Sunday, November 02, 2008

Seandainya...

...seandainya Kota Tua Jakarta laksana Intramuros Manila
































































Monday, October 13, 2008

Jejak Langkah Jose Rizal





lilik dwi

“Aku tidak ingin mati sebagai pangkhianat,” kata Rizal dalam hati ketika menginjak garis batas hidup dan mati.

Tangan Rizal terbelenggu, dan tubuhnya mebelakangi para serdadu yang dengan bengis mengarahkan ujung senapan laras panjangnya ke bagian belakang kepala Rizal.
Sesekali Rizal meminta agar ditembak di bagian jantung, tidak di kepala seperti kebiasaan hukuman mati para pengkhianat. Permintaannya ditolak. Penguasa tetap menganggapnya sebagai ancaman dan pengkhianat.

Ujung jari para eksekutor telah menyentuh pematik. Dalam hitungan detik, kepala Rizal akan hancur tak berbentuk.

Rizal melayang sendiri dalam alam pikirannya yang pada saat itu tidak bisa diterima oleh logika pemerintah. Dia menganggap dirinya bukanlah pengkhanat, melainkan pejuang untuk kaum dan suku bangsanya.

Dengan sekuat tenaga, Rizal membalikkan tubuh ketika terdengar komando untuk menembak. Mata yang tertutup memaksanya mengandalkan kemampuan mendengar.
Peluru meluncur, Rizal terkapar. Ia tertembak tepat di bagian dada, jatuh terlentang menghadap matahari pagi, dan mati sebagai pejuang rakyat Filipina.
Hari itu, 30 Desember 1896, adalah awal dari penghormatan luar biasa rakyat Filipina kepada sosok Rizal, pria bertubuh kecil yang dikenal sebagai pahlawan nasional.

Cendikiawan ini dikenal sebgai pejuang hak rakyat Filipina yang menderita sekian lama akibat penjajahan Spanyol.

Rizal lahir pada 19 Juni 1861 dengan nama kecil Jose Protacio Alonzo Mercado. Rizal menjalani masa kecilnya di Calamba, Laguna, Filipina. Dia adalah anak ke tujuh da ri delapan bersaudara.

Rizal lahir dari pasangan seorang petani tebu sekaligus tuan tanah Francisco Mercad dan seorang wanita terpelajar, Teodora Alonzo.

Rizal kecil menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan belajar. Dalam usia yang relatif muda, Jose Rizal dikenal sebagai ahli dalam berbagai bidang ilmu.
Masyarakat setempat juga mengenalnya sebagai seorang dokter. Selain itu, nama Rizal mulai bersinar setelah dia aktif dalam dunia pergerakan kemerdekaan Filipina. Saat itu, dokter Rizal juga diakui sebagai pejuang sekaligus cendekiawan.
Kesibukannya sebagai aktivis pergerakan intelektual membuat Rizal biasa menlontarkan berbagai gagasan dan pemikiran, baik lisan maupun tulisan.

Kebiasaannya itu membawa hal baru yang kemudian menjadi profesi yang dia tekuni, sastrawan. Sejumlah novel telah ditulisnya. Kemampuan verbalnya semakin berkembang. Bahkan, masyarakat Filipina menegalnya Rizal sebagai orang yang fasih bertutur dalam 22 bahasa.
Dalam usia 25 tahun, Rizal telah menjadi cendikiawan tersohor. Sejumlah pemikirannya memuat pemerintah Spanyol saat itu kalang kabut. Mereka merasa terancam dengan pemikiran pembebasan Rizal.
Alhasil, nyawa menjadi penawar kegelisahan. Rizal dibunuh pada dini hari, setelelah sebelumnya berstatus tahanan untuk beberapa waktu.

Perjuangan Rizal dilanjutkan oleh para penerusnya, hingga pada akhir cerita, Filipina berhasil meraih kemerdekaan pada 12 Juni 1898 dibawah kepemimpinan Andres Bonifacio.

Abadi

Nama besar Jose Rizal selalu mengisi hati warga Filipina. Nama dan gambar pria serba bisa ini menghiasi seiap ruang publik dan ruang komersil.

Seorang penjaga toko di kawasaan Quezon City, Metro Manila, tersenyum spontan ketika ditanya mengapa toko yang dijaganya menjajakan kaos berlogo pahlawan nasional itu.
“Selalu ada orang yang menanyakan kaos bergambar Jose Rizal,” kata wanita itu dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.

Perjuangan fisik Rizal memang sudah berakhir lama, namun semangatnya masih berkobar hingga kini.
Komisi Nasional Kebudayaan dan Seni Filipina mencatat, perjuangan kemerdekaan berlangsung sejak 1565, ketika Spanyol mulai menginjakkan kaki dan memerintah di Filipina.
Perjuangan melawan pemerintahan Spanyol mancapai akhir pada Desember 1897. Akhir cerita itu sekaligus menjadi pembuka babak baru bagi perjuangan kemerdekaan karena pada saat yang sama Amerika juga “mengais “ rezeki dan kekuasaan di Filipina.

Warga Filipina bisa dengan mudah menggali kenangan masa lalu. Mereka akan dengan mudah menemukan sejumlah bangunana dan kawasan bersejarah yang tertata rapi.

Salah satu kawasan itu adalah Intramuros. Secara harafiah, Intramuros berarti ‘di dalam tembok’. Seperti artinya, kawasan ini adalalh kawasan ekslusif warga asli dan keturunan Spanyol.

Intramoros berada di pesisir pantai Manila. Kawasan ekklusif ini dikelilingi tembok tinggi dan tebal, sehingga menjamin kemurnian penghuninya dari penyusup, terutama warga pribumi Filipina dan Tiong Hoa.

Kota di dalam tembok raksasa ini menjamin semua kebutuhan penghuninya. Penduduk bisa menemukan berbagai fasilitas, seperti gereja, pasar, rumah makan, pos pengamanan, bahkan penjara.

Fort Santiago adalah salah satu pusat pengendali aktivitas Intramuros pada abad XVI silam. Benteng ini pernah berfungsi sebagai pusat pemantau keamanan, baik ke dalam maupun ke luar Intramuros.

Selain itu, Fort Santiago juga bersungsi sebagai penjara bagi orang yang dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan pemerintahan Spanyol di Filipina.
Jose Rizal adalah salah satu pribumi Filipina yang pernah menjalani masa penahanan di Fort Santiago.

Denyut akhir hayat Rizal terekam dengan baik di Fort Santiago. Gerbang setinggi hampir sepuluh meter menjadi pembuka pemandangan bersejarah bagi wisatawan .
Bentuk fisik bangunan pembuka jalan itu lebih menyerupai candi di Indonesia karena menggunakan bahan dasar yang sama, batu.

Jika dilihat lebih detail, gerbang tersebut berhias berbagai lambang dan kata-kata dalam bahasa Spanyol yang terpahat rapi.

Wisatawan laiknya diajak untuk bermimpi untuk merasakan masa lalu dengan disuguhi sedkikitya 980 tiruan jejak langkah yang terbuat dari plat besi.

Tidak lain dan tidak bukan, jejak langkah itu adalah jejak langkah Jose Rizal, ketika dirinya digiring melewati gerbang Fort Santiago menuju kehidupan abadinya.


Ratusan jejak langkah itu berasal dari dalam kompleks For Santiago, melalui gerbang utama, dan menuju keluar kompleks kawasan wisata Fort Santiago.

Rasa penasaran membuat kaki melangkah mencari dari mana jejak langkah Rizal itu berasal. Penelusuran itu menimbulkan kesan pemutaran ulang detik-detik akhir kematian Rizal menuju lokasi penahanannya.

Pencarian asal 980 jejak langakah itu berakhir pada bangunan tanpa atap. Bangunana itu hanya menyisakan tembok yang mulai terkelupas, sehingga tampak lajur-lajur batu bata merah di dalamnya.

Bangunan itu tertutup bagi pengunjung. Gerbang besi setinggi dua terkunci rapat, sehingga memisahkan para wisatawan dengan segaka detail benda dan bangunan bersejarah didalamnya.
Ratusan jejak langkah tadi ternyata berasal dari dalam bangunan itu. Jejak langkah pertama menempel pada bagian kaki sebuah patung berwarna gelap. Patung itu merepresentasikan Rizal yang sedang berada dalam tahanan.




Patung itu hanya setinggi 150 centimeter. Banyak orang mengira tinggi patung itu sama dengan tinggi Rizal sebenarnya.

Pengunjung bisa merasakan suasana saat Rizal menjalani masa tahanan dengan mencermati wujud patung yang sendiri dalam ruangan dengan tangan terikat di samping badan.

Kisah akhir Rizal juga diabadikan dalam museum di Fort Santiago yang menyajikan berbagai hasi pemikiran dan benda-benda koleksi Rizal.

Museum itu menjajikan berbagai pemikiran Rizal yang terpahat dalam sejumlah lempengan besi. Pahatan pemikiran itu dipasang tegak berdiri dengan rapi di ruang tengah museum berlantai dua itu.

Kecintaan Rizal pada sastra dan alam pemikiran terwujud dalam sejumlah koleksi novel, baik karyanya maupun karya sastrawan lain.

Keahliannya pada ilmu alam dan kedokteran terpampang dalam koleksi berbagai binatang piaraan jenis reptil yang diabadikan, sehingga bisa bisa daiamati wujud aslinya meski sudah mati. Dinding-dinding bangunan itu juga dihiasi dengan berbagai lukisan dan foto diri Rizal semasa hidup. Sejumlah gambar juga menceriitakan aktivitas Rizal sebagai dokter yang dengan tekun dan perhatian mengobati pasiennya.

Rizal memang abadi di tengah deru kehidupan modern warga kota Manila. Warga masih mengingat jasa besar dokter yang juga pejuang kemerdekaan itu.

Jose Rizal bukan hanya pejuang bagi rakyat Flipina, namun juga pejuang dunia karena ia memperjuangkan hak bangsa tertindas akibat ketidakadilan di atas bumi.

Jasa besanya diiuti penghormatan besar. Warga Filipina, terutama di lingkungan kampus, selalu menyempatkan berhenti dari segala aktivitas dan berdiri tegak saat lagu kebangsaan dikumandangkan setiap pagi. Hal serupa jarang terlihat di Indonesia.

Sunday, October 12, 2008

Romantisme Liturgis di San Agustin











lilikdwi

Rasa letih menempuh perjalanan di jantung kota Manila, Filipina,serasa sirna setelah mennginjakkan kaki di Intramuros.



Seketika angan melayang menyusuri lorong waktu menuju peradaban 200 tahun silam. Seluruh sudut Intramuros memperlihatkan keabadian peradaban masa silam. Waktu dan perkembangan peradaban tidak mengikis cita rasa Spanyol di Intramuros yang berada tak jauh dari jantung kota Manila.
Kawasan ini berada di pesisir kota Manila. Secara hariafiah, intramuros berarti “di dalam tembok”. Intramuros adalah kota tua di Filipina yang berkembang sejak abad ke XVI, saat Spanyol berkuasa di Filipina.
Saat itu, pemerintah Spanyol di Filipina, membuat Intramuros sebagai kawasan eksklusif keturunan Spanyol. Kawasan ini dibuat steril dari etnis lain, misalnya pribumi Flipina atau Tiong Hoa, dengan membangun tembok batu mengelilingi kota.
Perkembangan kebudayaan dan sistem pemerintahan Spanyol sejalan dengan perkembangan Kristianitas. Sejak masa kekuasaan Spanyol, Filipina, khususnya Intramuros, menjadi salah satu basis penyebaran kristianitas dalam wujud iman dan liturgi Katolik.
Salah satu penanda cikal bakal penyebaran iman Katolik di Intramuros adalah gereja San Agustin. Gereja ini menjadi saksi misi agama dan politik pemerintahan Spanyol di kawasan itu.
San Agustin adalah salah satu gereja tua di Flipina yang masih berfungsi sebagai pusat liturgi katolik. Umur gereja ini sudah 200 tahun.

Liturgi dan Seni
San Agustin adalah salah satu penanda kota Manila. Bahkan, gereja ini juga menjadi titik awal perkembangan kristianitas, yang menjadi pegangan hidup sebagaian besar warga Filipina hingga sekarang.

Keberadaan San Agustin kemudian diikuti dengan perkembangan pusat kebudayaan yang lain, termasuk pembangunan sejumlah gereja di hampir seluruh penjuru Filipina.

Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) telah menetapkan gereja San Agustin sebagai warisan budaya dunia pada 1994.
Keputusan UNESCO sangat beralasan karena gereja berlantai dua itu menyimpan nilai-nilai kekayaan budaya yang sangat tinggi, mulai dari nilai historis, estetis, dan liturgis.
Ketiga nilai itu menyatu menjadi satu untaian cerita di setiap ruang dan lorong di gereja San Agustin. Setiap ruang di gereja ini menyimpan berbagai benda historis, estetis, dan liturgis. Setiap ruang juga mempinyai fungsi masing-maisng.
Pada dasarnya ruang-ruang di gereja San Agustin ini terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu ruang liturgi (misa) dan museum.
Bangunan utama gereja berfungsi untuk kegiatan rutin gereja, seperti misa, pernikahan, dan bebrapa jenis liturgi katolik lainnya. Sedangkan, bangunan lain berfungsi sebagai museum tempat menyimpan berbagai benda dan dokumentassi gambar serta tulisan tentang perkembangan iman Katolik serta peradaban warga Intramuros dan sekitarnya.
Pengunjung akan langsung berhadapan dengan bangunan tingi berwarna kuning pucat
ketika menginjakkan kaki di halaman San Agustin. Bangunan itu berfungsi sebagai gereja. Wujud dan dan fungsi sebagai gereja langsung bisa ditangkap mata karena hampir di setiap permukaan tembok terpahat berbagai simbol dan figur rohaniwan Katolik.
Desain Interior gereja yang dibangun pada tahun 1571 ini menyimpan berbagai lekuk pahatan dan kombinasi warna yang tak terhitung jumlahnya.
Bagi orang awam, seluruh permukaan tembok di dalam San Agustin menyerupai media ekspresi seni, tempat mural dan seni pahat bersatu.
Salah satu karya seni yang terpampang di depan mata adalah tabernakel atau tempat penyimpan roti untuk perjamuan misa.








Tabernakel San Agustin menyerupai bangunan di dalam bangunan. Dengan tinggi hampir sepuluh mater dan lebar sekira lima meter, tabernakel itu mampu menyajikan karya seni dan rohani dalam skala yang luar biasa.
Tepat di atas tabernakel, patung Yesus setinggi dua meter berdir tegak dengan diapit dua lilin setinggi satu meter. Sementara itu, seluruh permukaan tabernakel dilapisi bahan serupa logam mengkilat dalam kombinasi warna putih, hijau, dan kuning.
Permukaan tabernakel yang sama juga berhias berbagai pernik dan pahatan religi, mulai dari lambang-lambang sampai figur tokoh-tokoh Katolik. Konon, pernik-pernik tabernakel itu langsung didatangakan dari Roma pada 1595.
Pusat perhatian lain di dalam gereja San Agustin adalah altar. Meja perjamuan sepanjang lima meter itu berdiri di atas empat lempeg batu berpahat salib dan berhiaskan berbagai relief dan figur tokoh-tokoh Katolik.

Berdasar tradisi awal gereja, altar bukan hanya berfungsi sebagai meja, melainkan juga sebagai penanda makam yang berada di bawahnya. Itu sebabnya seorang imam akan mencium altar sebelum mengakhiri misa, meskipun hal itu hanya menjadi sekedar ritus dan simbolisasi pada tatacara dan tradisi gereja modern saat ini.

Mahakarya seni dan liturgi lainnya di San Agustin tersimpan rapi di museum yang berada tepat di samping bangunan gereja.

Museum berlantai dua itu menyajikan berbagai benda peninggalan misisonaris Katolik, serta berbagai kary a seni berupa patung dan benda lain.

Museum gereja San Agustin terdiri dari dua lantai. Masing-masing lantai terdiri dari berbagai ruang yang memiliki nama dan fungsi masing-masing.

Secara umum,, ruang-ruang itu menyimpan berbagai benda liturgis dan karya seni berupa patung serta lukisan tentang aktivitas iman dan kepercayaan Katolik.

Sebuah tangga batu menghubungkan lantai satu dan lantai dua museum tersebut. Berdasarkan catatan yang tertera, tangga itu terdiri dari 44 lempeng batu granit yang langsung didatangkan dari Cina pada 1780.


Ruang di lantai dua museum tertata dengan konsep yang sama. Setiap ruang menyajikan berbagai benda seni dan sejarah terkait dengan misi Katolik. Sebgian benda yang tersimpan, mulai dari lukisan, patung kayu, patung batu, kursi, serta sarana dan prasarana upacara keagamaan berasal dari hasil kebudayaaan pada 1800-an atau sebelumnya.
Beberapa koleksi juga berhubungan dengan kontak budaya antara Eropa dan Asia.

Lintas budaya

Gereja dan museum San Agustin adalah salah satu dari sejumlah pusat kebudayaan dan keagamaan di Filipina. Pemerintah setempat memberikan perhatian yang besar terhadap perawatan dan pengembangan kawasan cagar budaya, sehingga menjadi simbol dan daya tarik tersendiri.

Komisi Nasional Kebudayaan dan Seni Filipina mengklaim telah melakukan perawatan terhadap 26 bangunan gereja yang diidentifikasi sebagai harta budaya setempat. Sebuah bangunan gereja diklasifikasikan sebagai harta budaya berdasar ciri khas arstitkturnya.

Berdasar penelitian komisi, sebagian besar bangunan gereja bersejarah di Filipina memadukan seni arsitektur Eropa dan Asia. Terlepas, dari kompleksitas seni arsitektur, gereja telah mengambil peran penting dalam perkembangan spiritual 58 juta pemeluk agama Katolik di Filipina.

Perpaduan citarasa Eropa dan Asia juga terlihat di gereja San Agustin. Beberapa ruang di gereja dan museum San Agustin dibangun menggunakan bahan dasar kayu, dengan motif dan ornamen khas Asia.


Contohnya, daun jendela dan pintu di beberap ruangan dibuat dengan menggunakan rangkaian kayu yang ditata secara meyilang, persis seperti yang sering dijumpai di Jepang dan Cina.
Perwujudan kontak budaya antara Eropa dan Asia juga bisa dilihat di ruang poselin. Ruang ini terletak di lantai dua museum San Agustin. Ruangan ini menyimpan berbagai benda khas Cina, terutama berbagai yang terbuat dari porselin.


Ruangan yang sama juga menyimpan berbagai benda kerajinan karya pribumi Filipina, sebagian besar berupa alat untuk menunjang aktivitas sehari-hari, seperti alat masak dan bercocok tanam.

Selain itu juga disajikan berbagai dokumentasi berupa gambar tentang aktivitas perdagangan, baik antar sesam bangsa Asia, maupun antara bangsa Asia dan Eropa. Salah satu dokumentasi yang terpampang adalah peta yang memuat rangkaian pulau di kawasan Asia tenggara. Dalam peta itu, belum terliha garis batas yang jelas antara Kalimantan (yang disebut Borneo) dan Malaysia.

Setiap ruang dan ornament di San Agustin menawarkan romantisme terhadap pengalaman historis dan liturgis dalam perjalanan peradaban di Filipina.

San Agustin juga menjadi dokumentasi kontak budaya antar bangsa. Inquirer, media massa setempat, mengigatkan kecintaan pada kebudayaan harus melandasi niat untuk melestarikan San Agustin yang selalu tegak berdiri untuk bersaksi tentang pahit getir perjalanan sejarah dan hubungan antar bangsa.

“Kita bisa membayangkan wujud kota di dalam tembok ini sebelum hancur lebur akibat perang pada 1945. Yang tersisa hanyalah tembok, dan tentu saja gereja San Agustin yang sekarang menjadi warisan dunia,” tulis Inquirer tantang San Agustin.

Tuesday, September 30, 2008

Fitri Di Balik Terali Besi

lilik dwi

dua tahun silam...
Suara Adzan terdengar hingga ke tepi jalan. Nyanyian surgawi itu merambat dinding setinggi lima meter kemudian menyelinap di antara kawat dan terali besi, membawa kidung merdu kapada semua manusia bebas. Sebuah kidung merdu nan fitri dari para narapidana.

Mereka yang berada di luar tembok dan terali hanya bisa membayangkan apa sebenarnya yang terjadi di dalam. Benarkan tidak ada fitri di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (LP)? Benarkah tidak ada senyum suka cita dan kasih sayang dalam kehidupan manusia dengan stigma negatif itu?

Sesaat setelah masuk pintu pagar besi lengkap dengan kawat berduri di atasnya, seseorang telah berada di halaman depan LP Cipinang, Jakarta Timur.

Pintu masuk portir berbahan besi padat dengan tinggi tak lebih dari 1,5 meter adalah pamandangan pertama bagi setiap orang yang akan menginjakkan kaki ke dalam LP tersebut. Pintu yang tak setinggi pintu pada umumnya itu akan membuat sebagian besar orang yang melewatinya akan membungkukkan badan.

Setelah melewati beberapa ruangan dan jalan berliku, terhampar lapangan luas yang tidak bisa langsung dijamah karena, lagi-lagi,terhalang oleh pagar kawat besi setinggi lima meter yang juga dilengkapi dengan kawat berduri.

Mengelilingi lapangan itu, tinggal 3.914 orang yang sedang menunggu proses peradilan dan yang sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan akibat perbuatan di masa lalu. Mereka tinggal dibeberapa ruangan yang bisa menampung sekitar delapan orang dan dilengkapi kamar mandi serta WC.

Tepat di sisi kanan lapangan setelah melewati pintu masuk, berdiri Masjid Jami' Baiturrahman dengan dominasi warna hijau yang belum kusam.

Tanpa diketahui banyak orang "bebas", sekitar 250 orang memenuhi halaman masjid yang baru berdiri sekitar dua bulan yang lalu itu, tepat setelah Adzan Maghrib selesai dikumandangkan. Beberapa orang terlihat membentuk lingkaran, ada yang jongkok dan ada yang duduk, dengan sebungkus nasi di tangan.

Ya, para narapidana (napi) itu, orang dengan masa lalu yang kelam,berusaha memaknai hari-hari terakhir menjelang hari besar yang dinantikan, Idul Fitri, dengan menikmati hidangan buka puasa mereka.

Dengan busana laiknya para santri; kombinasi sarung dan baju kokoserta dilengkapi dengan kopiah, mereka tampak menikmati hidangan malam itu.

Beberapa yang sudah selesai berbuka segera bergegas membersihkan diri, bersiap-siap untuk rangkaian selanjutnya, Shalat Tarawih berjamaah.

Kehidupan mereka tak jauh berbeda dengan ritme keseharian sebuah pesantren karena memang ke-250 napi itu senyatanya adalah parasantri.

Mereka bergulat dalam pencapaian ketenangan batin dalam wadah Pesantren Attawabin.

Sama seperti yang lain, malam itu Imron Baehaki (40) juga sangat menikmati nasi tongkol dengan siraman sayur kacang yang disediakan. Jenggotnya mulai memutih dan guratan di keningnya terlihat dalam, sedalam pengalamannya yang kemudian menghantarkannya menjadi ketua santri di pesantren Attawabin.

Sebelum mengolah rasa di pesantern itu, Imron menjalani kehidupan biasa di "alam bebas". Hingga pada suatu saat, kepemilikan senjata api mengharuskannya mendekam di LP Cipingang selama empat tahun.

Beberapa lama tinggal di balik terali membawa pria asal Kudus, Jawa Tengah, itu mengalami kerinduan yang sangat sulit digambarkan. Kondisi itu membawanya dalam lingkaran keluarga pesantren yang mulai aktif sejak tiga tahun lalu itu.

Kesan galak karena kulit yang hitam legam serta tubuh yang kekar nampak tiada arti dalam balutan busana muslim yang dikenakannya.

Ketekunannya untuk belajar Al Quran dari pukul 09.00 sampai 11.00 dan mengikuti aktivitas pesantren yang efektif dimulai setelah Shalat Asar setiap hari telah membawanya menjadi salah seorang panutan.

Kini, warga binaan LP mengenalnya bukan sebagai pemilik senjata api, tapi sebagai Ustadz Imron sang ketua santri.

Ini adalah Lebaran ke tiga Imron di LP. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia akan merayakan lebaran bersama dengan napi lainnya. Namun, Imron tetap ingin memaknai Lebaran sama seperti kebanyakan orang di luar kawat berduri LP Cipinang.

"Semoga saya bisa ketemu keluarga, melepas kangen walau sebentar,"katanya.

Dia bersyukur karena pihak LP memberikan kelonggaran waktu dan tempat besuk bagi napi dan keluarga yang merayakan Lebaran. Pada hari biasa, napi dan keluarga mereka tidak bisa melepas rindu dalam waktu yang cukup karena ada pembatasan jam besuk, hanya 30menit untuk masing-masing napi.

Kerinduan serupa juga dialami Mohammad Adung Zakaria. Pria 58tahun yang didaulat menjadi Imam Masjid itu memahami rasa rindu kepada keluarga adalah hal yang wajar. "Itu juga saya rasakan,"ujar pria yang biasa disapa Adung itu.

Dengan kadar keimanan yang tinggi, pria asal Solo itu berusaha mengurangi kerinduan terhadap keluarga, tanpa bermaksud menghilangkannya.

Kegiatan keagamaan, menurutnya, akan mendekatkan kepada Tuhan sehingga rasa rindu terhadap keluarga dapat diredam.

"Kalau cuma mikir kangen keluarga, saya bisa tiga kali stres, orang istri saya ada tiga," katanya sambil mengelus jenggot putihnya.

Monday, September 29, 2008

Sendiri Dalam Kebersamaan Ramadhan

lilik dwi


Suatu ketika, menjelang akhir 2006...
Ihwahyudin (11) menjilat jarinya untuk menghabiskan sisa ayam goreng yang melekat. Nikmat ayam goreng dan riuh canda tawa teman-teman panti asuhan itu sejenak menghibur hati bocah asal Bogor, Jawa Barat itu. Namun, sungging bibir mungilnya tetap menyisakan kerinduan yang mendalam, kerinduan untuk berbuka puasa dengan keluarga di kampung halaman.

Ihwahyudin mengaku tidak pernah melihat dan mengenali wajah ayahnya setelah dia ditinggal pergi dalam usia tiga minggu.

Berjuang sendiri selama beberapa tahun membuat ibunya tidak mampu menghidupi keluarga. Ihwayudin pun diserahkan ke panti asuhan.

"Saya pingin banget buka puasa di rumah bersama ibu," katanya.

Ihwahyudin adalah salah satu dari 39 anak yang tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari jumlah itu,anak perempuan tercatat 16 orang.

Anak lelaki ditempatkan dalam dua ruangan, sementara yang perempuan di satu ruangan, yang sekaligus difungsikan sebagai kamar. Masing-masing ruangan menampung delapan sampai 12 anak.

Sebagian besar dari penghuni panti asuhan adalah anak yatim piatu dan berusia antara tujuh sampai 12 tahun. Sisanya adalah anak berusia 13 sampai 21 tahun yang berasal dari keluarga miskin dan keluarga retak.

Mereka berasal dari berbagai daerah, sepert Nusa Tanggara Barat,Nusa Tenggara Timur, Jambi, Semarang, Tegal, Bogor, dan Jakarta.

Kesamaan sebagai anak dari keluarga yang tidak utuh dan berasal dari berbagai daerah membuat mereka menyimpan perasaan yang tak berbeda, rasa rindu untuk berkumpul dan mengembalikan keutuhan keluarga.

