah karya sastra yang terinspirasi dari kenyataan akan mengandung kenyataan, meskipun sedikit. Dan yang terpenting, Sapu Tangan Fang Yin, mengajak masyarakat untuk tidak lupa dan terus mencari kebenaran dari peristiwa kelam di pertengahan Mei 1998.
“Menulis puisi adalah menulis di atas tulisan. Mempertebal, menggarisbawahi tulisan kehidupan/peristiwa/makna yang telah ada atau yang sedang terjadi. Puisi yang mempertebal tulisan kehidupan adalah puisi yang melawan lupa,” kata Sang Presiden Penyair.


Oleh:
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
tukang ketik


[1] Mikhail Liftschitz dan Leonardo Salamini dalam Praksis Seni: Marx & Gramsci mencatat, kritik estetik memilahkan mana gejala seni dengan yang bukan seni dari sudut pandang “wujud”.
[2] Gramsci menganggap, suatu kritik sastra yang hanya terbatas pada wujud akan menjadi sesuatu yang datar dan kering. Kritik yang positif akan mengarah pada isi maupun wujud, maka jadilah ia kritik sosial dan budaya.
[3] Katrin Bandel dalam Sastra, Perempuan, Seks.
[4] politik: cara bertindak (dl menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan: -- dagang; -- bahasa nasional;
-- bahasa nasional kebijakan nasional yg berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan yg dapat dipakai sbg dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah bahasa;

[5] Berdasarkan catatan Yustina Dian Rachmawati dalam penelitian yang berjudul MENYINGKAP LAPIS TRAUMA SEKUNDER: Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998, TGPF menyebutkan terdapat 152 korban perkosaan pada Tragedi Mei 1998. Hampir semua korban perkosaan adalah perempuan etnis Tionghoa. Selanjutnya, hasil temuan TGPF menjadi satu-satunya data tentang korban perkosaan. Lihat Esther Indahyani Jusuf dan Raymond R. Simanjorang (ed) Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa: Menyingkap Kerusuhan Mei 1998 sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Jakarta: SBN & Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia, 2007), Komnas Perempuan. Hal.21-23.