Tuesday, September 30, 2008

Fitri Di Balik Terali Besi

lilik dwi

dua tahun silam...
Suara Adzan terdengar hingga ke tepi jalan. Nyanyian surgawi itu merambat dinding setinggi lima meter kemudian menyelinap di antara kawat dan terali besi, membawa kidung merdu kapada semua manusia bebas. Sebuah kidung merdu nan fitri dari para narapidana.

Mereka yang berada di luar tembok dan terali hanya bisa membayangkan apa sebenarnya yang terjadi di dalam. Benarkan tidak ada fitri di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (LP)? Benarkah tidak ada senyum suka cita dan kasih sayang dalam kehidupan manusia dengan stigma negatif itu?

Sesaat setelah masuk pintu pagar besi lengkap dengan kawat berduri di atasnya, seseorang telah berada di halaman depan LP Cipinang, Jakarta Timur.

Pintu masuk portir berbahan besi padat dengan tinggi tak lebih dari 1,5 meter adalah pamandangan pertama bagi setiap orang yang akan menginjakkan kaki ke dalam LP tersebut. Pintu yang tak setinggi pintu pada umumnya itu akan membuat sebagian besar orang yang melewatinya akan membungkukkan badan.

Setelah melewati beberapa ruangan dan jalan berliku, terhampar lapangan luas yang tidak bisa langsung dijamah karena, lagi-lagi,terhalang oleh pagar kawat besi setinggi lima meter yang juga dilengkapi dengan kawat berduri.

Mengelilingi lapangan itu, tinggal 3.914 orang yang sedang menunggu proses peradilan dan yang sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan akibat perbuatan di masa lalu. Mereka tinggal dibeberapa ruangan yang bisa menampung sekitar delapan orang dan dilengkapi kamar mandi serta WC.

Tepat di sisi kanan lapangan setelah melewati pintu masuk, berdiri Masjid Jami' Baiturrahman dengan dominasi warna hijau yang belum kusam.

Tanpa diketahui banyak orang "bebas", sekitar 250 orang memenuhi halaman masjid yang baru berdiri sekitar dua bulan yang lalu itu, tepat setelah Adzan Maghrib selesai dikumandangkan. Beberapa orang terlihat membentuk lingkaran, ada yang jongkok dan ada yang duduk, dengan sebungkus nasi di tangan.

Ya, para narapidana (napi) itu, orang dengan masa lalu yang kelam,berusaha memaknai hari-hari terakhir menjelang hari besar yang dinantikan, Idul Fitri, dengan menikmati hidangan buka puasa mereka.

Dengan busana laiknya para santri; kombinasi sarung dan baju kokoserta dilengkapi dengan kopiah, mereka tampak menikmati hidangan malam itu.

Beberapa yang sudah selesai berbuka segera bergegas membersihkan diri, bersiap-siap untuk rangkaian selanjutnya, Shalat Tarawih berjamaah.

Kehidupan mereka tak jauh berbeda dengan ritme keseharian sebuah pesantren karena memang ke-250 napi itu senyatanya adalah parasantri.

Mereka bergulat dalam pencapaian ketenangan batin dalam wadah Pesantren Attawabin.

Sama seperti yang lain, malam itu Imron Baehaki (40) juga sangat menikmati nasi tongkol dengan siraman sayur kacang yang disediakan. Jenggotnya mulai memutih dan guratan di keningnya terlihat dalam, sedalam pengalamannya yang kemudian menghantarkannya menjadi ketua santri di pesantren Attawabin.

Sebelum mengolah rasa di pesantern itu, Imron menjalani kehidupan biasa di "alam bebas". Hingga pada suatu saat, kepemilikan senjata api mengharuskannya mendekam di LP Cipingang selama empat tahun.

Beberapa lama tinggal di balik terali membawa pria asal Kudus, Jawa Tengah, itu mengalami kerinduan yang sangat sulit digambarkan. Kondisi itu membawanya dalam lingkaran keluarga pesantren yang mulai aktif sejak tiga tahun lalu itu.

Kesan galak karena kulit yang hitam legam serta tubuh yang kekar nampak tiada arti dalam balutan busana muslim yang dikenakannya.

Ketekunannya untuk belajar Al Quran dari pukul 09.00 sampai 11.00 dan mengikuti aktivitas pesantren yang efektif dimulai setelah Shalat Asar setiap hari telah membawanya menjadi salah seorang panutan.

Kini, warga binaan LP mengenalnya bukan sebagai pemilik senjata api, tapi sebagai Ustadz Imron sang ketua santri.

Ini adalah Lebaran ke tiga Imron di LP. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia akan merayakan lebaran bersama dengan napi lainnya. Namun, Imron tetap ingin memaknai Lebaran sama seperti kebanyakan orang di luar kawat berduri LP Cipinang.

"Semoga saya bisa ketemu keluarga, melepas kangen walau sebentar,"katanya.

Dia bersyukur karena pihak LP memberikan kelonggaran waktu dan tempat besuk bagi napi dan keluarga yang merayakan Lebaran. Pada hari biasa, napi dan keluarga mereka tidak bisa melepas rindu dalam waktu yang cukup karena ada pembatasan jam besuk, hanya 30menit untuk masing-masing napi.

Kerinduan serupa juga dialami Mohammad Adung Zakaria. Pria 58tahun yang didaulat menjadi Imam Masjid itu memahami rasa rindu kepada keluarga adalah hal yang wajar. "Itu juga saya rasakan,"ujar pria yang biasa disapa Adung itu.

Dengan kadar keimanan yang tinggi, pria asal Solo itu berusaha mengurangi kerinduan terhadap keluarga, tanpa bermaksud menghilangkannya.

Kegiatan keagamaan, menurutnya, akan mendekatkan kepada Tuhan sehingga rasa rindu terhadap keluarga dapat diredam.

"Kalau cuma mikir kangen keluarga, saya bisa tiga kali stres, orang istri saya ada tiga," katanya sambil mengelus jenggot putihnya.

No comments: