Monday, October 13, 2008

Jejak Langkah Jose Rizal





lilik dwi

“Aku tidak ingin mati sebagai pangkhianat,” kata Rizal dalam hati ketika menginjak garis batas hidup dan mati.

Tangan Rizal terbelenggu, dan tubuhnya mebelakangi para serdadu yang dengan bengis mengarahkan ujung senapan laras panjangnya ke bagian belakang kepala Rizal.
Sesekali Rizal meminta agar ditembak di bagian jantung, tidak di kepala seperti kebiasaan hukuman mati para pengkhianat. Permintaannya ditolak. Penguasa tetap menganggapnya sebagai ancaman dan pengkhianat.

Ujung jari para eksekutor telah menyentuh pematik. Dalam hitungan detik, kepala Rizal akan hancur tak berbentuk.

Rizal melayang sendiri dalam alam pikirannya yang pada saat itu tidak bisa diterima oleh logika pemerintah. Dia menganggap dirinya bukanlah pengkhanat, melainkan pejuang untuk kaum dan suku bangsanya.

Dengan sekuat tenaga, Rizal membalikkan tubuh ketika terdengar komando untuk menembak. Mata yang tertutup memaksanya mengandalkan kemampuan mendengar.
Peluru meluncur, Rizal terkapar. Ia tertembak tepat di bagian dada, jatuh terlentang menghadap matahari pagi, dan mati sebagai pejuang rakyat Filipina.
Hari itu, 30 Desember 1896, adalah awal dari penghormatan luar biasa rakyat Filipina kepada sosok Rizal, pria bertubuh kecil yang dikenal sebagai pahlawan nasional.

Cendikiawan ini dikenal sebgai pejuang hak rakyat Filipina yang menderita sekian lama akibat penjajahan Spanyol.

Rizal lahir pada 19 Juni 1861 dengan nama kecil Jose Protacio Alonzo Mercado. Rizal menjalani masa kecilnya di Calamba, Laguna, Filipina. Dia adalah anak ke tujuh da ri delapan bersaudara.

Rizal lahir dari pasangan seorang petani tebu sekaligus tuan tanah Francisco Mercad dan seorang wanita terpelajar, Teodora Alonzo.

Rizal kecil menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan belajar. Dalam usia yang relatif muda, Jose Rizal dikenal sebagai ahli dalam berbagai bidang ilmu.
Masyarakat setempat juga mengenalnya sebagai seorang dokter. Selain itu, nama Rizal mulai bersinar setelah dia aktif dalam dunia pergerakan kemerdekaan Filipina. Saat itu, dokter Rizal juga diakui sebagai pejuang sekaligus cendekiawan.
Kesibukannya sebagai aktivis pergerakan intelektual membuat Rizal biasa menlontarkan berbagai gagasan dan pemikiran, baik lisan maupun tulisan.

Kebiasaannya itu membawa hal baru yang kemudian menjadi profesi yang dia tekuni, sastrawan. Sejumlah novel telah ditulisnya. Kemampuan verbalnya semakin berkembang. Bahkan, masyarakat Filipina menegalnya Rizal sebagai orang yang fasih bertutur dalam 22 bahasa.
Dalam usia 25 tahun, Rizal telah menjadi cendikiawan tersohor. Sejumlah pemikirannya memuat pemerintah Spanyol saat itu kalang kabut. Mereka merasa terancam dengan pemikiran pembebasan Rizal.
Alhasil, nyawa menjadi penawar kegelisahan. Rizal dibunuh pada dini hari, setelelah sebelumnya berstatus tahanan untuk beberapa waktu.

Perjuangan Rizal dilanjutkan oleh para penerusnya, hingga pada akhir cerita, Filipina berhasil meraih kemerdekaan pada 12 Juni 1898 dibawah kepemimpinan Andres Bonifacio.

Abadi

Nama besar Jose Rizal selalu mengisi hati warga Filipina. Nama dan gambar pria serba bisa ini menghiasi seiap ruang publik dan ruang komersil.

