Sastra bisa
dinikmati dengan menggunakan dua pendekatan, bentuk dan isi. Pendekatan bentuk
memungkinkan seseorang mengidentifikasi apakah sebuah karya sastra masuk dalam
kategori prosa, sajak, atau yang lain—lengkap dengan ciri khas masing-masing.
Sedangkan melalui analisis isi, seorang akan masuk dan tenggelam lebih dalam
dalam lautan cerita yang disuguhkan.
Namun, dalam
konteks kritik sastra, kedua hal itu sering dipertentangkan. Beberapa kalangan
menganggap krtik sastra hanya bisa menyentuh “bentuk”. Dengan kata lain, isi
atau substansi sebuah karya adalah wilayah terlarang bagi seorang kritikus. Mereka
beralasan, niai suatu karya sastra terletak pada eksistensinya, keberadaannya.
Melihat keberadaan suatu karya berarti melihat bentuk karya tersebut[1].
Sementara itu, kalangan lain beranggapan kedua wilayah itu—bentuk dan
isi—adalah area bebas alias tak bertuan, sehingga kritikus bebas bertualang dengan
leluasa di dalamnya. Antonio Gramsci adalah pemikir yang bersikeras bahwa
kritik atau analisis sastra bisa menembus ruang isi. Dengan membahas makna,
suatu analisis akan terasa lengkap dan berisi (Liftschitz dan Salamini, 2004)[2].
Buku kumpulan
puisi esai Atas Nama Cinta adalah
sebuah karya yang laik menjadi obyek analisis dengan menggunakan pendekatan
bentuk dan isi secara bersamaan. Lima puisi esai karya Denny J. A. ada di dalam
buku tersebut. Format puisi esai menjadi pilihan Denny untuk berkarya dan
mengungkapkan cinta sekaligus kegelisahannya terhadap realitas sosial-politik
yang kadang penuh diskriminasi. Format puisi esai dan kegelisahan terhadap
diskriminasi itulah yang menjadi batu loncatan bagi penulis untuk “mengiris”
dan “menusuk” lebih dalam dengan menggunakan Politik Sastra Politik sebagai pisaunya.
Politik Sastra Politik adalah untaian
tiga kata yang ditawarkan oleh penulis untuk memasuki dua alam analisis, yaitu alam
bentuk dan isi. Politik Sastra Politik
bisa memiliki dua makna sekaligus—hanya dengan melesapkan dua kata politik secara bergantian. Pelesapan
pertama menghasilan Politik Sastra
yang digunakan oleh penulis untuk menganalisis bentuk. Sedangkan pelesapan
kedua memunculkan Sastra Politik,
yang digunakan untuk mengurai substansi sebuah karya.
Politik Sastra
Katrin Bandel,
seorang doktor kelahiran Jerman yang menekuni sastra Indonesia, pernah mengulas
politik sastra melalui analisis tentang kecenderungan pola pikir masyarakat mengenai
sastra, perempuan, dan seks. Ia menekankan, kebiasaan publik yang secara
otomatis menganggap sejumlah sastrawan perempuan selalu mengumbar soal seks
merupakan salah satu periode politik sastra di Indonesia[3].
Sementara itu, Kamus
Besar Bahasa Indonesia online mengartikan
politik sebagai kebijakan. Dalam bidang kebahasaaan, KBBI menyamakan politik dengan
ketentuan yang bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan masalah kebahasaan[4].
Merujuk kepada sederet pengertian itu, penulis memberanikan diri untuk
menawarkan salah satu makna politik
sastra, yaitu semacam kesepahaman tentang hal-hal terkait dengan sastra.
Jika pembicaraan diperuncing menjadi pembahasan tentang bentuk karya sastra,
maka politik sastra bisa dimaknai
sebagai kesepahaman tentang bentuk-bentuk karya sastra.
Posa
dan puisi atau sajak jelas adalah bentuk-bentuk karya sastra. Selama puluhan
tahun, masyarakat meyakini bahwa masing-masing bentuk sastra itu memiliki ciri-ciri
yang khas. Puisi, misalnya, pernah diyakini sebagai karangan yang terikiat oleh
baris dan bait, oleh irama dan rima, dan oleh jumlah kata dan suku kata
(Atmazaki, 1993). Pakar yang lain, Jakob Sumardjo mengartikan puisi sebagai
bentuk pengucapan sastra dengan bahasa yang istimewa, bukan bahasa biasa.
Prinsip puisi adalah berkata sedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak
mungkin (Sumardjo, 1984).
Sapu Tangan Fang Yin adalah salah satu
karya Denny J. A. dalam buku Atas Nama
Cinta. Oleh pengarangnya, Sapu Tangan
Fang Yin—dan empat karya lain di dalam buku itu—disebut dengan istilah
puisi esai.
Sapu Tangan Fang Yin bercerita tentang
permenungan seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan pada pertengahan
Mei 1998. Dari segi bentuk, karya itu terdiri dari 13 bagian. Masing-masing
bagian terdiri dari sejumlah bait. Dan setiap bait terdiri dari sejumlah baris.
Sampai di sini, puisi esai itu nampaknya padu dengan politik puisi yang pernah
berkembang pada masanya. Namun, setelah mengamati lebih rinci, karya ini
menembus garis batas ”kepatutan” sebuah puisi. Ia menggunakan bahasa yang lugas
dan tidak mengumbar metafora; ia tidak terpaku pada jumlah dan keserasian kata,
suku kata, rima, dan irama; ia seakan tak berpola.
Karya itu seakan mendobrak kebuntuan
berekspresi yang disebabkan oleh “kesepakatan” angkatan sebelumnya. Dobrakan
serupa sebenarnya sudah dilakukan oleh angkatan 45 dan penganut paham puisi
modern. Mereka bercerita secara lebih lugas dan kadang terlepas dari estetika
bentuk sebuah puisi. Namun, sesuatu yang mucul dalam Sapu Tangan Fang Yin adalah fenomena yang berbeda. Ia memang
melepas belenggu. Akan tetapi—pada saat yang sama—ia mengawinkan konsep
penulisan esai dengan tatanan penulisan puisi. Ia menggunakan bahasa yang lugas
dan data yang tegas, namun masih sesekali mengandalkan kekuatan personifikasi.
Sebaliknya, ia terwujud dalam sederet bait, namun terlepas dari ketentuan
tentang keserasian kata, suku kata, rima, dan irama.
Sastra Politik
Fang Yin
tergambar sebagai korban perkosaan yang terjadi pada pertengahan Mei 1998. Dia
diperkosa sekelompok orang ketika terhadi kerusuhan bernuansa rasial di
Jakarta. Setelah kejadian itu, ia dan keluarganya mengungsi ke Amerika Serikat.
Dalam duka, Fang Yin, kehilangan dua cinta sekaligus; cinta kekasih dan cinta
tanah air. Dilihat dari isinya, Sapu
Tangan Fang Yin adalah karya sastra tentang politik; sastra politik.
Denny J. A., si
penulis puisi esai, berusaha mendekatkan karyanya dengan peristiwa yang benar-benar
muncul pada Mei 1998 itu. Ia berulang kali mendeskripsikan kekacauan yang
terjadi saat itu dengan berbagai kata yang mendefinisikan kekacauan, seperti pemerkosaan, kerusuhan, asap, api, dan
sebagainya. Dalam hal ini, puisi esai itu memang merefleksikan kenyataan karena
ungkapan tentang pemerkosaaan dan permusuhan terhadap etnis Tionghoa
bersesuaian hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)[5].
Puisi esai itu berhasil membawa nuansa kerusuhan saat itu ke atas kertas.
Kelugasan cara bertutur, yang kadang dibumbui dengan metafora secukupnya,
membuat pembaca bisa dengan mudah membayangkan suasana mencekam yang menghantui
Fang Yin.
Hal lain yang
menjadi titik berat puisi esai itu adalah pertanyaan mengenai cinta. Sang
pengarang berusaha menempatkan rasa cinta terhadap kekasih sebagai gambaran
tentang rasa cinta kepada negara. Sekaligus, bagian tentang cinta kekasih itu
menjadi pemanis dalam cerita. Rasa cinta tanah air terlontar dan tersurat dalam
beberapa bait melalui ungkapan, “Apa arti
Indonesia bagiku?”. Melalui pertanyaan itu, puisi itu ingin menegaskan
sekaligus mempertanyakan nasionalisme warga Tionghoa.
