Wednesday, September 10, 2008

Serangan Balik Aliran Dana BI

lilik dwi


Dua tahun lalu, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution akhirnya memutuskan untuk melaporkan dugaan penyelewengan dana Bank Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak saat itu, aliran dana sebesar Rp100 miliar dari bank sentral berada di tangan penegak hukum yang siap membekuk siapapun yang diduga bertanggun jawab. Sejak saat itu pula, perkara dana BI menggurita ke segala arah, menggelinding ke segala penjuru, termasuk kembali kepada mereka yang membawa kasus itu ke permukaan.

Kasus dana BI telah menjerat lima orang menjadi pesakitan di meja hijau. Mereka adalah mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak, mantan Anggota Komisi IX DPR Atony Zeidra Abidin, dan anggota Komisi IX DPR Hamka Yandu.

Kasus itu bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI pada 2003 yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk menggunakan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar.

Oey diduga menyerahkan dana YPPI itu sebesar Rp68,5 miliar kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo.

Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi ke mana uang tersebut setelah diserahkan kepada mereka. Sedangkan uang senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli Simandjuntak dan Asnar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI.

Kronologi

Dalam sidang perkara itu, tergambar jelas bagaimana dana itu berpindah dari tangan sang pemberi ke rengkuhan si penerima. Terdakwa dan sejumlah saski di persidangan memberikan deskripsi yang sangat jelas tentang peran besar Oey Hoy Tiong, Rusli Simanjuntak, Hamka Yandu, dan Antony Zeidra Abidin.

Khusus untuk aliran dana ke sejumlah anggota DPR, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) di dalam surat dakwaan menjelaskan telah berlangsung Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 3 Juni 2003, yang antara lain membahas kebutuhan dana untuk pembahasan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan revisi UU BI di DPR.

RDG tersebut dipimpin oleh Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan dihadiri oleh sejumlah anggota Dewan Gubernur, antara lain Aulia Tantowi Pohan, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Pada akhirnya, RDG sepakat penggunaan dana YPPI sebesar Rp100 miliar untuk keperluan sosialisasi ke DPR dan untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI.

Menurut tim JPU, Rusli Simanjuntak melapor kepada Aulia Tantowi Pohan tentang keperluan dana Rp40 miliar, dengan rincian Rp15 miliar untuk pembahasan masalah BLBI dan 25 miliar untuk revisi UU BI di DPR.

Atas laporan itu, Aulia Pohan melapor kepada Burhanuddin dan berkata kepada Rusli, "Anda silahkan tindak lanjuti pertemuan dengan DPR,".

Kemudian, pada 27 Juni 2003, Rusli membuat catatan kebutuhan dana yang ditujukan kepada Aulia Tantowi Pohan dan Maman H. Sumantri selaku penasihat YPPI. Setelah catatan itu disetujui oleh Aulia dan Maman, kemudian dana YPPI sebesar Rp15 miliar dapat dicairkan. Rusli dan Asnar Asnari kemudian menyerahkan uang itu kepada anggota DPR Hamka Yandu dan Antony Zeidra Abidin.

Aliran uang ke DPR berlanjut dengan diawali pertemuan antara Rusli Simanjuntak dan dua anggota DPR, yaitu Hamka Yandu dan Antony Zeidra Abidin. Pertemuan itu terjadi pada September 2003 di Hotel Hilton yang kini sudah berubah nama menjadi Hotel Sultan, Jakarta. Pertemuan itu menyepakati kebutuhan dana tambahan sebesar Rp25 miliar yang harus diserahkan kepada DPR.

Tim JPU menyatakan, Rusli menyampaikan kesepakatan itu kepada Aulia Tantowi Pohan. Kemudian, Aulia meminta Asnar Asnari untuk mengecek cadangan dana di YPPI, yang ternyata hanya tersisa Rp16,5 miliar. Dengan persetujuan Aulia dan Maman H. Soemantri, Rusli bersama Asnar mencairkan uang Rp16,5 miliar itu dalam dua tahap dan memberikannya kepada anggota DPR Hamka Yandu serta Antony Zeidra Abidin.

Berdasarkan kesaksian mantan Analis Senior Biro Gubernur BI, Asnar Ashari, penyerahan uang kepada Antony dan Hamka dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama adalah penyerahan uang Rp2 miliar di hotel Hilton Jakarta pada 27 Juni 2003.