Bagi sebagian orang, Ramadhan adalah momentum untuk membangun kebersamaan, terutama dengan keluarga. Kebanyakan orang akan meluangkan waktu untuk menghabiskan bulan penuh rahmat itu dengan berkumpul dan berbagi cerita dengan orang-orang terdekat.

Selain Ihwahyudin, ketidakmampuan untuk mewujudkan impian kebanyakan orang itu juga dirasakan oleh Hamidin.

Selama empat tahun tinggal di panti asuhan yang berlokasi di Jalan K.H. Mas Mansyur 65 itu, dia hanya berkesempatan pulang satu kali. Keluarganya tidak punya cukup uang untuk biaya perjalanan pulang ke Jambi.

"Saya pulang Lebaran tahun 2004. Paling-paling saya cuma telepon keluarga dari wartel seminggu sekali," ujarnya sambil memainkan kancing baju.

Keberadaan Hamidin di panti asuhan itu berawal dari kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya.

Jangankan untuk biaya sekolah, untuk membeli pakaian yang pantaspun orang tuanya merasa kesulitan. Atas jasa baik salah seorang pengurus Muhammadiyah di daerahnya, Hamidin "merantau" ke Jakarta, dan akhirnya ditampung di panti tersebut.

Selama bulan Ramadhan, kerinduannya untuk pulang semakin terasa ketika adzan maghrib mulai didengungkan pertanda waktu buka puasa segera tiba. Meskipun memiliki banyak teman di panti asuhan, bocah berusaia 12 tahun itu tetap merindukan suasana berbuka di rumah sendiri.

"Semoga Lebaran besok saya bisa pulang walau cuma sebentar,"katanya yang diikuti oleh anggukan kepala beberapa anak lainnya.

Hal serupa juga dirasakan Iskandar. Bocah asal Bogor itu hidup dipanti asuhan sepeninggal ibunya ketika ia masih berusia lima tahun.

Ia mengatakan selalu berusaha menghilangkan rasa rindu kepada keluarga dengan terus bermain bersama teman-temannya.

Kerinduannya kepada keluarga terobati ketika ia berkesempatan pulang setiap tahun pada saat Idul Fitri.

Bagi sebagian kebanyakan oranng, pulang ke kampung halaman setahunsekali adalah hal yang biasa, namun tidak bagi Iskandar dan teman-temannya yang kesepian.

Sunday, September 14, 2008

Buah Pengakuan Agus Condro

lilik dwi


Pengakuan Agus Condro seperti gelegar petir tanpa hujan. Pria asal Batang, Jawa Tengah, itu mempertaruhkan jabatannya sebagai anggota DPR dengan menuding sejumlah rekan sejawatnya menerima dana ratusan juta rupiah.

Tidak tanggung-tanggung, dia menegaskan bahwa uang yang tidak sedikit itu mengalir sebagai bentuk suap agar Miranda Swaray Goeltom lolos menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI).

Agus mempertaruhkan jabatannya sebagai wakil rakyat dengan mengaku menerima sebagian uang tersebut, yaitu sebesar Rp500 juta."Ya, saya akui menerima uang sebesar Rp500 juta yang terdiri atas 10 lembar travel cek dari Dudhie M. Murod, bersama empat rekan lainnya," kata Agus.

Menurut dia, uang sebesar Rp500 juta diberikan sekitar dua hingga tiga minggu setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Swaray Gultom. "Dari 10 lembar travel cek, masing masing senilai 50 juta yang dimasukan dalam satu amplop warna putih. Uang tersebut diberikan Dudhie M. Murod saat berada di ruang kerja Emir Moeis," katanya.

Ia mengatakan, keempat anggota Fraksi PDIP DPR RI yang saat itu menerima amplop warna putih, yaitu Matheos Pormes, Willem Tutuarima, Budi Ningsih, dan Emir Moeis. Agus mengaku tidak mengetahui nama anggota DPR lain yang ikut menerima."Yang jelas, saat itu yang memilih Miranda Gultom ada 41 orang dari 50 anggota Komisi IX DPR RI," katanya.

Namun, kata Agus, ada salah satu anggota DPR RI Komisi IX yang juga anggota Fraksi PDIP yang saat itu sedang pergi ke luar negeri, yakni Daniel Budi Setiawan. "Karena pergi, Daniel diganti dengan Budi Ningsih yang saat itu menjabat anggota Komisi VII," katanya.

Pengakuan Agus itu berbuntut panjang. Paling tidak, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tempat jangkar politik Agus dikaitkan, berang.Petinggi dan politisi partai berlambang kepala banteng itu berlomba-lomba membantah pengakuan Agus. Bahkan, Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo mengancam akan menindak anggotanya yang terbukti menerima uang.

Kemarahan PDIP ini wajar. Maklum, tidak berselang lama dari awal pengakuan, Agus juga membeberkan bahwa sejumlah politisi PDIP, termasuk dirinya, sempat berkumpul di salah satu hotel berbintang di Jakarta. Sungguh mengejutkan, Agus mengaku pertemuan itu dihadiri oleh Miranda Swaray Goeltom.

Menurut Agus, pertemuan itu diprakarsai oleh politisi PDIP Panda Nababan dan diikuti oleh sedikitnya sepuluh politisi PDIP. Agus juga memastikan Miranda hadir dalam pertemuan itu, meski agak terlambat.

Namun dia tidak bersedia merinci lebih lanjut substansi pembicaraan dalam pertemuan itu, dengan alasan dirinya akan meramunya dalam bentuk laporan kronologi yang akan disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom berkali-kali menolak memberikan tanggapan atas pengakuan Agus Condro."Saya tidak ada tanggapan karena saya memang tidak tahu. Lebih baik ditanyakan kepada mereka yang memberikan pernyataan," kata Miranda saat ditemui di Kantor Bank Indonesia.

Agus terlanjur nekad, dan akhirnya dia kehilangan jatah kursi di DPR.


Terbukti

Agus pernah sesumbar bahwa kasus yang dilaporkannya tidaklah sulit untuk diusut. Ketika menyerahkan buku tabungan miliknya kepada petugas KPK, Agus merasa yakin bahwa KPK tidak akan mengalami halangan berarti dalam mengungkap kasus tersebut.

Dia mengaku menerima uang Rp500 juta dalam bentuk sepuluh lembar cek perjalanan. Ia mencairkan cek tersebut 11 Juni 2004 di Bank International Indonesia (BII) Cabang Pekalongan.

Pada hari yang sama, Agus membuka rekening untuk menampung uang yang dari cek yang dicairkan.Dari buku tabungannya, menurut Agus, KPK bisa dengan mudah mengusut siapa saja yang menerima uang dalam bentuk cek. KPK dapat melacak penerima cek dengan mengkonfimasi bank penerbit cek.

"Buku tabungan itu adalah pintu masuk penyelidikan lebih lanjut," kata Agus.

Reaksi KPK pada awalnya terkesan lamban. Ketua KPK Antasari Azhar mengakui lembaga yang dipimpinnnya tidak bisa reaktif dengan pengakuan seseorang. KPK juga harus berhati-hati menyikapi, meski kasus itu menarik perhatian publik.

Namun demikian, KPK berjanji tidak akan membiarkan kasus itu hanya menjadi "tumpukan" aduan tak tersentuh. "Kita peduli dan profesional, itu kan ungkapan seseorang. Kita lihat nanti perkembangannya," kata Antasari.

Janji KPK bukan sekedar pepesan kosong. Tanpa sepengetahuan publik, KPK menjalin kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Masyarakat kembali dikejutkan dengan laporan PPATK yang menyatakan bahwa lembaga itu menemukan transaksi berupa pembelian dan pencairan sekira 400 cek perjalanan yang diduga terkait dengan laporan Agus Condro.

Berdasarkan informasi, ratusan cek perjalanan temuan PPATK itu masing-masing bernilai Rp50 juta, sehingga nilai totalnya sekira Rp20 miliar.

Ratusan cek perjalanan itu dibeli dalam periode yang sama, sedangkan pencairannya dilakukan tidak bersamaan. Informasi yang sama menyebutkan, pencairan itu dilakukan oleh sejumlah orang, termasuk Agus Condro dan beberapa anggota DPR yang lain.

KPK tidak membuang percuma laporan tersebut. Tak berselang lama setelah laporan diterima, KPK meningkatkan pengusutan kasus itu ke tahap penyelidikan.

Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan, lembaga yang dipimpinnya akan menelusuri seluruh rangkaian kejadian terkait 400 cek perjalanan tersebut. Hal itu berarti KPK akan menyelidiki segala sesuatu tentang pemberi, penerima, dan motif pemberian."Jika terindikasi pidana maka akan dilanjutkan penyidikan," ujar Antasari menambahkan.

Hingga kini, KPK belum mengumumkan nama 41 anggota DPR yang diduga menerima uang tersebut. KPK juga belum membuka kasus itu secara blak-blakan, sehingga publik hanya bisa bertanya, Apa benar ratusan cek perjalanan itu terkait dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI? Jika benar, siapa yang menyediakan dana, pihak BI atau sponsor dari luar bank sentral?

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai dana yang diduga mengalir ke DPR untuk pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) berasal dari luar bank sentral itu.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Adnan Topan Husodo menyatakan KPK harus bisa mengungkap asal dana itu.

Adnan curiga dana dalam bentuk cek perjalanan atas nama Miranda berasal dari pihak luar yang bertindak sebagai sponsor karena memiliki kepentingan tertentu."KPK harus bisa mengungkap siapa yang mensponsori uang itu," katanya.

Adnan menambahkan, dana dari luar BI itu bisa saja berasal dari kelompok bisnis tertentu yang hendak memetik keuntungan."Kita menduga terkait dengan kelompok bisnis keuangan di Indonesia, tapi kita belum bisa sampaikan ciri dari kelompok bisnis mana," kata Adnan menambahkan.

Dia menganggap praktik seperti itu sudah biasa terjadi di Indonesia. Kelompok bisnis seringkali membina hubungan baik dengan pejabat publik atas dasar kepentingan tertentu."Selama ini pejabat publik di Indonesia hanya sekedar peliharaan dari kelompok bisnis sehingga mungkin terjadi distorsi kebijakan," kata Adnan.

Kecurigaan ICW itu menambah panjang daftar pekerjaan KPK. Selain harus menindaklanjuti pengakuan Agus Condro yang terbukti tidak sekedar fitnah, KPK juga harus mengungkap asal dan motif aliran dana dalam bentuk cek perjalanan itu.

Wednesday, September 10, 2008

Serangan Balik Aliran Dana BI

lilik dwi


Dua tahun lalu, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution akhirnya memutuskan untuk melaporkan dugaan penyelewengan dana Bank Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak saat itu, aliran dana sebesar Rp100 miliar dari bank sentral berada di tangan penegak hukum yang siap membekuk siapapun yang diduga bertanggun jawab. Sejak saat itu pula, perkara dana BI menggurita ke segala arah, menggelinding ke segala penjuru, termasuk kembali kepada mereka yang membawa kasus itu ke permukaan.

Kasus dana BI telah menjerat lima orang menjadi pesakitan di meja hijau. Mereka adalah mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak, mantan Anggota Komisi IX DPR Atony Zeidra Abidin, dan anggota Komisi IX DPR Hamka Yandu.

Kasus itu bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI pada 2003 yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk menggunakan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar.

Oey diduga menyerahkan dana YPPI itu sebesar Rp68,5 miliar kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo.

Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi ke mana uang tersebut setelah diserahkan kepada mereka. Sedangkan uang senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli Simandjuntak dan Asnar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI.

Kronologi

Dalam sidang perkara itu, tergambar jelas bagaimana dana itu berpindah dari tangan sang pemberi ke rengkuhan si penerima. Terdakwa dan sejumlah saski di persidangan memberikan deskripsi yang sangat jelas tentang peran besar Oey Hoy Tiong, Rusli Simanjuntak, Hamka Yandu, dan Antony Zeidra Abidin.

Khusus untuk aliran dana ke sejumlah anggota DPR, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) di dalam surat dakwaan menjelaskan telah berlangsung Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 3 Juni 2003, yang antara lain membahas kebutuhan dana untuk pembahasan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan revisi UU BI di DPR.

RDG tersebut dipimpin oleh Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan dihadiri oleh sejumlah anggota Dewan Gubernur, antara lain Aulia Tantowi Pohan, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Pada akhirnya, RDG sepakat penggunaan dana YPPI sebesar Rp100 miliar untuk keperluan sosialisasi ke DPR dan untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI.

Menurut tim JPU, Rusli Simanjuntak melapor kepada Aulia Tantowi Pohan tentang keperluan dana Rp40 miliar, dengan rincian Rp15 miliar untuk pembahasan masalah BLBI dan 25 miliar untuk revisi UU BI di DPR.

Atas laporan itu, Aulia Pohan melapor kepada Burhanuddin dan berkata kepada Rusli, "Anda silahkan tindak lanjuti pertemuan dengan DPR,".

Kemudian, pada 27 Juni 2003, Rusli membuat catatan kebutuhan dana yang ditujukan kepada Aulia Tantowi Pohan dan Maman H. Sumantri selaku penasihat YPPI. Setelah catatan itu disetujui oleh Aulia dan Maman, kemudian dana YPPI sebesar Rp15 miliar dapat dicairkan. Rusli dan Asnar Asnari kemudian menyerahkan uang itu kepada anggota DPR Hamka Yandu dan Antony Zeidra Abidin.

Aliran uang ke DPR berlanjut dengan diawali pertemuan antara Rusli Simanjuntak dan dua anggota DPR, yaitu Hamka Yandu dan Antony Zeidra Abidin. Pertemuan itu terjadi pada September 2003 di Hotel Hilton yang kini sudah berubah nama menjadi Hotel Sultan, Jakarta. Pertemuan itu menyepakati kebutuhan dana tambahan sebesar Rp25 miliar yang harus diserahkan kepada DPR.

Tim JPU menyatakan, Rusli menyampaikan kesepakatan itu kepada Aulia Tantowi Pohan. Kemudian, Aulia meminta Asnar Asnari untuk mengecek cadangan dana di YPPI, yang ternyata hanya tersisa Rp16,5 miliar. Dengan persetujuan Aulia dan Maman H. Soemantri, Rusli bersama Asnar mencairkan uang Rp16,5 miliar itu dalam dua tahap dan memberikannya kepada anggota DPR Hamka Yandu serta Antony Zeidra Abidin.

Berdasarkan kesaksian mantan Analis Senior Biro Gubernur BI, Asnar Ashari, penyerahan uang kepada Antony dan Hamka dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama adalah penyerahan uang Rp2 miliar di hotel Hilton Jakarta pada 27 Juni 2003.

Menurut Asnar, penyerahan tahap kedua terjadi pada 2 Juli 2003 di rumah Antony berupa penyerahan uang sebesar Rp5,5 miliar. Kemudian, terjadi penyerahan uang sebesar Rp7,5 miliar di hotel Hilton, yang dilanjutkan dengan penyerahan uang Rp10,5 miliar di rumah Antony pada September 2003. Tahap akhir terjadi pada Desember 2003 berupa penyerahan uang Rp6 miliar di rumah Antony.

Hamka Yandu tak tinggal diam. Politisii Golkar itu kemudian membeberkan di depan pengadilan bahwa uang yang dia terima dari BI juga mengalir ke seluruh anggota Komisi IX DPR kala itu. Dia menegaskan 52 orang anggota komisi yang membidangi keuangan dan perbankan itu menerima uang yang dia bagikan sendiri.

Pengakuan Hamka menyeret dua mantan anggota DPR yang kini menjadi menteri Kabinet Indonesia Bersatu sebagai penerima dana, yaitu Menteri Kehutanan M.S Kaban dan Meneteri Perncanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta.

Serangan balik

Aliran dana BI tidak hanya menyerang sejumlah anggota DPR dan petinggi BI. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution, orang yang membongkar skandal itu, juga tak luput dari tuduhan keterlibatan.

Hal ini sangat dipahami karena ketika skandal itu terjadi pada tahun 2003, Anwar masih berkantor di bank sentral sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Dia disebut mengetahui dan menyetujui aliran dan pengembalian dana BI ke Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), setelah dana itu digunakan untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI dan untuk keperluan "hubungan baik" ke DPR.

Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong ketika bersaksi di persidangan memberikan keterangan yang mengejutkan. Ia mengaku pernah diperintah oleh Anwar Nasution untuk memusnahkan dokumen yang terkait dengan aliran dana BI.

Dalam kesaksiannya, Oey mengaku diajak oleh Aulia Tantowi Pohan yang saat itu masih menjabat sebagai Deputi Gubernur BI untuk menemui Anwar Nasution. Pertemuan terjadi sekitar tahun 2005 di rumah Anwar Nasution yang saat itu sudah menjabat sebagai Ketua BPK.

Selama pertemuan, ketiga orang itu membahas tentang kejanggalan aliran dana BI yang mulai tercium oleh BPK. Oey mengaku disuruh oleh Anwar Nasution untuk melakukan pemusnahan.

"Yang dimaksud dokumen," kata Oey menjawab pertanyaan hakim Gusrizal tentang apa yang akan dimusnahkan. Namun demikian, Oey mengaku tidak memenuhi permintaan Anwar tersebut.

Sementara itu, M. Assegaf, penasihat hukum terdakwa kasus itu Burhanuddin Abdullah mengatakan, kliennya tidak tahu menahu tentang pertemuan itu. Assegaf meperkirakan, dokumen yang akan dimusnahkan adalah dokumen Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 22 Juli 2003 yang dihadiri oleh Anwar Nasution ketika masih menjadi Deputi Gubernur Senior BI.

Berkali kali tuduhan itu dibantah oleh Anwar. Berkali-kali pula umpatan keluar darimulut Anwar Nasution bersamaan dengan bantahan yang dia sampaikan. Tak berselang lama setelah Oey bersaksi, Anwar menyebutnya berhalusinasi. "Berhalusinasi ini orang," kata Anwar yang ditemui wartawan di kantornya.

Anwar membenarkan saat itu pernah bertemu dengan Oey dan beberapa pejabat BI lain, seperti Deputi Gubernur Aulia Pohan dan Rusli Simanjuntak. Pertemuan yang dilakukan di rumah Anwar itu membahas penyelesaian kasus dana BI. Anwar mengaku hanya mengusulkan pengembalian dana Rp100 miliar kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), tempat BI meminjam dana. Sekali lagi Anwar membantah pernah memerintahkan pemusnahan aliran dana BI.

Namun demikian, fakta persidangan terus bergulir. Beberapa dari fakta itu memojokkan Anwar. Salah satu fakta itu adalah surat elektronik yang dikirim anwar kepada sejumlah mantan pejabat BI. Surat elektronik itu membuktikan bahwa Anwar mengetahui urusan BI dengan DPR untuk membahas revisi UU BI, sesuatu yang pada akhirnya diduga mengandung praktik suap menggunakan dana bank sentral.

Surat elektronik itu ditujukan kepada kepada anggota Dewan Gubernur BI, yaitu Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Maman H. Somantri, Aslim Tadjuddin, R. Maulana Ibrahim, dan Hartadi A. Sarwono.

Dalam surat itu Anwar menyebutkan BI perlu mengandalkan DPR jika BI gagal melobi IMF dalam memperjuangkan kepentingan BI melalui revisi UU BI. Bahkan, dalam surat elektronik itu, Anwar menyebut DPR sebagai "pertahanan terakhir". "Jika kita kalah, pertahanan terakhir adalah DPR yang akan melakukan amandemen UU BI itu," tulis Anwar yang kala itu menjadi Deputi Gubernur Senior BI.

Ungkapan Anwar itu menguatkan dugaan bahwa Ketua BPK itu mengetahui tentang upaya amandemen UU BI, yang belakangan terungkap memakan dana sebesar Rp31,5 miliar. Selama kasus itu bergulir, Anwar selalu membantah menyetujui pencairan dana BI yang sebagian diduga mengalir ke sejumlah anggota DPR itu.

Surat elektronik Anwar bermula ketika dirinya hadir dalam rapat Tim Exit IMF. Dalam rapat itu, Anwar mendapat informasi bahwa Departemen Keuangan meminta agar aturan tentang Dewan Supervisi dicantumkan dalam amandemen UU BI.

Menurut Anwar, Departemen Keuangan berpendapat keberadaan Dewan Supervisi penting bagi pemerintah untuk mengawasi keuangan BI.

"Perlu kita lobi IMF dan setelah meyakinkannya, kita minta agar mereka (IMF) meyakinkan Depkeu untuk tidak perlu mendirikan Dewan Supervisi," tulis Anwar dalam surat elektronik tertanggal 24 Juli 2003, atau dua hari setelah Anwar menghadiri Rapat Dewan Gubernur BI tentang aliran dana BI Rp100 miliar.

Kali ini Anwar mengaku pernah mengirim surat elektronik tersebut. Namun, dia tidak menjelaskan secara rinci apakah hubungan dengan DPR yang dia sebut di dalam surat itu terkait dengan skandal aliran dana BI. Dia hanya menjelaskan, kerjasama dengan DPR diperlukan karena lembaga itu memiliki wewenang yan gkuat untuk meloloskan atau tidak meloloskan revisi UU BI.

Serangan balik belum berakhir. Kini giliran mantan Anggota DPR Antony Zeidra Abidin bersuara. Antony yang juga terjerat dalam kasus itu merasa kesal kenapa hanya namanya yang disebut dalam laporan BPK sebagai penerima dana BI.

Alhasil, pria yang kini menjadi wakil gubernur Jambi itu menuding anggota BPK, Baharuddin Aritonang, melakukan pemerasan terhadap dirinya. Dia mengaku pemerasan itu terjadi setelah BPK mulai mengendus penyelewengan dana BI yang kemudian dilaporkan pada 2006. "Baharuddin Aritonang memeras saya," kata Antony.

Menurut Antony, pemerasan itu terjadi dalam suatu pertemuan di restoran Basara di gedung Sumitmas Tower, Jakarta. Antony menuding anggota BPK Baharuddin Aritonang meminta uang Rp500 juta dalam pertemuan itu. Pertemuan itu sedianya bertujuan untuk membahas laporan BPK yang menyebut Antony telah menerima dana BI sebesar Rp31,5 miliar.

Menurut Antony, uang Rp500 juta yang diminta Baharuddin adalah untuk keperluan amandemen UU BPK, khususnya tentang pasal peralihan tentang perpanjangan masa jabatan ketua dan anggota BPK.

Karena merasa tidak memiliki uang, Antony tidak memenuhi permintaan Baharuddin. Menurut dia, penolakannya itu berbuntut pada pencantuman nama Antony dalam laporan BPK tentang aliran dana BI kepada sejumlah anggota DPR.

"Maka nama saya dicantumkan," kata Antony kepada majelis hakim.

Tudingan itu serta merta dibantah oleh Baharuddin Aritonang. Baharuddin adalah salah satu dari 52 nama yang disebut oleh Hamka Yandu sebagai penerima dana BI pada 2003. Saat itu Baharuddin masih menjadi anggota Komisi IX DPR RI.

Saling tuding dan saling bantah terus terjadi seiring laporan BPK tentang skandal aliran dana BI. Laporan itu disusul dengan eforia publik atas sepak terjang KPK dalam mengungkap fakta demi fakta dan membekuk mereka yang diduga bertanggung jawab. Namun, sorak sorai eforia publik itu belum bisa menjawab rasa penasaran atas akhir skandal. Siapapun tidak bisa meramalkan arah bergulirnya bola panas dana BI, termasuk Ketua BPK Anwar Nasution, sang pelapor.

Tuesday, September 09, 2008

Nasib Pahit Di Meja Hijau

lilik dwi


Kamis, 4 September 2004, menjadi hari yang mengubah nasib dan jalan hidup Urip Tri Gunawan. Jaksa karir yangsudah 17 tahun mengabdi itu harus menerima putusan pengadilan. Dia dinyatakan bersalah dan harus dipenjaraselama 20 tahun.

Majelis hakim yang diketuai oleh Teguh Hariyanto menyatakan Urip terbukti secara sah dan meyakinkan menerima uang 660 ribu dolar AS dan Artalyta Suryani dan melakukan pemerasan sebesar Rp1 miliar terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen Surya Yusuf.
Sejak pukul 09.00 WIB, Urip berada di gedung Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, tempat yang akanmenjerumuskan dia ke penjara.

Setelah "lepas" dari kawalan petugas KPK, Urip langsung memasuki ruang terdakwa di lantai dua gedung pengadilan itu. Sebagian besar waktunya di dalam ruangan,dia habiskan untuk menuangkan pemikiran dalam sebuah buku agenda. Hanya sesekali Urip mengalihkan pandangannya dari buku untuk kemudian membaca koran.

Entah apa yang ditulisnya. Namun, selama menjalani hari-hari sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi, Urip selalu merekam dan menuangkan apa yang terlintas dikepalanya ke dalam tulisan. Bahkan, ketika terduduk dikursi terdakwa menghadap majelis hakim, dia tidak henti menggoreskan pena di setiap lembar kertas.

Satu per satu pengunjung sidang mulai berdatangan.Para pencari berita mulai menelisik dan mencari celah untuk dijadikan sebuah cerita.

Urip tetap sibuk dengan tulisannya. Ia tidakmenghiraukan puluhan pasang mata yang menatap dari luar pintu kaca tempat ia berada. Bahkan, Urip tidak terpancing sedikitpun untuk menoleh meski lampu kilat dari puluhan kamera foto wartawan "menderanya".

Hiruk pikuk ternyata hanya terjadi di luar ruang terdakwa. Riuh rendah suara pengunjung sidang dan kilat lampu kamera tidak mempengaruhi kesunyian di dalam ruang terdakwa.

Satu-satunya benda bergerak di dalam ruang itu adalahjari Urip yang mengapit pena untuk menuliskan buah pikirannya. Hanya tirai penutup jendela yang sesekali turutbergerak, menemani kesendirian jaksa berusia 42 tahun itu.

Sekira pukul 10.00 WIB, seorang petugas menghampiri Urip. Pintu ruang terdakwapun akhirnya terbuka. Petugastadi mempersilahkan Urip untuk berkemas, karena sidang pembacaan putusan terhadap dirinya segera dimulai.

Seperti kebiasaan pengadilan pada umumnya, terdakwa hanya diperbolehkan memasuki ruang sidang hanya jika majelis hakim yang menangani perkara sudah siap dan mempersilahkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan terdakwa.

Tanpa menunggu pengulangan perintah, Urip segara bergegas memasuki ruang sidang dengan kawalan petugas. Semua diam, semua mendengar, semua meperhatikan langkah Urip menuju kursi pesakitan.

Sekali lagi Urip tidak melupakan buku agenda dan pena.Keduanya ia bawa dan menjadi saksi terdekat yang mampumerasakan gemetar jari dan basah keringat dari pori-poritelapak tangan Urip.



Vonis maksimal
Seminggu sebelum pembacaan putusan, Urip mengakui bahwa dirinya tertekan dengan kasus yang sedang dia jalani.Dalam pembelaan pribadi yang dibacakan di hadapan majelis hakim, Urip mengaku kaget dan tidak berselera makan setelah mendengar tuntutan 15 tahun penjara yang dilontarkan tim JPU.

"Saya sampai tidak bisa tidur," katanya sembarimenambahkan, "Mendengarnya saja seperti penjara seumur hidup bagi saya."

Meski mengungkapkan segala penderitaan dalam nota pembelaan, persidangan terus berjalan. Urip harus menghadapi hari pembacaan putusan.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menjeratUrip dengan menggunakan pasal 12 B dan 12 E UU nomor 31tahun 1999 sebagaimana diubah dengan pasal 20 tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal itu memungkinkan seseorang dijatuhi pidana penjara hingga20 tahun.

Dalam putusannya, majelis hakim berkeyakinan bahwa Urip dengan sengaja membocorkan proses penyelidikan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kemungkinanmenyeret pimpinan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.

Urip terbukti membocorkan proses penyelidikan kepada Artalyta Suryani, pengusaha yang dikenal dekat dengan Sjamsul Nursalim.

"Terdakwa melindungi kepentingan Sjamsul Nursalim untuk mendapatkan imbalan," kata hakim Andi Bachtiar.

Majelis hakim menegaskan, Urip telah dengan sengaja menyarankan kepada Artalyta tentang cara-cara yang bisa ditempuh agar Sjamsul Nursalim tidak perlu menghadiri panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Agung.

Pertimbangan hukum majelis hakim antara lain didasarkan pada petunjuk hasil sadapan asli yang dilakukan terhadap pembicaraan Urip dengan berbagai pihak melalui telepon.

Majelis menyatakan Urip telah menghubungi jaksa HendroDewanto untuk membantu mencarikan solusi kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim. Hendro Dewanto adalah anggota tim jaksa BLBI yang berperan dalam menganalisis hasil penyelelidikan kasus itu.

Dalam pembicaraan yang terjadi pada 7 Desember 2007itu, Urip berulang kali meminta tolong kepada Hendro.

"Terdakwa berulang-ulang meminta Hendro Dewanto untuk mencarikan jalan keluar kasus BLBI BDNI," kata hakim TeguhHaryanto.

Urip juga terbukti menghubungi pegawai Badan PemeriksaKeuangan (BPK), Adi untuk membantu meyakinkan sejumlahjaksa agar perkara BLBI diselesaikan secara perdata.

Hakim juga membeberkan pembicaraan Urip dengan Artalyta pada tanggal 25 Februari 2008. Dalam pembicaraan itu, Artalyta menyatakan komitmennya untuk menyediakan sesuatu dengan mengatakan,"Pokoknya aku sudah ready,tinggal tunggu waktu aja."

"Itu terkait dengan rencana pemberian uang 660 ribu dolar AS," kata hakim Teguh menambahkan.

Majelis menyebutkan, Urip telah beberapa kali menjalin komunikasi dengan Artalyta yang antara lain menyebutkan tentang sesuatu yang akan diberikan kepada Urip.

Kemudian, sesaat setelah penghentian kasus BLBI pada29 Februari 2008, Urip juga menghubungi Artalyta untuk memberitahu bahwa penyelidikan kasus tersebut telah dihentikan, seperti keinginan Artalyta. Dalam pembicaraanitu, Artalyta menyatakan kesiapannya untuk memberikan uang kepada Urip pada Minggu, 2 Maret 2008.

Pada hari yang ditentukan itu, Urip ditangkap karena menerima uang 660 ribu dolar AS. Majelis berkeyakinan,pemberian itu terkait dengan penyelidikan kasus BLBI.

Saat itu juga, majelis menyatakan Urip bersalah karena memeras mantan Kepala BPPN Glen Surya Yusuf sebesar Rp1miliar. Pemerasan itu dilakukan melalui perantaraan pengacara Glen, Reno Iskandarsyah.

Majelis berkeyakinan, Urip menyatakan bahwa ada kemungkinan Glen menjadi tersangka dalam kasus BLBI. Halitu bisa disiasati jika Glen mau berkoordinasi danmenyerahkan sejumlah uang.

Akhirnya Glen menyerahkan Rp1 miliar kepada terdakwa melalui Reno Iskandarsyah.

Berdasarkan fakta yang ada, majelis hakim menilai Uriptelah terbukti bersalah. Majelis juga menilai Urip sebagaipribadi yang tidak kooperatif dan selalu memberikanketerangan berbelit-belit.

Hakim Teguh Hariyanto menilai perbuatan Urip telah mencemarkan citra penegak hukum, terutama jaksa. Urip juga dianggap tidak mendukung program pemerintah dalammemberantas korupsi.

"Pertimbangan meringankan, tidak ada," kata hakimTeguh Hariyanto yang duduk berhadapan dengan Urip dengan jarak kurang dari lima meter.

Sejak itu, Urip mulai tidak banyak membuat coretan dibuku kesayangannya. Matanya mulai berkedip lebih sering. Sejak itu pula Urip mulai menundukkan dan mendongakkan kepala dengan pandangan yang jauh menerawang meski di ruang sidang itu banyak sekali obyek untuk dilihat.

"Terdakwa Urip Tri Gunawan terbukti secara sah danmeyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata hakim Teguh Hariyanto.

Urip semakin terdiam, sambil mendengarkan rentetan amar putusan berupa penjara 20 tahun dan denda 500 juta yang harus dia tanggung. Dia belum mengajukan banding atas putusan itu.

Selama pembacaan amar di akhir sidang, Urip tidak lagi menorehkan catatan di buku agenda. Ia melipat tangan, bersiap menghabiskan dua puluh tahun di penjara, waktu yang cukup lama untuk kembali bertemu dengan istri dan anaknya yang kini masih berada di dalam kandungan.

Monday, September 08, 2008

Kisah Sial Jaksa Pemburu Koruptor

lilik dwi

Rumah di sudut jalan itu lebih megah dari rumah-rumah lainnya. Meski wujudnya tidak terlihat langsung, citra kemegahan bisa ditangkap dari bentuk dan ukuran pagar yang mengelilinginya.
Siapapun akan mengalami kesulitan untuk melihat langsung halaman rumah karena terhalang pagar rapat dengan tinggi sekitar lima meter.

Pintu gerbang rumah itu, menurut warga sekitar, selalu tertutup. Sama seperti pagar, gerbang utama itu menjulang tinggi. Gerbang berbahan dasar plat besi menjamin keamanan isi rumah dari tangan jahil, bahkan dari mata yang hanya berniat mengintip.

Rumah itu beralamat di Jalan Terusan Hang Lekir II Kavling WG Nomor 9 RT 06/RW08, Simprug, Kebayoran Lama, Jakara Selatan. Warga hanya mengetahui rumah itu milik seorang bernama Sjamsul Nursalim. Siapapun tak akan menyadari, rumah berlantai dua itu akan menjadi saksi nasib sial yang menimpa seorang jaksa, Urip Tri Gunawan.

Siang hari, 2 Maret 2008, aktivitas warga di sekitar rumah itu berjalan seperti biasa. Layaknya kegiatan pada hari Minggu, tidak ada yang istimewa.

Salah satu hal yang membedakan adalah terhembusnya kabar ke telinga Ketua RT setempat, Sambiyo, bahwa ada sejumlah orang dari luar kompleks yang hilir mudik, serta bertingkah mencurigakan. Menurut informasi itu, kegiatan sekelompok orang asing itu terpusat di sekitar rumah megah nomor 9 di kawasan itu.

Wajar saja laporan seperti itu sampai ke telinga Sambiyo, karena kompleks tersebut milik para orang berpunya, terlihat dari bentuk serta kemegahan rumah yang saling berhimpitan. Keamanan adalah yang utama. Laporan tersebut menjadi perhatian pria yang sudah dua periode menjabat RT itu, meski tidak langsung disikapi dengan tindakan nyata.

"Dipantau dulu saja," ujar Sambiyo menirukan ucapannya sendiri ketika menceritakan kejadian saat itu. Sang pelapor, yang juga warga setempat, menaati titah Sambiyo.

Tak berselang lama, sekitar pukul 16.30 WIB, laporan kedua datang. Kali ini tidak main-main, dilaporkan terjadi perkelahian yang melibatkan orang-orang asing itu.

Tanpa pikir panjang, Sambiyo yang sudah beruban bergegas. Ia mempercepat langkah kaki untuk melihat kebenaran kabar perkelahian tersebut. Sambiyo terlambat. Di sudut jalan dekat rumah megah nomor 9 itu hanya terlihat adegan akhir dari sebuah perkelahian.

Dia hanya melihat sejumlah orang berseragam polisi mengamankan seorang pria berbaju putih. Selebihnya, Sambiyo hanya melihat beberapa orang lain yang belakangan dia ketahui sebagai petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sejak saat itu, Sambiyo mulai berurusan dengan KPK, terutama untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Sejak saat itu pula, Sambiyo menyadari telah menyaksikan peristiwa besar, karena salah satu mobil yang ada di tempat kejadian memuat sekardus uang berjumlah 660 ribu dolar AS, atau senilai Rp6 miliar. Uang itu diduga hasil perbuatan melawan hukum.

Berdasar informasi yang didapat Sambiyo, kejadian berawal ketika mobil bernomor polisi DK 1832 CF, kode wilayah Bali, keluar dari rumah nomor 9. Seorang pria, Urip Tri Gunawan, yang menjadi target petugas KPK, berada di mobil itu. Petugas KPK yang sudah menunggu di luar rumah berniat menghentikan mobil tersebut. Urip melawan. Ia menambah laju mobilnya.

Petugas KPK, menurut Sambiyo, tak kalah akal. Dengan menggunakan mobil, mereka mengejar Urip, kemudian menabrak mobil Urip dari belakang. Setelah berhasil menghentikan laju mobil asal Bali itu, petugas KPK masih harus berjuang melawan Urip yang beringas dan mencoba melawan.

Alhasil, Urip dibekuk. Dari dalam mobilnya, KPK menemukan setumpuk uang asal negeri Paman Sam berjumlah 660 ribu dolar, yang dimasukkan dalam kardus. Setelah itu, Urip digelandang ke kantor KPK. Petugas juga membawa serta Arthalita Suryani, seorang wanita yang berada di dalam rumah nomor 9 itu yang diduga sebagai pemberi uang.

Urip dan BLBI

Setelah tertangkap, Urip menjalani pemeriksaan intensif di gedung KPK.
Di gedung KPK, juru bicara lembaga pembasmi koruptor itu, Johan Budi, menyatakan Urip Tri Gunawan, yang disebutnya dengan singkatan UTG, ditangkap karena diduga menerima uang sejumlah 660 ribu dolar AS.

KPK merasa berhak menangkap Urip karena pria itu adalah seorang jaksa, seorang penyelenggara negara yang menjadi yurisdiksi (kewenangan hukum) KPK.

Selain melakukan pemeriksaan, KPK juga bersiaga penuh, diantaranya dengan langsung menyiagakan dua mobil tahanan. Kedua mobil tahanan jenis kijang yang masing-masing bernomor polisi B 8593 WU dan B 8638 WU tiba sekitar pukul 21.50 WIB dan langsung diparkir di depan lobi Gedung KPK secara berurutan dengan posisi siaga dengan pintu belakang terbuka.
Supir kedua mobil tahanan tersebut juga terlihat bersiaga dengan didampingi sejumlah petugas keamanan Gedung KPK.


Sikap KPK ini wajar, terutama jika dihubungkan dengan dugaan bahwa penangkapan Urip terkait dengan penghentian penyelidikan kasus legendaris, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Malam itu juga, Urip menyandang status baru, tersangka. "Otomatis kita tetapkan sebagai tersangka," ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi.

Sebelumnya, pada Jumat (29/2), Kejaksaan Agung menyatakan tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam kesempatan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, juga sekaligus mengumumkan pembubaran tim 35 jaksa yang bertugas menyelidiki dua kasus BLBI tersebut.

Dua kasus tersebut adalah penyerahan aset obligor atas kucuran BLBI pada 1997 dan 1998.
Kemas merinci, pada 1998 terjadi kucuran BLBI sebesar Rp35 triliun kepada obligor Bank Central Asia (BCA). Dalam rangka pelaksanaan "Master Settlement for Acquisition Agreement" (MSAA) pada September 1998, jumlah Kewajiban Pemegan Saham (JKPS) atas kucuran tersebut meningkat menjadi Rp52,7 triliun.

Namun demikian, pada 2006 perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, aset yang diserahkan kepada negara hanya Rp19 triliun, lebih sedikit dari nilai awal kucuran BLBI dan JKPS. Penyelidikan kasus itu dipimpin oleh Jaksa Sriyono dan beberapa tim jaksa dari daerah.

Kemudian kasus yang kedua terjadi setelah terjadi kucuran BLBI sebesar Rp37 triliun pada 1997 kepada obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), bank milik konglomerat Sjamsul Nursalim. Berdasar audit BPK, dana BLBI membengkak menjadi Rp49,189 triliun, dengan JKPS sebesar Rp28,408 triliun setelah dikurangi aset bank penerima BLBI sebesar Rp18,850 triliun.

Kemas mengatakan, penyerahan aset senilai Rp28,408 triliun itu akan dibayar tunai Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp27,495 triliun. Namun demikian, nilai pengembalian setelah dijual hanya Rp3,459 triliun. Penyelidikan kasus itu dipimpin oleh jaksa Urip Tri Gunawan, mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Klungkung, Bali.

Jampidsus menegaskan, pengembalian utang telah dilakukan oleh pemegang saham atau penanggung BLBI. Perhitungan nilai aset juga dilakukan oleh auditor independen dengan tidak menyalahi aturan hukum.

"Semua telah dilaksanakan dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata Jampidsus.

Dia menyadari telah terjadi penurunan aset setelah penjualan, sehingga ada selisih yang sangat besar antara nominal kucuran BLBI dengan nominal aset yang diserahkan kepada negara sebagai pembayaran utang. Penyusutan itu, kata Jampidsus, merupakan masalah ekonomi yang tidak ada kaitannya dengan pelanggaran hukum. Dia mencontohkan aset PT Dipasena milik Sjamsul Nursalim yang terjerat kasus BLBI mengalami penurunan ketika akan dijual pada 2007. Awalnya aset yang ditaksir bernilai Rp19 triliun tersebut akan digunakan untuk menutup utang BLBI. Ketika aset tersebut akan dijual dan diaudit pada 2007, aset tersebut hanya bernilai Rp400 miliar.

Untuk itu, Jampidsus menyimpulkan, penurunan nilai aset yang diserahkan kepada negara merupakan masalah ekonomi yang menjadi kewenangan Departemen Keuangan.

"Ini kami serahkan sepenuhnya kepada Menteri Keuangan," kata Jampidsus.

Jaksa Urip Tri Gunawan hadir mendampingi Jampidsus dalam pengumuman penghentian kasus BLBI. Waktu itu, Urip mengenakan seragam dinas jaksa, duduk menghadap tumpukan berkas penyelidikan kasus BLBI yang dilakukan oleh tim pimpinannya. Sungguh berbeda, di tangan KPK, Urip menjadi pesakitan yang diduga menerima uang terkait kasus yang telah dihentikannya.

Berdalih

Malam hari setelah tertangkap, Urip menjalani pemeriksaan di gedung KPK.
Sekitar pukul 23.00 WIB, sejumlah wartawan dikejutkan dengan kehadiran Urip yang dikawal ketat petugas kepolisian di lobi gedung KPK. Petugas KPK meminta Urip menyaksikan penggeledahan terhadap mobil miliknya yang diparkir di lobi tersebut. Mobil dengan nomor polisi wilayah Bali itu penyok di bagian belakang. Saat itulah Urip berdalih bahwa uang yang dibawanya sama sekali tidak terkait dengan BLBI.


"Saya bisnis permata, saya jual beli permata. Nggak ada kaitan dengan perkara apa pun," katanya menjawab pertanyaan wartawan.

Dalam penggeledahan terhadap mobil jenis kijang berwarna silver milik Urip yang bernomor polisi DK 1832 CF, Tim Penyidik KPK nampak mengambil sebuah tas warna hitam yang kemudian dijadikan barang bukti.

Ketika ditanya apakah uang yang diterimanya terkait penghentian kasus BLBI, Urip mengatakan, "Itu bukan saya yang menentukan, itu sudah dibahas oleh tim," katanya.

Dia kemudian menegaskan bahwa dirinya akan menghormati hak penyidik dan akan membuktikan bantahannya tersebut di pengadilan.

Entah apa yang ada dalam benak Urip saat itu. Yang jelas, dia menegaskan memiliki bukti jual beli permata. Saat itu Urip tampak tabah, meski dia telah melalui hari yang berat. Baju putihnya lusuh dan kotor oleh tanah. Namun, dia tidak menundukkan wajah sedikitpun dihadapan kilat lampu dan sorot kamera para pemburu berita.

Dengan penuh semangat dan sorot mata tajam, Urip siap membuktikan semuanya di pengadilan. Bahkan, dia berkali-kali mengacungkan telunjuk tanda kekesalan. Tak lama kemudian, aparat kepolisian dan penyidik KPK kembali membawa Urip memasuki gedung KPK, menyisakan berbagai pertanyaan.

Sunday, September 07, 2008

Sekedar Sontrot

Sontrot..kata yang mungkin membuat kening berkerut. Bagi yang belum mengenalnya, sontrot adalah padanan kata untuk sumbu kayu yang sering kali mengganggu aktivitas kunyah mengunyah singkong. Mengganggu memang. Serat kaku yang terletak tepat di tangah 'daging' singkong itu seringkali "nylilit" di sela gigi. Sontrot dan singkong, tidak diragukan lagi adalah perpaduan sekaligus representasi desa. Dua benda itu seringkali mucul dalam sejumlah fragmen kehidupan rural. Singkat kata, sontrot yang menjadi cikal bakal singkong adalah sesatu yang 'ndeso'..katrok..kampungan.

Mengganggu dan kampungan, itulah sontrot. Namun siapa sangka, tanpa sontrot tidak akan ada singkong. Ia menjadi dasar dari sebuah jaringan yang mengenyangkan. Ia menjadi tempat bersandar bagi sumber hidup yang disebut singkong, Manihot utilissima, awal dari kompleksitas peradaban cepat saji, urban, dan cyber. Singkatnya, sotrot menjadi basis dari sebuah eksistensi.

Singkong, yang berawal dari sontrot, menjadi teman setia kopi, teh, atau yang lain di setiap sudut ruang, bahkan di perkotaan sekalipun. Singkong seringkali hadir dalam sebuah kebersamaan yang berujung pada tukar pikiran, terlepas dari bobot pikiran yang ditukar. Ia menemani berbagai macam tema cerita dan diskusi, apapun itu. Ia hadir tanpa intensi yang muluk, hanya guyub dan baguyuban..bukan untuk sok-sokan.

Sontrot hadir dalam sebuah bentuk kehidupan baru yang akan menjadi teman untuk bertukar pikiran dan cerita.