Wednesday, May 27, 2009

Tergelitik Ironi di Quiapo



Tak terhitung berapa kali orang harus memiringkan tubuh ketika melintas sepajang jalan di Quiapo.

Jika tidak rajin memiringkan tubuh ketika berjalan, jangan kaget jika bahu kita terantuk kayu salib, atau bahkan tersangkut pakaian dalam pria dan wanita. Ruas jalan dengan lebar sekira enam meter itu penuh sesak dengan ratusan orang yang sedang melakukan aktivitas jual beli.

Quiapo adalah sebuah kawasan niaga rakyat jelata di jantung kota Manila, Filipina. Berbagai jenis barang dengan harga "miring" bisa didapatkan di lokasi ini, mulai dari buah-buahan sampai bahan bangunan, dari cindeamata hingga obat tradisional yang tidak terdaftar di departemen kesehatan setempat.

Bahkan, di Quiapo, barang dagangan bernuansa rohani lazim bersanding dengan pakaian dalam yang juga diperjualbelikan.

Kawasan bisnis kelas "teri" ini berada di pusat denyut nadi kehidupan kota. Justru karena statusnya yang hanya kelas "teri" dan harga yang serba "miring" itu, Quiapo menjadi magnet tersendiri bagi para pelancong.

Lokasinya yang mudah dijangkau dengan berbagai moda transportasi juga merupakan daya tarik yang tak terelakkan.

Keunikan Quiapo tidak hanya sampai di situ. Kawasan padat penduduk itu menyimpan mutiara dalam bentuk peradaban dan sejarah sosial adiluhung. Namun pada saat yang sama, Quiapo meradang akibat ironi yang tak berkesudahan.


Adiluhung

Salah satu daya tarik Quiapo adalah sebuah gereja. Tepat di ujung jalan yang dipadati aneka barang dagangan tadi, berdiri tegak sebuah bangunaan gereja klasik kombinasi peradaban Eropa dan Amerika. Gerbang utamannya tertera tulisan yang jelas terbaca "Basilika Ng Nazareno".


Basilika dengan menara menjulang tinggi itu dilengkapi dengan patung Yesus Kristus dengan tubuh hitam legam dan sedang memanggul salib. Warga setampat menyebutnya "Black Nazarene".

Setiap hari, warga berdatangan untuk menikmati lekuk setiap dinding basilika yang terpahat dengan detail. Beberapa dari mereka meluangkan waktu dengan keluarga untuk bercengkerama di lapangan yang terhampar di halaman depan basilika. Dan tentu saja, pengunjung lainnya meluangkan waktu untuk menyentuh "Black Nazarene", sambil mengharap berkah.

Keberadaan patung Yesus hitam di Quiapo berawal dari kedatangan sejumlah misionaris katolik di pantai Manila pada 1606. Kelompok religius dari Meksiko itu membawa serta patung Yesus seukuran manusia. Seiring waktu, timbul kebiasaan dalam organisasi itu untuk memaknai iman katolik melalui simbol patung Yesus yang mengalami sengsara disalib.

Antara tahun 1767 sampai 1790, telah terjadi transfer budaya di Quiapo. Sebuah patung Yesus memanggul salib dibawa ke gereja di kawasan itu.

Uskup Manila, Gaudencio B. Cardianl Rosales dalam pesan peringatan 400 tahun Nasarene menyatakan, popularitas "Black Nazarene" semakin besar setelah berada di Quiapo.

"Popularitasnya yang awalnya menyebar ke arah utara dan selatan Provinsi Luzon, kini menyebar hampir ke seluruh negeri," ungkap Rosales dalam pesannya.

Setiap tahun, "Black Nazarene" diarak dan menjadi pusat devosi ribuan umat katolik yang memadati Basilika Ng Nazareno.

Quiapo tidak hanya menjadi milik pemeluk agama Katolik. Tidak jauh dari Basilika Ng Nazareno, berdiri tegak sebuah masjid berkubah emas, Manila Golden Mosque namanya.

Masjid ini membuat pelangi peradaban adiluhung di Quiapo menjadi lebih kaya warna. Bangunan masjid yang tinggi menjulang dan kilau emas di kubah menjadikan masjid tersebut sebagai salah satu penanda di Quiapo. Manila Golden Mosque juga telah dikukuhkan sebagai pusat kebudayaan Islam di kawasan tersebut.

Kawasan di sekitar masjid terkenal sebagai tempat tinggal komunitas muslim yang cukup besar. Mereka hidup dengan gaya dan cara mereka sendiri, berbeda dengan cara hidup komunitas katolik yang tinggal dekat dengan mereka.

Meski hidup dengan cara yang berbeda, kedua kelompok bisa saling bekerjasama dalam keselarasan. Bahkan, Reggy C. Figer, seorang profesor bidang komunikasi dari University of the Philippines, bersama rekannya Ruly B. Cagadas, seorang doktor dari universitas yang sama menyatakan, Quiapo adalah bentuk sebuah toleransi yang sangat tinggi.

"Quiapo adalah afiliasi di bidang agama," ungkap Figer dan Cagadas dalam artikel mereka tentang Quiapo.


Ironi

Quiapo berada di sekitar pusat kota Manila. Hal itu membuat Quiapo tumbuh dalam desakan kebutuhan ekonomi masyarakat kota. Hal itu juga yang menjadi sebab langsung berjubelnya para pedagang di setiap ruas jalan di sekitar Basilika Ng Nazareno dan Manila Golden Mosque.

Akibatnya, di sejumlah titik keramaian, muncul berbagai ironi yang selalu mempertentangkan peradaban adiluhung Quiapo dengan berbagai praktik yang seringkali dianggap menyimpang.

Sebut saja praktik ramal yang digelar tepat di depan gerbang Basilika Ng Nazareno. Tidak hanya satu, melainkan puluhan peramal memajang iklan, lengkap dengan meja dan kursi sebagai tempat praktik.

Sejumlah lelaki menawarkan jasa ramal mereka kepada setiap pengunjung yang melintas. Ibu-ibupun tak mau kalah. Dengan gelang warna-warni di pergelangan tangan, mereka melambai ke setiap pengunjung untuk sudi singgah di bilik ramal mereka.

Salah seorang peramal menyatakan, dirinya mampu memberikan gambaran kehidupan di masa datang kepada para pelanggan. Dengan bangga, dia menyatakan bisa memperkirakan jalan kehidupan seseorang hanya dengan biaya 200 peso atau sekira Rp50 ribu.

"Sebagian besar yang kami ramal terkait dengan masalah cinta," kata pria gempal itu dengan kata-kata campuran bahasa Inggris dan Tagalog.

Setelah berkeliling, ternyata para peramal itu juga mengklaim bisa menyelesaikan berbagai masalah, seperti keruwetan bisnis, peruntungan, dan penyembuhan fisik. Mereka juga mengklaim bisa mencari tahu barang yang sudah hilang. Maklum, Quiapo terkenal sebagai sarang pencopet.

Bak lembaga bimbingan belajar profesional, sejumlah peramalpun merasa yakin bisa menyelesaikan persoalan balajar dan membantu agar lulus ujian.

Sepintas, praktik ramal yang digelar tepat di pintu gereja itu menjadi ironi di kawasan yang menjadi episentrum peradapan religi itu.

Tak seberapa jauh dari lapak para peramal, ironi lain muncul dalam bentuk pentas penari perempuan tanpa maupun dengan busana yang serba minimal.

Pusat hiburan kaum adam itu juga berada di sejumlah ruas jalan yang tidak jauh dari gereja dan masjid di Quiapo. Biasanya, lokasi hiburan itu berada di lokasi strategis.

Meski susah payah melangkah di trotoar yang penuh sesak dengan barang dagangan, mata pengunjung tidak bisa lepas dari berbagai poster bergambar wanita dengan busana yang serba minimal. Poster-poster itu dilengkapi dengan kerlip lampu warna-warni sehingga

bisa mencuri perhatian sejumlah pasang mata para lelaki.

Tepat di depan pintu, sejumlah lelaki lain berteriak dalam bahasa Tagalog. Satu pesan yang tertangkap adalah, mereka menawarkan hiburan "segar".

Quiapo telah berjalan paling tidak selama 400 tahun dalam nuansa peradaban adiluhung dan lintas agama. Kini, bagian kecil dari kota Manila itu asyik dengan berbagai tuntutan kehidupan masyarakat urban, lengkap dengan berbagai ironi di sana-sini.

*lilik dwi