lilik dwi
Suatu ketika, menjelang akhir 2006...
Ihwahyudin (11) menjilat jarinya untuk menghabiskan sisa ayam goreng yang melekat. Nikmat ayam goreng dan riuh canda tawa teman-teman panti asuhan itu sejenak menghibur hati bocah asal Bogor, Jawa Barat itu. Namun, sungging bibir mungilnya tetap menyisakan kerinduan yang mendalam, kerinduan untuk berbuka puasa dengan keluarga di kampung halaman.
Ihwahyudin mengaku tidak pernah melihat dan mengenali wajah ayahnya setelah dia ditinggal pergi dalam usia tiga minggu.
Berjuang sendiri selama beberapa tahun membuat ibunya tidak mampu menghidupi keluarga. Ihwayudin pun diserahkan ke panti asuhan.
"Saya pingin banget buka puasa di rumah bersama ibu," katanya.
Ihwahyudin adalah salah satu dari 39 anak yang tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari jumlah itu,anak perempuan tercatat 16 orang.
Anak lelaki ditempatkan dalam dua ruangan, sementara yang perempuan di satu ruangan, yang sekaligus difungsikan sebagai kamar. Masing-masing ruangan menampung delapan sampai 12 anak.
Sebagian besar dari penghuni panti asuhan adalah anak yatim piatu dan berusia antara tujuh sampai 12 tahun. Sisanya adalah anak berusia 13 sampai 21 tahun yang berasal dari keluarga miskin dan keluarga retak.
Mereka berasal dari berbagai daerah, sepert Nusa Tanggara Barat,Nusa Tenggara Timur, Jambi, Semarang, Tegal, Bogor, dan Jakarta.
Kesamaan sebagai anak dari keluarga yang tidak utuh dan berasal dari berbagai daerah membuat mereka menyimpan perasaan yang tak berbeda, rasa rindu untuk berkumpul dan mengembalikan keutuhan keluarga.
Bagi sebagian orang, Ramadhan adalah momentum untuk membangun kebersamaan, terutama dengan keluarga. Kebanyakan orang akan meluangkan waktu untuk menghabiskan bulan penuh rahmat itu dengan berkumpul dan berbagi cerita dengan orang-orang terdekat.
Selain Ihwahyudin, ketidakmampuan untuk mewujudkan impian kebanyakan orang itu juga dirasakan oleh Hamidin.
Selama empat tahun tinggal di panti asuhan yang berlokasi di Jalan K.H. Mas Mansyur 65 itu, dia hanya berkesempatan pulang satu kali. Keluarganya tidak punya cukup uang untuk biaya perjalanan pulang ke Jambi.
"Saya pulang Lebaran tahun 2004. Paling-paling saya cuma telepon keluarga dari wartel seminggu sekali," ujarnya sambil memainkan kancing baju.
Keberadaan Hamidin di panti asuhan itu berawal dari kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya.
Jangankan untuk biaya sekolah, untuk membeli pakaian yang pantaspun orang tuanya merasa kesulitan. Atas jasa baik salah seorang pengurus Muhammadiyah di daerahnya, Hamidin "merantau" ke Jakarta, dan akhirnya ditampung di panti tersebut.
Selama bulan Ramadhan, kerinduannya untuk pulang semakin terasa ketika adzan maghrib mulai didengungkan pertanda waktu buka puasa segera tiba. Meskipun memiliki banyak teman di panti asuhan, bocah berusaia 12 tahun itu tetap merindukan suasana berbuka di rumah sendiri.
"Semoga Lebaran besok saya bisa pulang walau cuma sebentar,"katanya yang diikuti oleh anggukan kepala beberapa anak lainnya.
Hal serupa juga dirasakan Iskandar. Bocah asal Bogor itu hidup dipanti asuhan sepeninggal ibunya ketika ia masih berusia lima tahun.
Ia mengatakan selalu berusaha menghilangkan rasa rindu kepada keluarga dengan terus bermain bersama teman-temannya.
Kerinduannya kepada keluarga terobati ketika ia berkesempatan pulang setiap tahun pada saat Idul Fitri.
Bagi sebagian kebanyakan oranng, pulang ke kampung halaman setahunsekali adalah hal yang biasa, namun tidak bagi Iskandar dan teman-temannya yang kesepian.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment