Monday, August 23, 2010

Asketisme Politik dan "Chicken Flambe"

Ini hanya tulisan ringan. Saya berjanji. Kalaupun terkesan berat, itu hanya ketidakmampuan saya untuk memilih judul yang lebih menarik.

Ini hanyalah lanjutan dari kisah Wortel Partisan yang saya ceritakan sebelumnya.
Singkat kata, rakyat jelata berkesempatan mengikuti acara buka puasa bersama di kediaman pak presiden kita, Pak SBY, di Puri Cikeas, Bogor, 22 Agustus 2010 silam. Pintu terbuka, masukklah saya dan beberapa teman, yang juga jelata.

Memasuki halaman rumah Pak Presiden, saya melihat hamparan karpet, menyelimuti pekarangan rumah. Karpet terus membentang hingga ke sebuah pendopo yang mungkin cukup untuk menampung 50 orang. Pendopo itu masih termasuk bagian pekarangan rumah.
Jika itu saja baru pekarangan, bisa dibayangkan luas rumah pak presiden seluruhnya.

Buka puasa itu diawali dengan sambutan Pak Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, yang juga partainya Pak SBY.

Ada yang baru dari Pak Anas, bukan baju kokonya, bukan juga kacamatanya...tetapi istilah yang diserukan dalam pidato, asketisme politik!

Terinsipiasi oleh para tokoh yang selalu mendewakan pencitraan, sayapun segera sikut kanan sikut kiri sambil memencet semua tombol yang ada pada perangkat elektronik pinjaman kantor, hanya dengan satu tujuan...mencari tahu makna "asketisme" supaya citra saya baik, tidak terlihat bodoh-bodoh amat.

Dari sejumlah literatur yang saya baca, makna "asketisme" bermuara pada keadaan ketika seseorang lebih mengutamakan pengendalian diri dan nilai-nilai rohani keagamaan
daripada dorongan ragawi alamiah. Jadi "asketisme politik" kira-kira adalah tindakan mengedepankan pengendalian diri dan nilai rohani keagamaan dalam kehidupan berpolitik.

Rupanya tak terlalu meleset perkiraaan saya karena, dalam pidatonya, Pak Anas juga meminta para kader Partai Demokrat untuk bersabar, sopan, tidak grusa-grusu, apalagi di masa puasa.
Semua manggut-manggut, menyimak, seakan memahami. Dalam hati saya berujar, para kader Partai Demokrat akan segera dan semakin mengukuhkan diri sebagai politisi yang sopan, teratur, terukur dan tentu saja...terstigma teraniaya.

Saya kaget karena lamunan saya itu mendadak buyar! mendadak semua orang berdiri, memakai alas kaki dan mengerumuni sumber makanan yang sudah disediakan. Rupanya, karena terlalu asyik melamun, saya tak sadar kalau waktu berbuka sudah tiba.

Pemandangan yang saya lihat saat itu, menurut pendapat pribadi, sangat jauh dari kesan teduh-tenang-sabar yang digambarkan dalam jargon "asketisme" Pak Anas.

Riuh..rapat...ramai. Sedikit saja menoleh, saya memandang kerumunan orang. Sedikit saja bergeser, saya akan menyenggol orang lain yang seakan berlomba menyantap makanan yang disediakan.

Saya menjadi penasaran, apa sih yang akan mereka makan sehingga keriuhan itu harus mengganggu lamunanku tentang "asketisme" yang teduh-tenang-sabar-rohani itu.
Dengan sedikit meliukkan badan supaya tidak menyonggol orang-orang yang sedang menyangga piring penuh makanan, saya berhasil melongok menu yang disajikan.

Sebagian besar asing bagiku yang jelata ini. Beberapa hidangan yang kuingat adalah "Chicken Flambe" dan "Thai Steam Boat". Apakah itu? Otak ini tak mampu menerjemahkannya.

Aku sedikit menahan cemas, jangan-jangan semua yang disajikan bercitarasa "asing". Bukan kenapa, aku hanya khawatir tidak bisa makan karena lidahku mungkin saja berontak jika menyentuh makanan berkelas seperti itu.

Dari ujung hingga ke ujung lainnya, aku tak menemukan makanan yang sering kujumpai di kampung halamanku, seperti growol, wajik, jadah, cethot, klepon. Ataupun aneka sayuran yang sering dibuat oleh almarhum ibuku, seperti trancam, pecel, rawon, atau sayur nangka.

Tapi untunglah, setelah sekian lama mencari, aku menemukan Mie Kangkung. Halo kangkung, aku memilihmu.

Meski bingung dan cemas karena "ndeso", aku masih bisa bersyukur karena aneka cita rasa asing itu telah memperkaya pengetahuan dan pengalaman.

Aku juga semakin memahami kenapa banyak orang meyebut presiden kita memiliki wawasan dan orientasi internasional, hingga pidato-pidatonya disandingkan dengan pidato presiden Amerika Serikat dalam buku "Word That Shook The World" karangan Richard Greene yang bersampul tebal dan dijual dengan harga Rp280 ribu per eksemplar itu.

Oleh karena itu, mungkin saya harus bangga. Atau harus menabung supaya bisa membeli buku tentang Pak Presiden?

Kembali ke soal makanan. Rasa penasaranku tentang "Chicken Flambe" belum lenyap. Hasil sikut sana sikut sini membuatku sedikit mengenal jenis makanan ini.

Cambridge Advanced Learner's Dictionary atau kamus yang sering menjadi tempatku mengadu menjelaskan "flambe" termasuk dalam dua kelas kata, kata kerja dan kata sifat.

Sebagai kata kerja, "flambe" berarti menuangkan alkohol di atas makanan selama proses memasak. Sedangkan sebagai kata sifat, "flambe" selalu ditempatkan setelah kata benda untuk menegaskan bahwa kata benda itu dibuat dengan proses penuangan alkohol. Jantungku mulai berdetak....

Pencarianku belum selesai. Kucoba mencari pendapat lain tentang cara pembuatan "Chicken Flambe". Jantungku semakin berdetak lebih cepat setelah tahu kalau "brandy" menjadi salah satu bahan yang digunakan untuk membuat makanan itu. Kalau saya tidak salah, "brandy" berasal dari kata "brandywine", semacam minuman hasil fermentasi anggur dengan kadar alkohol antara 35 persen sampai 60 persen.

Sembari pulang, aku berpikir dan kembali melamun apa pesan yang hendak disampaikan ketika "Chicken Flambe" yang mungkin mengandung alkohol disajikan dalam hidangan buka puasa? kenapa setelah mendengarkan pidato tentang asketisme yang teduh-tenang-sabar-rohani, orang-orang lahap sekali menyantap si "flambe" itu?

Ah..mungkin itu hanya lamunan tidak penting. Semoga saja apa yang saya baca tentang "Chicken Flambe" beralkohol itu tidak benar. Semoga.


Salam semoga.
F.X. Lilik Dwi Mardjianto

3 comments:

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Saya pilih "Ongol-ongol", "Thiwul", dan semacamnya daripada "Chicken (f)lambe" atau "T(h)ai Steam Boat". Untuk satu hal ini saja saya terpaksa memilih, tidak untuk yang lainnya, apalagi yang mengandung unsur politis.
btw, kapan-kapan, nek diundang meneh ning Cikeas, kowe sangu Ubi Cilembu wae, Lik. lalu, katakan pada si empunya rumah, cemilanmu lebih nikmat dan terhormat daripada hidangan yang dia sajikan.

Lilik said...

aku dadi mbayangke "Chicken (f)lambe" atau "T(h)ai Steam Boat"....hiiiiii nggilani :)