Seorang penjaga toko di kawasaan Quezon City, Metro Manila, tersenyum spontan ketika ditanya mengapa toko yang dijaganya menjajakan kaos berlogo pahlawan nasional itu.
“Selalu ada orang yang menanyakan kaos bergambar Jose Rizal,” kata wanita itu dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.

Perjuangan fisik Rizal memang sudah berakhir lama, namun semangatnya masih berkobar hingga kini.
Komisi Nasional Kebudayaan dan Seni Filipina mencatat, perjuangan kemerdekaan berlangsung sejak 1565, ketika Spanyol mulai menginjakkan kaki dan memerintah di Filipina.
Perjuangan melawan pemerintahan Spanyol mancapai akhir pada Desember 1897. Akhir cerita itu sekaligus menjadi pembuka babak baru bagi perjuangan kemerdekaan karena pada saat yang sama Amerika juga “mengais “ rezeki dan kekuasaan di Filipina.

Warga Filipina bisa dengan mudah menggali kenangan masa lalu. Mereka akan dengan mudah menemukan sejumlah bangunana dan kawasan bersejarah yang tertata rapi.

Salah satu kawasan itu adalah Intramuros. Secara harafiah, Intramuros berarti ‘di dalam tembok’. Seperti artinya, kawasan ini adalalh kawasan ekslusif warga asli dan keturunan Spanyol.

Intramoros berada di pesisir pantai Manila. Kawasan ekklusif ini dikelilingi tembok tinggi dan tebal, sehingga menjamin kemurnian penghuninya dari penyusup, terutama warga pribumi Filipina dan Tiong Hoa.

Kota di dalam tembok raksasa ini menjamin semua kebutuhan penghuninya. Penduduk bisa menemukan berbagai fasilitas, seperti gereja, pasar, rumah makan, pos pengamanan, bahkan penjara.

Fort Santiago adalah salah satu pusat pengendali aktivitas Intramuros pada abad XVI silam. Benteng ini pernah berfungsi sebagai pusat pemantau keamanan, baik ke dalam maupun ke luar Intramuros.

Selain itu, Fort Santiago juga bersungsi sebagai penjara bagi orang yang dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan pemerintahan Spanyol di Filipina.
Jose Rizal adalah salah satu pribumi Filipina yang pernah menjalani masa penahanan di Fort Santiago.

Denyut akhir hayat Rizal terekam dengan baik di Fort Santiago. Gerbang setinggi hampir sepuluh meter menjadi pembuka pemandangan bersejarah bagi wisatawan .
Bentuk fisik bangunan pembuka jalan itu lebih menyerupai candi di Indonesia karena menggunakan bahan dasar yang sama, batu.

Jika dilihat lebih detail, gerbang tersebut berhias berbagai lambang dan kata-kata dalam bahasa Spanyol yang terpahat rapi.

Wisatawan laiknya diajak untuk bermimpi untuk merasakan masa lalu dengan disuguhi sedkikitya 980 tiruan jejak langkah yang terbuat dari plat besi.

Tidak lain dan tidak bukan, jejak langkah itu adalah jejak langkah Jose Rizal, ketika dirinya digiring melewati gerbang Fort Santiago menuju kehidupan abadinya.


Ratusan jejak langkah itu berasal dari dalam kompleks For Santiago, melalui gerbang utama, dan menuju keluar kompleks kawasan wisata Fort Santiago.

Rasa penasaran membuat kaki melangkah mencari dari mana jejak langkah Rizal itu berasal. Penelusuran itu menimbulkan kesan pemutaran ulang detik-detik akhir kematian Rizal menuju lokasi penahanannya.

Pencarian asal 980 jejak langakah itu berakhir pada bangunan tanpa atap. Bangunana itu hanya menyisakan tembok yang mulai terkelupas, sehingga tampak lajur-lajur batu bata merah di dalamnya.

Bangunan itu tertutup bagi pengunjung. Gerbang besi setinggi dua terkunci rapat, sehingga memisahkan para wisatawan dengan segaka detail benda dan bangunan bersejarah didalamnya.
Ratusan jejak langkah tadi ternyata berasal dari dalam bangunan itu. Jejak langkah pertama menempel pada bagian kaki sebuah patung berwarna gelap. Patung itu merepresentasikan Rizal yang sedang berada dalam tahanan.




Patung itu hanya setinggi 150 centimeter. Banyak orang mengira tinggi patung itu sama dengan tinggi Rizal sebenarnya.

Pengunjung bisa merasakan suasana saat Rizal menjalani masa tahanan dengan mencermati wujud patung yang sendiri dalam ruangan dengan tangan terikat di samping badan.

Kisah akhir Rizal juga diabadikan dalam museum di Fort Santiago yang menyajikan berbagai hasi pemikiran dan benda-benda koleksi Rizal.

Museum itu menjajikan berbagai pemikiran Rizal yang terpahat dalam sejumlah lempengan besi. Pahatan pemikiran itu dipasang tegak berdiri dengan rapi di ruang tengah museum berlantai dua itu.

Kecintaan Rizal pada sastra dan alam pemikiran terwujud dalam sejumlah koleksi novel, baik karyanya maupun karya sastrawan lain.

Keahliannya pada ilmu alam dan kedokteran terpampang dalam koleksi berbagai binatang piaraan jenis reptil yang diabadikan, sehingga bisa bisa daiamati wujud aslinya meski sudah mati. Dinding-dinding bangunan itu juga dihiasi dengan berbagai lukisan dan foto diri Rizal semasa hidup. Sejumlah gambar juga menceriitakan aktivitas Rizal sebagai dokter yang dengan tekun dan perhatian mengobati pasiennya.

Rizal memang abadi di tengah deru kehidupan modern warga kota Manila. Warga masih mengingat jasa besar dokter yang juga pejuang kemerdekaan itu.

Jose Rizal bukan hanya pejuang bagi rakyat Flipina, namun juga pejuang dunia karena ia memperjuangkan hak bangsa tertindas akibat ketidakadilan di atas bumi.

Jasa besanya diiuti penghormatan besar. Warga Filipina, terutama di lingkungan kampus, selalu menyempatkan berhenti dari segala aktivitas dan berdiri tegak saat lagu kebangsaan dikumandangkan setiap pagi. Hal serupa jarang terlihat di Indonesia.

Sunday, October 12, 2008

Romantisme Liturgis di San Agustin











lilikdwi

Rasa letih menempuh perjalanan di jantung kota Manila, Filipina,serasa sirna setelah mennginjakkan kaki di Intramuros.



Seketika angan melayang menyusuri lorong waktu menuju peradaban 200 tahun silam. Seluruh sudut Intramuros memperlihatkan keabadian peradaban masa silam. Waktu dan perkembangan peradaban tidak mengikis cita rasa Spanyol di Intramuros yang berada tak jauh dari jantung kota Manila.
Kawasan ini berada di pesisir kota Manila. Secara hariafiah, intramuros berarti “di dalam tembok”. Intramuros adalah kota tua di Filipina yang berkembang sejak abad ke XVI, saat Spanyol berkuasa di Filipina.
Saat itu, pemerintah Spanyol di Filipina, membuat Intramuros sebagai kawasan eksklusif keturunan Spanyol. Kawasan ini dibuat steril dari etnis lain, misalnya pribumi Flipina atau Tiong Hoa, dengan membangun tembok batu mengelilingi kota.
Perkembangan kebudayaan dan sistem pemerintahan Spanyol sejalan dengan perkembangan Kristianitas. Sejak masa kekuasaan Spanyol, Filipina, khususnya Intramuros, menjadi salah satu basis penyebaran kristianitas dalam wujud iman dan liturgi Katolik.
Salah satu penanda cikal bakal penyebaran iman Katolik di Intramuros adalah gereja San Agustin. Gereja ini menjadi saksi misi agama dan politik pemerintahan Spanyol di kawasan itu.
San Agustin adalah salah satu gereja tua di Flipina yang masih berfungsi sebagai pusat liturgi katolik. Umur gereja ini sudah 200 tahun.

Liturgi dan Seni
San Agustin adalah salah satu penanda kota Manila. Bahkan, gereja ini juga menjadi titik awal perkembangan kristianitas, yang menjadi pegangan hidup sebagaian besar warga Filipina hingga sekarang.

Keberadaan San Agustin kemudian diikuti dengan perkembangan pusat kebudayaan yang lain, termasuk pembangunan sejumlah gereja di hampir seluruh penjuru Filipina.

Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) telah menetapkan gereja San Agustin sebagai warisan budaya dunia pada 1994.
Keputusan UNESCO sangat beralasan karena gereja berlantai dua itu menyimpan nilai-nilai kekayaan budaya yang sangat tinggi, mulai dari nilai historis, estetis, dan liturgis.
Ketiga nilai itu menyatu menjadi satu untaian cerita di setiap ruang dan lorong di gereja San Agustin. Setiap ruang di gereja ini menyimpan berbagai benda historis, estetis, dan liturgis. Setiap ruang juga mempinyai fungsi masing-maisng.
Pada dasarnya ruang-ruang di gereja San Agustin ini terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu ruang liturgi (misa) dan museum.
Bangunan utama gereja berfungsi untuk kegiatan rutin gereja, seperti misa, pernikahan, dan bebrapa jenis liturgi katolik lainnya. Sedangkan, bangunan lain berfungsi sebagai museum tempat menyimpan berbagai benda dan dokumentassi gambar serta tulisan tentang perkembangan iman Katolik serta peradaban warga Intramuros dan sekitarnya.
Pengunjung akan langsung berhadapan dengan bangunan tingi berwarna kuning pucat
ketika menginjakkan kaki di halaman San Agustin. Bangunan itu berfungsi sebagai gereja. Wujud dan dan fungsi sebagai gereja langsung bisa ditangkap mata karena hampir di setiap permukaan tembok terpahat berbagai simbol dan figur rohaniwan Katolik.
Desain Interior gereja yang dibangun pada tahun 1571 ini menyimpan berbagai lekuk pahatan dan kombinasi warna yang tak terhitung jumlahnya.
Bagi orang awam, seluruh permukaan tembok di dalam San Agustin menyerupai media ekspresi seni, tempat mural dan seni pahat bersatu.
Salah satu karya seni yang terpampang di depan mata adalah tabernakel atau tempat penyimpan roti untuk perjamuan misa.








Tabernakel San Agustin menyerupai bangunan di dalam bangunan. Dengan tinggi hampir sepuluh mater dan lebar sekira lima meter, tabernakel itu mampu menyajikan karya seni dan rohani dalam skala yang luar biasa.
Tepat di atas tabernakel, patung Yesus setinggi dua meter berdir tegak dengan diapit dua lilin setinggi satu meter. Sementara itu, seluruh permukaan tabernakel dilapisi bahan serupa logam mengkilat dalam kombinasi warna putih, hijau, dan kuning.
Permukaan tabernakel yang sama juga berhias berbagai pernik dan pahatan religi, mulai dari lambang-lambang sampai figur tokoh-tokoh Katolik. Konon, pernik-pernik tabernakel itu langsung didatangakan dari Roma pada 1595.
Pusat perhatian lain di dalam gereja San Agustin adalah altar. Meja perjamuan sepanjang lima meter itu berdiri di atas empat lempeg batu berpahat salib dan berhiaskan berbagai relief dan figur tokoh-tokoh Katolik.

Berdasar tradisi awal gereja, altar bukan hanya berfungsi sebagai meja, melainkan juga sebagai penanda makam yang berada di bawahnya. Itu sebabnya seorang imam akan mencium altar sebelum mengakhiri misa, meskipun hal itu hanya menjadi sekedar ritus dan simbolisasi pada tatacara dan tradisi gereja modern saat ini.

Mahakarya seni dan liturgi lainnya di San Agustin tersimpan rapi di museum yang berada tepat di samping bangunan gereja.

Museum berlantai dua itu menyajikan berbagai benda peninggalan misisonaris Katolik, serta berbagai kary a seni berupa patung dan benda lain.

Museum gereja San Agustin terdiri dari dua lantai. Masing-masing lantai terdiri dari berbagai ruang yang memiliki nama dan fungsi masing-masing.

Secara umum,, ruang-ruang itu menyimpan berbagai benda liturgis dan karya seni berupa patung serta lukisan tentang aktivitas iman dan kepercayaan Katolik.

Sebuah tangga batu menghubungkan lantai satu dan lantai dua museum tersebut. Berdasarkan catatan yang tertera, tangga itu terdiri dari 44 lempeng batu granit yang langsung didatangkan dari Cina pada 1780.


Ruang di lantai dua museum tertata dengan konsep yang sama. Setiap ruang menyajikan berbagai benda seni dan sejarah terkait dengan misi Katolik. Sebgian benda yang tersimpan, mulai dari lukisan, patung kayu, patung batu, kursi, serta sarana dan prasarana upacara keagamaan berasal dari hasil kebudayaaan pada 1800-an atau sebelumnya.
Beberapa koleksi juga berhubungan dengan kontak budaya antara Eropa dan Asia.

Lintas budaya

Gereja dan museum San Agustin adalah salah satu dari sejumlah pusat kebudayaan dan keagamaan di Filipina. Pemerintah setempat memberikan perhatian yang besar terhadap perawatan dan pengembangan kawasan cagar budaya, sehingga menjadi simbol dan daya tarik tersendiri.

Komisi Nasional Kebudayaan dan Seni Filipina mengklaim telah melakukan perawatan terhadap 26 bangunan gereja yang diidentifikasi sebagai harta budaya setempat. Sebuah bangunan gereja diklasifikasikan sebagai harta budaya berdasar ciri khas arstitkturnya.

Berdasar penelitian komisi, sebagian besar bangunan gereja bersejarah di Filipina memadukan seni arsitektur Eropa dan Asia. Terlepas, dari kompleksitas seni arsitektur, gereja telah mengambil peran penting dalam perkembangan spiritual 58 juta pemeluk agama Katolik di Filipina.

Perpaduan citarasa Eropa dan Asia juga terlihat di gereja San Agustin. Beberapa ruang di gereja dan museum San Agustin dibangun menggunakan bahan dasar kayu, dengan motif dan ornamen khas Asia.


Contohnya, daun jendela dan pintu di beberap ruangan dibuat dengan menggunakan rangkaian kayu yang ditata secara meyilang, persis seperti yang sering dijumpai di Jepang dan Cina.
Perwujudan kontak budaya antara Eropa dan Asia juga bisa dilihat di ruang poselin. Ruang ini terletak di lantai dua museum San Agustin. Ruangan ini menyimpan berbagai benda khas Cina, terutama berbagai yang terbuat dari porselin.


Ruangan yang sama juga menyimpan berbagai benda kerajinan karya pribumi Filipina, sebagian besar berupa alat untuk menunjang aktivitas sehari-hari, seperti alat masak dan bercocok tanam.

Selain itu juga disajikan berbagai dokumentasi berupa gambar tentang aktivitas perdagangan, baik antar sesam bangsa Asia, maupun antara bangsa Asia dan Eropa. Salah satu dokumentasi yang terpampang adalah peta yang memuat rangkaian pulau di kawasan Asia tenggara. Dalam peta itu, belum terliha garis batas yang jelas antara Kalimantan (yang disebut Borneo) dan Malaysia.

Setiap ruang dan ornament di San Agustin menawarkan romantisme terhadap pengalaman historis dan liturgis dalam perjalanan peradaban di Filipina.

San Agustin juga menjadi dokumentasi kontak budaya antar bangsa. Inquirer, media massa setempat, mengigatkan kecintaan pada kebudayaan harus melandasi niat untuk melestarikan San Agustin yang selalu tegak berdiri untuk bersaksi tentang pahit getir perjalanan sejarah dan hubungan antar bangsa.

“Kita bisa membayangkan wujud kota di dalam tembok ini sebelum hancur lebur akibat perang pada 1945. Yang tersisa hanyalah tembok, dan tentu saja gereja San Agustin yang sekarang menjadi warisan dunia,” tulis Inquirer tantang San Agustin.