Monday, October 18, 2010

Tampil Sempurna di Tengah Bencana

Ini cerita tentang kesempurnaan.

Dua belas jam berada di dalam kabin pesawat, melayang dari Jakarta ke Manokwari, memang menguras tenaga. Tapi, untungnya, tak menguras semangat dan rasa penasaranku tentang kondisi para pengungsi banjir bandang di Manokwari, salah satu distrik di Papua Barat.

Kuayunkan kaki, melangkah, dan melihat para pengungsi berdesakan dan harus berbagi udara di dalam tenda-tenda. Tenda itu teratur rapi di sebuah lapangan yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan Lapangan Kodim. Memang, lokasinya bersebelahan dengan kantor Kodim Manokwari.

Tenda-tenda itu dikelilingi jalan melingkar. Sepertinya, jalan berbatu itu baru selesai dikerjakan karena masih terlihat basah di tengah lahan kering akibat terik mentari siang itu. Tapi, mungkin saja penglihatanku salah karena kurang tidur selama di pesawat.

Selain tenda pengungsi, ada juga tenda untuk para pejabat setempat. Jangan salah, para pembesar berada di penampungan pengungsi bukan untuk menginap. Ya, mereka di sana untuk menyambut Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tak butuh lama, Pak SBY datang. Pak Presiden keluar dari mobil sedan berplat nomor "Indonesia 1", mengeryitkan kening, dan melangkah di jalan yang baru saja disiapkan itu. Setelah mengamati situasi sekitar dan melempar senyum-salam kepada mereka yang meyambut, Pak SBY langsung menuju mikrofon yang terletak di tempat teduh, di teras sebuah pendopo.

Sesuai jadwal yang sudah disusun oleh pihak protokol, dialog dengan pengungsi dimulai. Menurutku, itu lebih tepat disebut monolog karena tak ada tanya jawab di sana.

Singkat kata, dugaanku tentang jalan yang baru dibangun itu dibenarkan oleh seorang relawan yang sudah berminggu-minggu berada di lokasi itu. Dia bahkan mengatakan, para pengungsi turut membantu membersihkan sampah-sampah yang bertebaran, demi kesempurnaan kunjungan para pembesar.



Ini cerita tentang kesempurnaan.

Buritan kapal perang KRI Sultan Hasanudin tak lagi bergoyang. Aku terjaga, saat itu pukul empat dini hari waktu Wasior, Papua Barat. Tak terasa, sepuluh jam perjalanan laut sudah kulalui sejak cerita jalan basah di Lapangan Kodim Manokwari.

Segera saja aku mandi. Tinggal putar kran, air hangat mengucur di atas kepalaku. Setelah mandi tanpa harus kedinginan karena tersembur pendingin udara semalam suntuk, kulihat teman-teman yang lain sibuk mencuci baju, celana, dan yang lain-lain, di suatu ruangan. Ruang cuci itu dilengkapi mesin cuci berteknologi tinggi. Pakaian kotor yang anda masukkan ke dalamnya, akan keluar dalam keadaan kering, wangi pula.

KRI Sultan Hasanudin memang kapal perang terbaru yang yang dimiliki TNI Angkatan Laut. Jika fasilitas untuk pekerja rendahan saja lebih baik dari kualitas kamar kos, bisa dibayangkan kondisi ruang khusus bagi presiden di lantai paling atas. Ah, andai saja para penjaga mengizinkan kami melongok sedikit saja.

Setelah mentari terbit, kami keluar dari kapal yang telah bersandar. Tanpa menunggu lama, kami memutuskan untuk segera menuju lokasi banjir bandang. Para pembesar? masih di kapal.

Di lokasi bencana, kami lihat beberapa truk mengangkut sejumlah orang, dan berhenti di dekat sebuah tenda. Puluhan orang yang dimampatkan di atas bak truk itu kemudian diminta turun. Beberapa dari mereka penduduk asli Papua Barat, terlihat dari ciri-ciri fisik mereka. Mereka kemudian diperiksa satu persatu oleh sejumlah tentara, sebelum diarahkan untuk duduk dalam formasi tertentu di dalam dan di sekitar tenda yang sudah disiapkan, tepatnya disiapkan menjelang kedatangan presiden.

Aku bertanya dalam hati, apakah puluhan orang yang turun dari truk itu pengungsi? Mungkinkah mereka mengungsi di lokasi bencana, sementara yang lain memilih menyeberang laut menuju Manokwari?

Kucoba bertanya kepada seorang wartawan yang bertugas lebih dulu di lokasi itu. Dia bilang, sebenarnya sudah tidak ada pengungsi di lokasi bencana. Puluhan orang itu, katanya, adalah penduduk sekitar Wasior yang tidak terkena dampak bencana. Mereka sengaja didatangkan sebelum Pak Presiden mengunjungi lokasi.

Aku yang tidak paham tentang manajemen krisis bencana memaksa memutar otak. Bisa jadi mereka didatangkan untuk membuat suatu bencana alam menjadi semakin terlihat sempurna. Dalam kondisi normal, bencana harus dihadiri oleh pejabat yang meninjau serta menjanjikan sesuatu, korban dan pengungsi yang merana, dan puing-puing yang berserakan.

Meski teman wartawan mengatakan orang-orang itu bukan pengungsi, materi dialog..eh..monolog presiden tetap menempatkan mereka sebagai korban dan pengungsi. Janji tanggap darurat, air bersih, dan sebagainya menjadi topik utama.



Ini cerita tentang kesempurnaan.

Monolog selesai. Iring-iringan mobil presiden dan tim pengikutnya kemudian menuju salah satu daerah aliran sungai. Seperti biasa, Pak Presiden memerhatikan dengan seksama bongkahan-bongkahan batu dan batang pohon yang berserakan akibat banjir bandang. Sepatu boots melindungi kaki Pak SBY dan Ibu Ani dari lumpur yang mulai mengering.

Sambil mengamati dengan seksama, presiden berjalan menyusuri sungai yang kini tak berair itu. Puluhan orang lain mengikuti di belakang. Tak seorangpun boleh mendahului, apalagi membelakangi Pak Presiden. Anggota Pasukan Pengamanan Presiden dan sejumlah staf akan segera menegur jika ada yang nekat melakukannya.

Butuh waktu beberapa saat sebelum Pak Presiden akhirnya menunjuk satu titik untuk konferensi pers. Ya, lokasi itu tepat untuk tampil di depan kamera wartawan televisi. Presiden meminta tumpukan kayu di tempat itu ditinggikan, sehingga bisa digunakan sebagai tempat sandaran mikrofon para wartawan. "Biar suara saya lebih bagus," katanya.

Instruksi itu laksana banjir bandang beberapa waktu lalu. Mengagetkan. Para staf dan pasukan pengamanan segera bergegas menerjemahkan gagasan presiden itu menjadi kenyataan, yang sempurna tentunya.

Ketika sorang staf meninggikan tumpukan kayu untuk meletakkan mikrofon para pewarta, staf yang lain sibuk mencari sudut sorot kamera yang baik. Bahkan, seorang menteri juga menyibukkan diri mengarahkan sorot kamera wartawan ke arah tumpukan pohon dan bongkahan batu, dengan hutan Wasior di belakangnya. Menurut sang menteri, kondisi yang porak poranda itu bagus untuk gambar latar belakang yang dramatis ketika Pak Presiden memberikan pernyataan.

Kesibukan luar biasa juga terjadi ketika para staf bahu membahu mencari posisi yang paling tepat untuk alat pengeras suara nirkabel. Staf berbaju safari hingga polisi berseragam dinas lapangan bersatu padu melatakkan alat tanpa kabel itu dalam posisi yang paling tepat, sesuai arahan Pak SBY; supaya suara yang keluar bagus.

Alat pengeras suara itu memang punya arti penting dalam setiap kegiatan Sang Presiden. Setiap berpidato, alat ini harus ada dan dalam kondisi siap siaga, sehingga suara Pak Presiden bisa ditangkap oleh para wartawan dengan meletakkan alat perekam di depan alat itu.

Tak terkecuali di lokasi bencana. Staf yang bertugas membawanya harus menjalankan tugas sepenuh hati. Dia harus membawa alat yang tidak bisa dibilang kecil itu kemanapun presiden melangkah.

Dia tidak boleh terlalu jauh dari presiden, sehingga jika tiba-tiba sang presiden ingin menyatakan sesuatu, suaranya bisa terdengar jernih dalam sekejap. Setelah tidak dipakai, alat itu harus dibungkus rapi serta diletakkan dalam alat penyangga khusus, dan dibawa kembali ke Jakarta.











Kembali ke kesibukan di tanah bencana. Setelah semua tertata, tahap akhirpun tiba. Seorang petinggi biro pers dan media Istana Kepresidenan dengan sigap memastikan sumua sudah siap. Dia mengabsen semua awak stasiun televisi dengan pertanyaan yang sama, "Tes..tes..suara oke? gambar oke?"

Konferensi pers siang itu mengakhiri kegiatan presiden di lokasi bencana Wasior. Setelah itu, Pak Presiden menyeberang kembali ke Manokwari untuk bermalam di Swiss-Bel Hotel.

Sekali lagi, ini cerita tentang kesempurnaan. Bencana alam yang sempurna dan kesempurnaan penampilan di depan kamera.