lilik dwi
“Aku tidak ingin mati sebagai pangkhianat,” kata Rizal dalam hati ketika menginjak garis batas hidup dan mati.
“Aku tidak ingin mati sebagai pangkhianat,” kata Rizal dalam hati ketika menginjak garis batas hidup dan mati.
Tangan Rizal terbelenggu, dan tubuhnya mebelakangi para serdadu yang dengan bengis mengarahkan ujung senapan laras panjangnya ke bagian belakang kepala Rizal.
Sesekali Rizal meminta agar ditembak di bagian jantung, tidak di kepala seperti kebiasaan hukuman mati para pengkhianat. Permintaannya ditolak. Penguasa tetap menganggapnya sebagai ancaman dan pengkhianat.
Ujung jari para eksekutor telah menyentuh pematik. Dalam hitungan detik, kepala Rizal akan hancur tak berbentuk.
Rizal melayang sendiri dalam alam pikirannya yang pada saat itu tidak bisa diterima oleh logika pemerintah. Dia menganggap dirinya bukanlah pengkhanat, melainkan pejuang untuk kaum dan suku bangsanya.
Dengan sekuat tenaga, Rizal membalikkan tubuh ketika terdengar komando untuk menembak. Mata yang tertutup memaksanya mengandalkan kemampuan mendengar.
Peluru meluncur, Rizal terkapar. Ia tertembak tepat di bagian dada, jatuh terlentang menghadap matahari pagi, dan mati sebagai pejuang rakyat Filipina.
Hari itu, 30 Desember 1896, adalah awal dari penghormatan luar biasa rakyat Filipina kepada sosok Rizal, pria bertubuh kecil yang dikenal sebagai pahlawan nasional.
Cendikiawan ini dikenal sebgai pejuang hak rakyat Filipina yang menderita sekian lama akibat penjajahan Spanyol.
Rizal lahir pada 19 Juni 1861 dengan nama kecil Jose Protacio Alonzo Mercado. Rizal menjalani masa kecilnya di Calamba, Laguna, Filipina. Dia adalah anak ke tujuh da ri delapan bersaudara.
Rizal lahir dari pasangan seorang petani tebu sekaligus tuan tanah Francisco Mercad dan seorang wanita terpelajar, Teodora Alonzo.
Rizal kecil menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan belajar. Dalam usia yang relatif muda, Jose Rizal dikenal sebagai ahli dalam berbagai bidang ilmu.
Masyarakat setempat juga mengenalnya sebagai seorang dokter. Selain itu, nama Rizal mulai bersinar setelah dia aktif dalam dunia pergerakan kemerdekaan Filipina. Saat itu, dokter Rizal juga diakui sebagai pejuang sekaligus cendekiawan.
Kesibukannya sebagai aktivis pergerakan intelektual membuat Rizal biasa menlontarkan berbagai gagasan dan pemikiran, baik lisan maupun tulisan.
Kebiasaannya itu membawa hal baru yang kemudian menjadi profesi yang dia tekuni, sastrawan. Sejumlah novel telah ditulisnya. Kemampuan verbalnya semakin berkembang. Bahkan, masyarakat Filipina menegalnya Rizal sebagai orang yang fasih bertutur dalam 22 bahasa.
Dalam usia 25 tahun, Rizal telah menjadi cendikiawan tersohor. Sejumlah pemikirannya memuat pemerintah Spanyol saat itu kalang kabut. Mereka merasa terancam dengan pemikiran pembebasan Rizal.
Alhasil, nyawa menjadi penawar kegelisahan. Rizal dibunuh pada dini hari, setelelah sebelumnya berstatus tahanan untuk beberapa waktu.
Perjuangan Rizal dilanjutkan oleh para penerusnya, hingga pada akhir cerita, Filipina berhasil meraih kemerdekaan pada 12 Juni 1898 dibawah kepemimpinan Andres Bonifacio.
Abadi
Abadi
Nama besar Jose Rizal selalu mengisi hati warga Filipina. Nama dan gambar pria serba bisa ini menghiasi seiap ruang publik dan ruang komersil.
Seorang penjaga toko di kawasaan Quezon City, Metro Manila, tersenyum spontan ketika ditanya mengapa toko yang dijaganya menjajakan kaos berlogo pahlawan nasional itu.
“Selalu ada orang yang menanyakan kaos bergambar Jose Rizal,” kata wanita itu dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.
“Selalu ada orang yang menanyakan kaos bergambar Jose Rizal,” kata wanita itu dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.
Perjuangan fisik Rizal memang sudah berakhir lama, namun semangatnya masih berkobar hingga kini.
Komisi Nasional Kebudayaan dan Seni Filipina mencatat, perjuangan kemerdekaan berlangsung sejak 1565, ketika Spanyol mulai menginjakkan kaki dan memerintah di Filipina.
Perjuangan melawan pemerintahan Spanyol mancapai akhir pada Desember 1897. Akhir cerita itu sekaligus menjadi pembuka babak baru bagi perjuangan kemerdekaan karena pada saat yang sama Amerika juga “mengais “ rezeki dan kekuasaan di Filipina.
Warga Filipina bisa dengan mudah menggali kenangan masa lalu. Mereka akan dengan mudah menemukan sejumlah bangunana dan kawasan bersejarah yang tertata rapi.
Salah satu kawasan itu adalah Intramuros. Secara harafiah, Intramuros berarti ‘di dalam tembok’. Seperti artinya, kawasan ini adalalh kawasan ekslusif warga asli dan keturunan Spanyol.
Intramoros berada di pesisir pantai Manila. Kawasan ekklusif ini dikelilingi tembok tinggi dan tebal, sehingga menjamin kemurnian penghuninya dari penyusup, terutama warga pribumi Filipina dan Tiong Hoa.
Kota di dalam tembok raksasa ini menjamin semua kebutuhan penghuninya. Penduduk bisa menemukan berbagai fasilitas, seperti gereja, pasar, rumah makan, pos pengamanan, bahkan penjara.
Fort Santiago adalah salah satu pusat pengendali aktivitas Intramuros pada abad XVI silam. Benteng ini pernah berfungsi sebagai pusat pemantau keamanan, baik ke dalam maupun ke luar Intramuros.
Selain itu, Fort Santiago juga bersungsi sebagai penjara bagi orang yang dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan pemerintahan Spanyol di Filipina.
Jose Rizal adalah salah satu pribumi Filipina yang pernah menjalani masa penahanan di Fort Santiago.
Jose Rizal adalah salah satu pribumi Filipina yang pernah menjalani masa penahanan di Fort Santiago.
Denyut akhir hayat Rizal terekam dengan baik di Fort Santiago. Gerbang setinggi hampir sepuluh meter menjadi pembuka pemandangan bersejarah bagi wisatawan .
Bentuk fisik bangunan pembuka jalan itu lebih menyerupai candi di Indonesia karena menggunakan bahan dasar yang sama, batu.
Bentuk fisik bangunan pembuka jalan itu lebih menyerupai candi di Indonesia karena menggunakan bahan dasar yang sama, batu.
Jika dilihat lebih detail, gerbang tersebut berhias berbagai lambang dan kata-kata dalam bahasa Spanyol yang terpahat rapi.
Wisatawan laiknya diajak untuk bermimpi untuk merasakan masa lalu dengan disuguhi sedkikitya 980 tiruan jejak langkah yang terbuat dari plat besi.
Tidak lain dan tidak bukan, jejak langkah itu adalah jejak langkah Jose Rizal, ketika dirinya digiring melewati gerbang Fort Santiago menuju kehidupan abadinya.
Ratusan jejak langkah itu berasal dari dalam kompleks For Santiago, melalui gerbang utama, dan menuju keluar kompleks kawasan wisata Fort Santiago.
Rasa penasaran membuat kaki melangkah mencari dari mana jejak langkah Rizal itu berasal. Penelusuran itu menimbulkan kesan pemutaran ulang detik-detik akhir kematian Rizal menuju lokasi penahanannya.
Pencarian asal 980 jejak langakah itu berakhir pada bangunan tanpa atap. Bangunana itu hanya menyisakan tembok yang mulai terkelupas, sehingga tampak lajur-lajur batu bata merah di dalamnya.
Bangunan itu tertutup bagi pengunjung. Gerbang besi setinggi dua terkunci rapat, sehingga memisahkan para wisatawan dengan segaka detail benda dan bangunan bersejarah didalamnya.
Ratusan jejak langkah tadi ternyata berasal dari dalam bangunan itu. Jejak langkah pertama menempel pada bagian kaki sebuah patung berwarna gelap. Patung itu merepresentasikan Rizal yang sedang berada dalam tahanan.
Ratusan jejak langkah tadi ternyata berasal dari dalam bangunan itu. Jejak langkah pertama menempel pada bagian kaki sebuah patung berwarna gelap. Patung itu merepresentasikan Rizal yang sedang berada dalam tahanan.
Patung itu hanya setinggi 150 centimeter. Banyak orang mengira tinggi patung itu sama dengan tinggi Rizal sebenarnya.
Pengunjung bisa merasakan suasana saat Rizal menjalani masa tahanan dengan mencermati wujud patung yang sendiri dalam ruangan dengan tangan terikat di samping badan.
Kisah akhir Rizal juga diabadikan dalam museum di Fort Santiago yang menyajikan berbagai hasi pemikiran dan benda-benda koleksi Rizal.
Museum itu menjajikan berbagai pemikiran Rizal yang terpahat dalam sejumlah lempengan besi. Pahatan pemikiran itu dipasang tegak berdiri dengan rapi di ruang tengah museum berlantai dua itu.
Kecintaan Rizal pada sastra dan alam pemikiran terwujud dalam sejumlah koleksi novel, baik karyanya maupun karya sastrawan lain.
Keahliannya pada ilmu alam dan kedokteran terpampang dalam koleksi berbagai binatang piaraan jenis reptil yang diabadikan, sehingga bisa bisa daiamati wujud aslinya meski sudah mati. Dinding-dinding bangunan itu juga dihiasi dengan berbagai lukisan dan foto diri Rizal semasa hidup. Sejumlah gambar juga menceriitakan aktivitas Rizal sebagai dokter yang dengan tekun dan perhatian mengobati pasiennya.
Rizal memang abadi di tengah deru kehidupan modern warga kota Manila. Warga masih mengingat jasa besar dokter yang juga pejuang kemerdekaan itu.
Jose Rizal bukan hanya pejuang bagi rakyat Flipina, namun juga pejuang dunia karena ia memperjuangkan hak bangsa tertindas akibat ketidakadilan di atas bumi.
Jasa besanya diiuti penghormatan besar. Warga Filipina, terutama di lingkungan kampus, selalu menyempatkan berhenti dari segala aktivitas dan berdiri tegak saat lagu kebangsaan dikumandangkan setiap pagi. Hal serupa jarang terlihat di Indonesia.