Menurut Asnar, penyerahan tahap kedua terjadi pada 2 Juli 2003 di rumah Antony berupa penyerahan uang sebesar Rp5,5 miliar. Kemudian, terjadi penyerahan uang sebesar Rp7,5 miliar di hotel Hilton, yang dilanjutkan dengan penyerahan uang Rp10,5 miliar di rumah Antony pada September 2003. Tahap akhir terjadi pada Desember 2003 berupa penyerahan uang Rp6 miliar di rumah Antony.

Hamka Yandu tak tinggal diam. Politisii Golkar itu kemudian membeberkan di depan pengadilan bahwa uang yang dia terima dari BI juga mengalir ke seluruh anggota Komisi IX DPR kala itu. Dia menegaskan 52 orang anggota komisi yang membidangi keuangan dan perbankan itu menerima uang yang dia bagikan sendiri.

Pengakuan Hamka menyeret dua mantan anggota DPR yang kini menjadi menteri Kabinet Indonesia Bersatu sebagai penerima dana, yaitu Menteri Kehutanan M.S Kaban dan Meneteri Perncanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta.

Serangan balik

Aliran dana BI tidak hanya menyerang sejumlah anggota DPR dan petinggi BI. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution, orang yang membongkar skandal itu, juga tak luput dari tuduhan keterlibatan.

Hal ini sangat dipahami karena ketika skandal itu terjadi pada tahun 2003, Anwar masih berkantor di bank sentral sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Dia disebut mengetahui dan menyetujui aliran dan pengembalian dana BI ke Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), setelah dana itu digunakan untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI dan untuk keperluan "hubungan baik" ke DPR.

Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong ketika bersaksi di persidangan memberikan keterangan yang mengejutkan. Ia mengaku pernah diperintah oleh Anwar Nasution untuk memusnahkan dokumen yang terkait dengan aliran dana BI.

Dalam kesaksiannya, Oey mengaku diajak oleh Aulia Tantowi Pohan yang saat itu masih menjabat sebagai Deputi Gubernur BI untuk menemui Anwar Nasution. Pertemuan terjadi sekitar tahun 2005 di rumah Anwar Nasution yang saat itu sudah menjabat sebagai Ketua BPK.

Selama pertemuan, ketiga orang itu membahas tentang kejanggalan aliran dana BI yang mulai tercium oleh BPK. Oey mengaku disuruh oleh Anwar Nasution untuk melakukan pemusnahan.

"Yang dimaksud dokumen," kata Oey menjawab pertanyaan hakim Gusrizal tentang apa yang akan dimusnahkan. Namun demikian, Oey mengaku tidak memenuhi permintaan Anwar tersebut.

Sementara itu, M. Assegaf, penasihat hukum terdakwa kasus itu Burhanuddin Abdullah mengatakan, kliennya tidak tahu menahu tentang pertemuan itu. Assegaf meperkirakan, dokumen yang akan dimusnahkan adalah dokumen Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 22 Juli 2003 yang dihadiri oleh Anwar Nasution ketika masih menjadi Deputi Gubernur Senior BI.

Berkali kali tuduhan itu dibantah oleh Anwar. Berkali-kali pula umpatan keluar darimulut Anwar Nasution bersamaan dengan bantahan yang dia sampaikan. Tak berselang lama setelah Oey bersaksi, Anwar menyebutnya berhalusinasi. "Berhalusinasi ini orang," kata Anwar yang ditemui wartawan di kantornya.

Anwar membenarkan saat itu pernah bertemu dengan Oey dan beberapa pejabat BI lain, seperti Deputi Gubernur Aulia Pohan dan Rusli Simanjuntak. Pertemuan yang dilakukan di rumah Anwar itu membahas penyelesaian kasus dana BI. Anwar mengaku hanya mengusulkan pengembalian dana Rp100 miliar kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), tempat BI meminjam dana. Sekali lagi Anwar membantah pernah memerintahkan pemusnahan aliran dana BI.

Namun demikian, fakta persidangan terus bergulir. Beberapa dari fakta itu memojokkan Anwar. Salah satu fakta itu adalah surat elektronik yang dikirim anwar kepada sejumlah mantan pejabat BI. Surat elektronik itu membuktikan bahwa Anwar mengetahui urusan BI dengan DPR untuk membahas revisi UU BI, sesuatu yang pada akhirnya diduga mengandung praktik suap menggunakan dana bank sentral.

Surat elektronik itu ditujukan kepada kepada anggota Dewan Gubernur BI, yaitu Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Maman H. Somantri, Aslim Tadjuddin, R. Maulana Ibrahim, dan Hartadi A. Sarwono.

Dalam surat itu Anwar menyebutkan BI perlu mengandalkan DPR jika BI gagal melobi IMF dalam memperjuangkan kepentingan BI melalui revisi UU BI. Bahkan, dalam surat elektronik itu, Anwar menyebut DPR sebagai "pertahanan terakhir". "Jika kita kalah, pertahanan terakhir adalah DPR yang akan melakukan amandemen UU BI itu," tulis Anwar yang kala itu menjadi Deputi Gubernur Senior BI.

Ungkapan Anwar itu menguatkan dugaan bahwa Ketua BPK itu mengetahui tentang upaya amandemen UU BI, yang belakangan terungkap memakan dana sebesar Rp31,5 miliar. Selama kasus itu bergulir, Anwar selalu membantah menyetujui pencairan dana BI yang sebagian diduga mengalir ke sejumlah anggota DPR itu.

Surat elektronik Anwar bermula ketika dirinya hadir dalam rapat Tim Exit IMF. Dalam rapat itu, Anwar mendapat informasi bahwa Departemen Keuangan meminta agar aturan tentang Dewan Supervisi dicantumkan dalam amandemen UU BI.

Menurut Anwar, Departemen Keuangan berpendapat keberadaan Dewan Supervisi penting bagi pemerintah untuk mengawasi keuangan BI.

"Perlu kita lobi IMF dan setelah meyakinkannya, kita minta agar mereka (IMF) meyakinkan Depkeu untuk tidak perlu mendirikan Dewan Supervisi," tulis Anwar dalam surat elektronik tertanggal 24 Juli 2003, atau dua hari setelah Anwar menghadiri Rapat Dewan Gubernur BI tentang aliran dana BI Rp100 miliar.

Kali ini Anwar mengaku pernah mengirim surat elektronik tersebut. Namun, dia tidak menjelaskan secara rinci apakah hubungan dengan DPR yang dia sebut di dalam surat itu terkait dengan skandal aliran dana BI. Dia hanya menjelaskan, kerjasama dengan DPR diperlukan karena lembaga itu memiliki wewenang yan gkuat untuk meloloskan atau tidak meloloskan revisi UU BI.

Serangan balik belum berakhir. Kini giliran mantan Anggota DPR Antony Zeidra Abidin bersuara. Antony yang juga terjerat dalam kasus itu merasa kesal kenapa hanya namanya yang disebut dalam laporan BPK sebagai penerima dana BI.

Alhasil, pria yang kini menjadi wakil gubernur Jambi itu menuding anggota BPK, Baharuddin Aritonang, melakukan pemerasan terhadap dirinya. Dia mengaku pemerasan itu terjadi setelah BPK mulai mengendus penyelewengan dana BI yang kemudian dilaporkan pada 2006. "Baharuddin Aritonang memeras saya," kata Antony.

Menurut Antony, pemerasan itu terjadi dalam suatu pertemuan di restoran Basara di gedung Sumitmas Tower, Jakarta. Antony menuding anggota BPK Baharuddin Aritonang meminta uang Rp500 juta dalam pertemuan itu. Pertemuan itu sedianya bertujuan untuk membahas laporan BPK yang menyebut Antony telah menerima dana BI sebesar Rp31,5 miliar.

Menurut Antony, uang Rp500 juta yang diminta Baharuddin adalah untuk keperluan amandemen UU BPK, khususnya tentang pasal peralihan tentang perpanjangan masa jabatan ketua dan anggota BPK.

Karena merasa tidak memiliki uang, Antony tidak memenuhi permintaan Baharuddin. Menurut dia, penolakannya itu berbuntut pada pencantuman nama Antony dalam laporan BPK tentang aliran dana BI kepada sejumlah anggota DPR.

"Maka nama saya dicantumkan," kata Antony kepada majelis hakim.

Tudingan itu serta merta dibantah oleh Baharuddin Aritonang. Baharuddin adalah salah satu dari 52 nama yang disebut oleh Hamka Yandu sebagai penerima dana BI pada 2003. Saat itu Baharuddin masih menjadi anggota Komisi IX DPR RI.

Saling tuding dan saling bantah terus terjadi seiring laporan BPK tentang skandal aliran dana BI. Laporan itu disusul dengan eforia publik atas sepak terjang KPK dalam mengungkap fakta demi fakta dan membekuk mereka yang diduga bertanggung jawab. Namun, sorak sorai eforia publik itu belum bisa menjawab rasa penasaran atas akhir skandal. Siapapun tidak bisa meramalkan arah bergulirnya bola panas dana BI, termasuk Ketua BPK Anwar Nasution, sang pelapor.

No comments: