Monday, November 01, 2010

Belajar Narsis Bersama Pejabat

Malam itu, udara Shanghai menusuk tulang. Ketika udara itu bergerak karena perbedaan tekanan dan menghempasku, tubuh ini semakin menggigil.

Maaf kalau berlebihan, maklum saja, tubuhku terlalu terbiasa terpanggang panas dan tersembur asap yang keluar dari knalpot berkarat sejumlah kendaraan di Jakarta.

Aku semakin terkagum-kagum ketika sadar bahwa sebagian besar kendaraan di Shanghai, terutama angkutan umum, adalah kendaraan listrik tak berasap. Di beberapa tempat yang sudah disediakan, kendaraan-kendaraan itu berhenti untuk mengisi ulang daya listrik mereka.

Sekali lagi aku minta maaf, kali ini karena bersikap kampungan. Maklum, selama aku hidup di Jakarta, aku hanya melihat ratusan angkutan kota meraung, dengan asap mengepul, dan kadang antri mengular untuk mengisi bahan bakar minyak yang harganya terus melangit.

Ah sudahlah. Singkatnya, karena keberuntunganku, aku sampai ke negeri tirai bambu itu. Karena keberuntungan pula, aku bisa menikmati suasana, sekaligus mengintip aktivitas para pejabat kita yang melakukan kunjungan kerja di sana. Kuulangi sekali lagi, kunjungan kerja.

Akhir Oktober ini, Pak Presiden SBY memang dijadwalkan berkunjung ke Shanghai untuk melakukan sejumlah pekerjaan, mulai dari menghadiri forum pengusaha hingga mengunjungi pavilion Indonesia yang berada di World Expo 2010.

Tentu saja pak presiden tidak sendiri. Seperti biasa, sang istri dan anak bungsunya ikut. Beberapa petinggi, namun masih kalah tinggi dari pak SBY, juga tak mau ketinggalan.

Sore menjelang malam, rombongan tiba di sebuah hotel mewah, tepat di jantung kota. Malam itu, pak presiden menghabiskan waktu dengan bertemu sejumlah kalangan, terutama pebisnis yang sedang menggelar forum bisnis tentang segala macam investasi di Indonesia.

Singkatnya, segala sumber daya alam tanah air kita ditawarkan untuk dieksploitasi para pengusaha dari negeri tirai bambu.

Keesokan harinya, rombongan menuju World Expo 2010. Hanya dalam waktu 20 menit dari hotel dengan mengendarai mobil, kami sampai di lokasi pameran budaya dan teknologi yang diikuti sejumlah negara itu.

Rencananya, keluarga presiden dan para pejabat lainnya akan mengunjungi pavilion Indonesia. Pavilion kita ini, kata Pak SBY, patut dibanggakan karena menjadi salah satu pavilion favorit.

Saya kembali bersyukur karena diperbolehkan ikut pameran semegah itu. Maklum, selama ini saya hanya sering melihat pameran foto atau lukisan amatiran tentang kemiskinan di tanah air.

Rasa syukur itu terutama saya tujukan kepada para pejabat yang, secara tidak langsung, telah mengajari saya untuk menjadi narsis. Sampai saat itu, saya memaknai kata narsis secara positif, yaitu mengagumi dan menjaga diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Cerita dimulai ketika rombongan presiden mampir ke pavilion China. Dengan pengawalan ketat, rombongan yang berisi sejumlah petinggi negeri itu diarahkan ke lantai 14 atau puncak tertinggi dari sekian banyak pavilion yang dipamerkan.

Dari puncak itu, Shanghai memperlihatkan kecantikannya. Deretan gedung beringkat teratur rapi. Rastusan gedung itu tertata apik dalam setiap blok-blok kota yang terlihat simatris. Sejumlah jembatan dengan desain menawan, melangkung di atas sungai yang mengalir lancar tanpa tersendat sampah.

Pak presiden dan para pengikutnya meluangkan waktu untuk menikmati keindahan itu. Beliau terkesima dengan keindahan yang dihasilkan oleh cipta, rasa, dan karsa manusia itu.

Mungkin karena kesadaran akan berharganya manusia yang dikaruniai cipta, rasa, dan karsa itu, pak presiden dan keluarga menyempatkan diri untuk berfoto dengan latar belakang kota Shanghai. Ya, mumpung di Shanghai yang eloknya berlipat ganda bila dibandingkan dengan Jakarta.

Tanpa dikomando, semua alat kelangkapan, protokol, tim pendukung, dan pasukan pengaman langsung menyiapkan tempat ketika kalimat "sepertinya bagus foto di sini" diucapkan pak presiden.

Putra bungsu, mas Ibas, juga langsung merapat ketika puluhan kamera membidik pak presiden dan ibu Ani yang selalu berdampingan.

Meski berlangsung singkat, sesi foto itu mungkin telah menghasilkan ratusan 'frame' karena jumlah kamera yang membidik sangatlah banyak. Bahkan, beberapa kamera adalah kamera canggih yang bisa menghasilkan puluhan gambar dalam satu detik.

Saat itu saya juga baru tahu kalau gejala narsis ternyata menular. Sekali lagi, saat itu saya berpikir positif, bahwa narsis adalah wujud rasa syukur dalam bentuk penghargaan diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Bukti bahwa narsis itu menular bisa dilihat dari gelagat sejumlah pejabat juga menyempatkan diri untuk berfoto di tengah agenda kerja yang padat.

Di atap pavilion China itu, beberapa dari mereka menyuruh ajudan yang selalu mendampingi untuk memotret. Setelah memantau lokasi yang cocok dan mengatur gaya semenarik mungkin, tombol bidikpun ditekan. Jadilah foto dengan latar belakang hingar bingar kota Shanghai.

Saya semakin takjub melihat kesigapan pejabat lain yang main tarik siapapun yang berada di dekatnya, dengan satu tujuan; meminta tolong untuk dipotret. Senyum mereka tersungging begitu kamera membidik.

Pajabat kita benar-benar sigap, berpikir cepat, dan berpikir global. Setelah saya bertanya kepada teman yang melek teknologi dan komputer, sifat seperti itu bisa disebut sebagai "multi tasking".

Betapa tidak, para pembesar itu berpikir cepat dan bertindak sigap begitu melihat latar belakang yang bagus untuk dijadikan obyek foto. Mereka juga berbikir global karena bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu, yaitu melakukan kunjungan kerja yang padat dan mengagumi diri dalam waktu yang bersamaan.

Semakin kagum kektika aku melihat para pemegang amanat rakyat itu bisa bekerjasama dengan baik. Mereka bisa membagi tugas dengan sesama pejabat, ajudan, dan staf.

Dengan sesama pejabat, mereka bisa bergurau, tertawa terbahak dalam setiap pembicaraan tentang nasib bangsa.

Dengan para ajudan dan staf, mereka juga berbagi tugas. Pembagian tugas itu sangat tegas; para staf bertugas membawa setumpuk data dan dokumen penting, sedangkan para pajabat bertugas membawa kamera foto.

Ya, kamera foto lekat di tangan mereka untuk berjaga-jaga jika mendadak menemukan latar belakang yang bagus untuk diabadikan.

Aku sering mendengar kata narsis, terutama dalam pembicaraan dengan rekan-rekan sebaya. Biasa saja, tidak ada yang negatif dalam kosa kata itu.

Namun, bulu kudukku mendadak berdiri setelah membaca pengertian padanan kata itu dalam kamus Oxford yang sering menjadi penolongku.

Padanan paling mendekati kata narsis dalam kamus itu adalah "narcissism" yang masuk kelas kata benda.

Kamus itu memberikan definisi "narcissism" dari sisi disiplin ilmu psikoanalisa, sebagai "Kecenderungan pemusatan pada diri sendiri yang timbul akibat ketidakmampuan untuk membedakan diri sendiri dan obyek-obyek di sekitarnya, dan sebagai ciri kekacauan mental."

Aku semakin bergidik, miris, dan merasa bersalah ketika menyandingkan definisi psikoanalisa naris dengan apa yang dilakukan oleh para pembesar kita di Shanghai.

2 comments:

Unknown said...

sayang mas stan indo yg katanya mendapat apresiasi yg baek di sana ngga di sertakan :)pengen ngerti juga kyk apa apresiasi pebisnis sana

Lilik said...

@Aditya: Stan Indo lumayan mendapat perhatian, terutama kulinernya; sate dan nasi goreng. Tapi aku ga sempat mengamati lebih jauh karena sibuk belajar narsis dari para pejabat, hehehe....