Selanjutnya, si
penulis puisi-esai secara “cantik” mampu membuat pagar pembatas antara narasi
pribadi dan penokohan. Ia bisa menggambarkan nuansa rasisme dalam peristiwa itu
dengan “membuat” sejumlah tokoh mengucapkan kata “cina”. Pada saat yang sama,
beberapa narasi yang ada menunjukkan penghormatan si pengarang terhadap etnis
itu dengan menggunakan istilah Tionghoa. Hal itu antara lain bisa dibaca dalam
bait berikut:
Teriakan pun berubah arahnya
Dan terdengarlah Bakar
Cina! Bakar Cina!
Gerombolan yang tegap dan gagah
Menyisir toko, kantor, dan pemukiman Tionghoa
Baris ketiga
dalam bait itu, juga menjadi cara si pengarang untuk berusaha memberikan
gambaran pelaku pemerkosaan tanpa menuduh kelompok atau korps tertentu.
Hal mendasar
yang patut menjadi bahan permenungan dalam diskusi sastra politik adalah bagaimana suatu karya sastra mencerminkan
realitas politik. Sejauh pengamatan penulis, tidak ada catatan bahwa cerita
tentang Fang Yin adalah kisah nyata. Pertanyaan itu juga sering kali ditujukan
terhadap karya sastra lain yang mengulas peristiwa sejarah. Pergumulan tersebut
kadang berujung pada pernyataan bahwa karya sastra tidak bisa dijadikan sumber
sejarah. Itulah sebabnya, Sutardji Calzoum Bachri
menulis kata-kata tentang buku Atas Nama
Cinta dengan tegas, “Puisi atau
imajinasi bisa sewenang-wenang terhadap fakta sebagaimana sewenang-wenangnya
kata terhadap maknanya. Ia bisa melecehkan fakta demi meraih kepuisiannya.”
Namun, bagaimana
pun juga, sebuah karya sastra yang terinspirasi dari kenyataan akan mengandung
kenyataan, meskipun sedikit. Dan yang terpenting, Sapu Tangan Fang Yin, mengajak masyarakat untuk tidak lupa dan
terus mencari kebenaran dari peristiwa kelam di pertengahan Mei 1998.
“Menulis puisi adalah menulis di atas
tulisan. Mempertebal, menggarisbawahi tulisan kehidupan/peristiwa/makna yang
telah ada atau yang sedang terjadi. Puisi yang mempertebal tulisan kehidupan
adalah puisi yang melawan lupa,” kata Sang Presiden Penyair.
Oleh:
F. X. Lilik Dwi Mardjianto
tukang ketik
[1]
Mikhail Liftschitz dan Leonardo Salamini dalam Praksis Seni: Marx & Gramsci mencatat, kritik estetik
memilahkan mana gejala seni dengan yang bukan seni dari sudut pandang “wujud”.
[2]
Gramsci menganggap, suatu kritik sastra yang hanya terbatas pada wujud akan
menjadi sesuatu yang datar dan kering. Kritik yang positif akan mengarah pada
isi maupun wujud, maka jadilah ia kritik sosial dan budaya.
[3]
Katrin Bandel dalam Sastra, Perempuan,
Seks.
[4] politik: cara
bertindak (dl menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan: -- dagang; -- bahasa nasional;
-- bahasa nasional kebijakan nasional yg berisi perencanaan,
pengarahan, dan ketentuan yg dapat dipakai sbg dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah bahasa;
[5] Berdasarkan catatan Yustina Dian Rachmawati dalam
penelitian yang berjudul MENYINGKAP LAPIS
TRAUMA SEKUNDER: Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban
Perkosaan Massal Mei 1998, TGPF
menyebutkan terdapat 152 korban perkosaan pada Tragedi Mei 1998. Hampir semua
korban perkosaan adalah perempuan etnis Tionghoa. Selanjutnya, hasil temuan
TGPF menjadi satu-satunya data tentang korban perkosaan. Lihat Esther Indahyani
Jusuf dan Raymond R. Simanjorang (ed) Kerusuhan
Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa: Menyingkap Kerusuhan Mei 1998 sebagai
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Jakarta: SBN & Asosiasi Penasehat Hukum
dan HAM Indonesia, 2007), Komnas Perempuan. Hal.21-23.