Wednesday, March 23, 2011

Politik Gertak Sambal

Sejak hampir lima abad silam, seorang menteri disamakan dengan seorang pelayan yang wajib mengabdi kepada atasannya. Seorang atasan memiliki hak untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan seseorang bekerja sebagai pelayan.

Niccolo Machiavelli, filosof politik asal Italia, adalah orang yang menyatakan hal itu. Machiavelli secara tegas menyatakan hal tersebut dalam sebuah buku yang dia tulis pada 1513, "The Prince".

"...seorang pangeran, dengan sekelompok pembantu yang mendampinginya sebagai para menteri untuk memerintah kerajaan atas namanya dan dengan izinnya," demikian diungkapkan Machievelli dalam buku itu.

Dia dikenal sebagai filosof yang blak-blakan menyatakan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa haruslah akrab dengan tipu muslihat, kelicikan, dan dusta. Meski demikian, filosofi politik dan kekuasaan yang ditawarkannya mengilhami sejumlah praktik kenegaraan di berbagai belahan bumi.

Akhir-akhir ini, "gonjang-ganjing" posisi menteri melanda dunia politik Indonesia. Hal ini terutama dialami oleh para menteri yang juga petinggi partai politik.

Alam politik Indonesia, menurut sejumlah pihak, penuh dengan gertak sambal. Politisi saling gertak, meski tidak menggunakan bahasa yang kasar dan menghentak. Namun, maksud yang disampaikan cukup jelas, yaitu untuk saling mengunci dan mematahkan pendapat.

Masih jelas teringat ketika sejumlah media massa memberitakan pernyataan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul yang terang-terangan berniat membuka keburukan Partai Golkar. Ruhut bersuara keras setelah muncul gejala bahwa partai berlambang pohon beringin itu akan tetap mengusung hak angket DPR yang terkait dengan mafia perpajakan.

Jika suara keras Ruhut itu dianggap sebagai gertakan, maka sebaliknya, pihak Partai Demokrat dan kubu pendukungnya juga menganggap niat sejumlah partai untuk menggunakan hak angket perpajakan merupakan sebuah gertakan dan manuver politik.

Lepas dari siapa menggertak dan isi gertakannya, kemelut hak angket perpajakan itu dimenangkan oleh kubu Partai Demokrat.

Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya memutuskan menolak usulan hak angket pajak. Hasil pemungutan suara menunjukkan 266 suara menolak dan 264 menerima.
Dalam pemungutan suara itu, anggota Fraksi Partai Demokrat hadir 145 orang dan seluruhnya menyatakan menolak.

Sementara, F-PAN hadir 43 orang dan solid menyatakan menolak. Begitu juga F-PPP yang hadir 26 orang dan sepakat untuk menolak.

Sementara itu, F-PKB hadir 28 orang, 26 orang di antaranya menolak. Sedangkan dua orang, yakni Lili Wahid dan Effendi Choirie menyatakan menerima usulan hak angket. Dan F-Gerindra yang hadir 26 orang, seluruhnya menyatakan menolak.

Sementara itu, F-PG hadir 106 orang dan solid untuk menerima. Sedangkan dari F-PDI-P yang hadir 84 orang seluruhnya sepakat untuk menerima usulan hak angket.

F-PKS hadir 56 orang dan seluruhnya menyatakan menerima. Dan terakhir dari F-Hanura hadir 16 orang dan solid menerima.

Gertak koalisi

Keputusan rapat paripurna DPR itu paling tidak menjadi penanda untuk dua hal. Pertama, Partai Demokrat dan pendukungnya masih terlalu tangguh untuk dilawan; dan kedua, publik semakin bisa membedakan partai politik yang berjalan bersama pemerintah, dan partai yang mengambil jalan berbeda.

Hal ini menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah melakukan evaluasi mendalam, presiden akhirnya memberikan pernyataan.

"Saya ingin kalau memang semua masih tetap ingin bersama-sama, berjuang dalam koalisi untuk rakyat, bangsa, dan negara, maka semua kesepakatan yang disebut "code of conduct" atau tata etika yang sebelas butir ini harus betul-betul dipatuhi, diindahkan, dan dijalankan," katanya.

Menurut presiden, salah satu butir nota kesepahaman yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik dengan dirinya pada Oktober 2009 adalah koalisi dilaksanakan atau berlaku di bidang eksekutif dan legislatif.

Presiden bahkan sudah secara tegas menyebut kemungkinan pemberian sanksi kepada mereka yang tidak patuh. Dia juga sudah mulai membahas perombakan kabinet, sesuatu yang selama ini selalu ditutupi.

"Jika tidak, ke depan tentu sanksi harus diberikan. Dalam penataan kembali koalisi yang Insya Allah akan kami lakukan dalam waktu dekat ini, jika memang ada partai politik tidak lagi bersedia mematuhi atau menaati kesepakatan yang sudah dibuatnya bersama-sama saya dulu, tentu partai politik seperti itu tidak bisa bersama-sama lagi dalam koalisi," tuturnya.

Presiden memang tidak secara gamblang menyebut nama partai politik yang sudah dianggap menyimpang. Namun, berdasar gambaran umum yang terjadi di DPR, sejumlah pengamat menyimpulkan bahwa kedua partai itu adalah Golkar dan PKS.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar yang yang juga Menko Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, menyatakan, Golkar tidak pernah ingkar terhadap nota kesepahaman yang dibuat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut dia, yang terjadi sebenarnya hanyalah perbedaan pendapat yang merupakan suatu pilihan terbuka yang bisa saja terjadi di wilayah parlemen.

"Kalau saya baca partai, selama ini tidak ada pengingkaran. Isunya satu pendapat boleh berbeda. Memang kemudian menjadi seolah tidak kompak, tapi itu suatu pilihan yang dibuka di parlemen. Itu yang terjadi," tuturnya.

Ia mengusulkan, Presiden Yudhoyono perlu mengundang partai politik anggota koalisi guna memperbaiki komunikasi.

Agung berpendapat, Golkar seharusnya tidak diposisikan sebagai berbeda pendapat dan sebaliknya justru sudah cukup membantu dalam koalisi.

Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga politisi PKS, Tifatul Sembiring menyatakan siap untuk "direshuffle" (diganti) jika presiden mengambil langkah tersebut.

"Kita siap, karena kita memang ditugaskan untuk siap, mati saja siap. Bagi saya jabatan ini sebuah amanah," kata Tifatul.

Dia menegaskan, yang terjadi antara PKS dan Demokrat adalah perbedaan pendapat, bukan perselisihan. Menurut dia, hal yang terpenting saat ini adalah melakukan komunikasi dengan baik agar masalah serupa tidak terulang lagi.

Presiden Yudhoyono menekankan perlunya kesetiaan para anggota koalisi, paling tidak kesetiaan terhadap komitmen bersama.

Hal itu juga yang ditekankan oleh Machiavelli dalam "The Prince". Pada bab 22, Machiavelli menulis, jika seorang pangeran dan pelayan sudah tidak saling percaya, maka cerita akan berakhir laksana bencana bagi salah satu dari mereka.

Prinsip menuntut kesetiaan menteri dalam "The Prince" memang sedang dimainkan di atas panggung politik Indonesia.

Namun, di belakang panggung, Machiavelli juga menyusun prinsip-prinsip untuk membuat seorang pelayan setia dan jujur.

"Untuk membuat seorang pelayan jujur, seorang pangeran harus mempelajarinya, menghormatinya, memperkaya, dan memperlakukannya dengan baik," kata Machiavelli.

*****

No comments: