Monday, September 08, 2008

Kisah Sial Jaksa Pemburu Koruptor

lilik dwi

Rumah di sudut jalan itu lebih megah dari rumah-rumah lainnya. Meski wujudnya tidak terlihat langsung, citra kemegahan bisa ditangkap dari bentuk dan ukuran pagar yang mengelilinginya.
Siapapun akan mengalami kesulitan untuk melihat langsung halaman rumah karena terhalang pagar rapat dengan tinggi sekitar lima meter.

Pintu gerbang rumah itu, menurut warga sekitar, selalu tertutup. Sama seperti pagar, gerbang utama itu menjulang tinggi. Gerbang berbahan dasar plat besi menjamin keamanan isi rumah dari tangan jahil, bahkan dari mata yang hanya berniat mengintip.

Rumah itu beralamat di Jalan Terusan Hang Lekir II Kavling WG Nomor 9 RT 06/RW08, Simprug, Kebayoran Lama, Jakara Selatan. Warga hanya mengetahui rumah itu milik seorang bernama Sjamsul Nursalim. Siapapun tak akan menyadari, rumah berlantai dua itu akan menjadi saksi nasib sial yang menimpa seorang jaksa, Urip Tri Gunawan.

Siang hari, 2 Maret 2008, aktivitas warga di sekitar rumah itu berjalan seperti biasa. Layaknya kegiatan pada hari Minggu, tidak ada yang istimewa.

Salah satu hal yang membedakan adalah terhembusnya kabar ke telinga Ketua RT setempat, Sambiyo, bahwa ada sejumlah orang dari luar kompleks yang hilir mudik, serta bertingkah mencurigakan. Menurut informasi itu, kegiatan sekelompok orang asing itu terpusat di sekitar rumah megah nomor 9 di kawasan itu.

Wajar saja laporan seperti itu sampai ke telinga Sambiyo, karena kompleks tersebut milik para orang berpunya, terlihat dari bentuk serta kemegahan rumah yang saling berhimpitan. Keamanan adalah yang utama. Laporan tersebut menjadi perhatian pria yang sudah dua periode menjabat RT itu, meski tidak langsung disikapi dengan tindakan nyata.

"Dipantau dulu saja," ujar Sambiyo menirukan ucapannya sendiri ketika menceritakan kejadian saat itu. Sang pelapor, yang juga warga setempat, menaati titah Sambiyo.

Tak berselang lama, sekitar pukul 16.30 WIB, laporan kedua datang. Kali ini tidak main-main, dilaporkan terjadi perkelahian yang melibatkan orang-orang asing itu.

Tanpa pikir panjang, Sambiyo yang sudah beruban bergegas. Ia mempercepat langkah kaki untuk melihat kebenaran kabar perkelahian tersebut. Sambiyo terlambat. Di sudut jalan dekat rumah megah nomor 9 itu hanya terlihat adegan akhir dari sebuah perkelahian.

Dia hanya melihat sejumlah orang berseragam polisi mengamankan seorang pria berbaju putih. Selebihnya, Sambiyo hanya melihat beberapa orang lain yang belakangan dia ketahui sebagai petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sejak saat itu, Sambiyo mulai berurusan dengan KPK, terutama untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Sejak saat itu pula, Sambiyo menyadari telah menyaksikan peristiwa besar, karena salah satu mobil yang ada di tempat kejadian memuat sekardus uang berjumlah 660 ribu dolar AS, atau senilai Rp6 miliar. Uang itu diduga hasil perbuatan melawan hukum.

Berdasar informasi yang didapat Sambiyo, kejadian berawal ketika mobil bernomor polisi DK 1832 CF, kode wilayah Bali, keluar dari rumah nomor 9. Seorang pria, Urip Tri Gunawan, yang menjadi target petugas KPK, berada di mobil itu. Petugas KPK yang sudah menunggu di luar rumah berniat menghentikan mobil tersebut. Urip melawan. Ia menambah laju mobilnya.

Petugas KPK, menurut Sambiyo, tak kalah akal. Dengan menggunakan mobil, mereka mengejar Urip, kemudian menabrak mobil Urip dari belakang. Setelah berhasil menghentikan laju mobil asal Bali itu, petugas KPK masih harus berjuang melawan Urip yang beringas dan mencoba melawan.

Alhasil, Urip dibekuk. Dari dalam mobilnya, KPK menemukan setumpuk uang asal negeri Paman Sam berjumlah 660 ribu dolar, yang dimasukkan dalam kardus. Setelah itu, Urip digelandang ke kantor KPK. Petugas juga membawa serta Arthalita Suryani, seorang wanita yang berada di dalam rumah nomor 9 itu yang diduga sebagai pemberi uang.

Urip dan BLBI

Setelah tertangkap, Urip menjalani pemeriksaan intensif di gedung KPK.
Di gedung KPK, juru bicara lembaga pembasmi koruptor itu, Johan Budi, menyatakan Urip Tri Gunawan, yang disebutnya dengan singkatan UTG, ditangkap karena diduga menerima uang sejumlah 660 ribu dolar AS.

KPK merasa berhak menangkap Urip karena pria itu adalah seorang jaksa, seorang penyelenggara negara yang menjadi yurisdiksi (kewenangan hukum) KPK.

Selain melakukan pemeriksaan, KPK juga bersiaga penuh, diantaranya dengan langsung menyiagakan dua mobil tahanan. Kedua mobil tahanan jenis kijang yang masing-masing bernomor polisi B 8593 WU dan B 8638 WU tiba sekitar pukul 21.50 WIB dan langsung diparkir di depan lobi Gedung KPK secara berurutan dengan posisi siaga dengan pintu belakang terbuka.
Supir kedua mobil tahanan tersebut juga terlihat bersiaga dengan didampingi sejumlah petugas keamanan Gedung KPK.


Sikap KPK ini wajar, terutama jika dihubungkan dengan dugaan bahwa penangkapan Urip terkait dengan penghentian penyelidikan kasus legendaris, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Malam itu juga, Urip menyandang status baru, tersangka. "Otomatis kita tetapkan sebagai tersangka," ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi.

Sebelumnya, pada Jumat (29/2), Kejaksaan Agung menyatakan tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam kesempatan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, juga sekaligus mengumumkan pembubaran tim 35 jaksa yang bertugas menyelidiki dua kasus BLBI tersebut.

Dua kasus tersebut adalah penyerahan aset obligor atas kucuran BLBI pada 1997 dan 1998.
Kemas merinci, pada 1998 terjadi kucuran BLBI sebesar Rp35 triliun kepada obligor Bank Central Asia (BCA). Dalam rangka pelaksanaan "Master Settlement for Acquisition Agreement" (MSAA) pada September 1998, jumlah Kewajiban Pemegan Saham (JKPS) atas kucuran tersebut meningkat menjadi Rp52,7 triliun.

Namun demikian, pada 2006 perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, aset yang diserahkan kepada negara hanya Rp19 triliun, lebih sedikit dari nilai awal kucuran BLBI dan JKPS. Penyelidikan kasus itu dipimpin oleh Jaksa Sriyono dan beberapa tim jaksa dari daerah.

Kemudian kasus yang kedua terjadi setelah terjadi kucuran BLBI sebesar Rp37 triliun pada 1997 kepada obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), bank milik konglomerat Sjamsul Nursalim. Berdasar audit BPK, dana BLBI membengkak menjadi Rp49,189 triliun, dengan JKPS sebesar Rp28,408 triliun setelah dikurangi aset bank penerima BLBI sebesar Rp18,850 triliun.

Kemas mengatakan, penyerahan aset senilai Rp28,408 triliun itu akan dibayar tunai Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp27,495 triliun. Namun demikian, nilai pengembalian setelah dijual hanya Rp3,459 triliun. Penyelidikan kasus itu dipimpin oleh jaksa Urip Tri Gunawan, mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Klungkung, Bali.

Jampidsus menegaskan, pengembalian utang telah dilakukan oleh pemegang saham atau penanggung BLBI. Perhitungan nilai aset juga dilakukan oleh auditor independen dengan tidak menyalahi aturan hukum.

"Semua telah dilaksanakan dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata Jampidsus.

Dia menyadari telah terjadi penurunan aset setelah penjualan, sehingga ada selisih yang sangat besar antara nominal kucuran BLBI dengan nominal aset yang diserahkan kepada negara sebagai pembayaran utang. Penyusutan itu, kata Jampidsus, merupakan masalah ekonomi yang tidak ada kaitannya dengan pelanggaran hukum. Dia mencontohkan aset PT Dipasena milik Sjamsul Nursalim yang terjerat kasus BLBI mengalami penurunan ketika akan dijual pada 2007. Awalnya aset yang ditaksir bernilai Rp19 triliun tersebut akan digunakan untuk menutup utang BLBI. Ketika aset tersebut akan dijual dan diaudit pada 2007, aset tersebut hanya bernilai Rp400 miliar.

Untuk itu, Jampidsus menyimpulkan, penurunan nilai aset yang diserahkan kepada negara merupakan masalah ekonomi yang menjadi kewenangan Departemen Keuangan.

"Ini kami serahkan sepenuhnya kepada Menteri Keuangan," kata Jampidsus.

Jaksa Urip Tri Gunawan hadir mendampingi Jampidsus dalam pengumuman penghentian kasus BLBI. Waktu itu, Urip mengenakan seragam dinas jaksa, duduk menghadap tumpukan berkas penyelidikan kasus BLBI yang dilakukan oleh tim pimpinannya. Sungguh berbeda, di tangan KPK, Urip menjadi pesakitan yang diduga menerima uang terkait kasus yang telah dihentikannya.

Berdalih

Malam hari setelah tertangkap, Urip menjalani pemeriksaan di gedung KPK.
Sekitar pukul 23.00 WIB, sejumlah wartawan dikejutkan dengan kehadiran Urip yang dikawal ketat petugas kepolisian di lobi gedung KPK. Petugas KPK meminta Urip menyaksikan penggeledahan terhadap mobil miliknya yang diparkir di lobi tersebut. Mobil dengan nomor polisi wilayah Bali itu penyok di bagian belakang. Saat itulah Urip berdalih bahwa uang yang dibawanya sama sekali tidak terkait dengan BLBI.


"Saya bisnis permata, saya jual beli permata. Nggak ada kaitan dengan perkara apa pun," katanya menjawab pertanyaan wartawan.

Dalam penggeledahan terhadap mobil jenis kijang berwarna silver milik Urip yang bernomor polisi DK 1832 CF, Tim Penyidik KPK nampak mengambil sebuah tas warna hitam yang kemudian dijadikan barang bukti.

Ketika ditanya apakah uang yang diterimanya terkait penghentian kasus BLBI, Urip mengatakan, "Itu bukan saya yang menentukan, itu sudah dibahas oleh tim," katanya.

Dia kemudian menegaskan bahwa dirinya akan menghormati hak penyidik dan akan membuktikan bantahannya tersebut di pengadilan.

Entah apa yang ada dalam benak Urip saat itu. Yang jelas, dia menegaskan memiliki bukti jual beli permata. Saat itu Urip tampak tabah, meski dia telah melalui hari yang berat. Baju putihnya lusuh dan kotor oleh tanah. Namun, dia tidak menundukkan wajah sedikitpun dihadapan kilat lampu dan sorot kamera para pemburu berita.

Dengan penuh semangat dan sorot mata tajam, Urip siap membuktikan semuanya di pengadilan. Bahkan, dia berkali-kali mengacungkan telunjuk tanda kekesalan. Tak lama kemudian, aparat kepolisian dan penyidik KPK kembali membawa Urip memasuki gedung KPK, menyisakan berbagai pertanyaan.

No comments: