"Dewiku tercinta, Saya dalam keadaan baik dan sangat sibuk dengan konferensi bersama semua panglima militer untuk menyelesaikan konflik di kalangan militer. Jangan khawatir, sayang!, Sayang dan 1000 ciuman, Soekarno."
Untaian kata cinta itu dilayangkan oleh Soekarno kepada pujaan hatinya, Ratna Sari Dewi. Surat singkat itu dikirim melalui kurir Sang Presiden pada 2 Oktober 1965.
Situasi yang memanas di dalam tubuh militer setelah peristiwa 30 September 1965 nampaknya meluluhkan hati Soekarno yang keras. Cintanya membuat Soekarno tak melupakan Dewi, tak lupa melayangkan seribu ciuman kepada wanita Jepang itu.
Naoko Nemoto adalah nama aslinya. Perkenalan dan kisah cintanya dengan Sang Proklamator membawanya ke Indonesia, kemudian menjelma menjadi Ratna Sari Dewi, ketika Indonesia baru saja lahir.
Naoko dilahirkan dalam keluarga sederhana pada 6 Februari 1940. Keluarganya menetap di Tokyo, Jepang, tepatnya di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho.
Keadaan keluarga yang tak berkelimpahan, mendorong Naoko untuk bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada 1955.
Empat tahun kemudian, nasib mengubah hidupnya.
Saat itu, Juni 1959, Soekarno melepas lelah di salah satu kawasan kenamaan di negeri Sakura, Akasaka`s Copacabana. Sang Presiden merasa perlu melepas penat di sela kunjungan kerjanya yang padat, menguras tenaga dan pikiran.
Tanpa rencana, pandangan mata Soekarno menghampiri Naoko Nemoto yang anggun dan gemulai. Melalui perantaraan kolega di Jepang, Soekarno akhirnya berhasil bercengkrama dengan sang dara.
Hari berganti, keduanyapun semakin akrab. Semakin lama Soekarno memandang Naoko, semakin luluh hatinya, dan jatuhlah hati itu dalam dekapan dara Sakura.
Bukan Soekarno kalau tidak melakukan hal yang di luar kebiasaan. Dia boyong Naoko ke Tanah Air. Sejumlah literatur menyatakan keduanya sempat berkelana ke Pulau Dewata, hingga akhirnya bersanding di pelaminan pada 1962.
Jadilah Naoko dara nusantara, Ratna Sari Dewi, lengkap dengan status kewarganegaraan Indonesia. Jadilah dia Ibu Negara, bersama empat Ibu Negara lainnya yang telah disunting oleh Soekarno sebelumnya.
Cinta mempertahankan para Ibu Negara di samping Soekarno. Cinta Soekarno bulat, satu, kemudian dia bagi merata kepada para istrinya.
Cinta Soekarno kepada Ratna Sari Dewi meluap-luap. Ia ceritakan semua seluk beluk pekerjaan kepada Dewi. Dalam setiap surat yang dia kirim di tengah sibuknya aktivitas sebagai petinggi negeri, Soekarno selalu menyapa Dewi dengan sebutan "Dewiku" atau "Sayang".
Saking dekatnya hati mereka, para wartawanpun berusaha mendekati Dewi dengan satu alasan, hanya Dewi yang mengetahui apa yang dilakukan oleh Soekarno.
Begitupun Dewi. Dia menyayangi suaminya sepenuh hati. Meski kadang fisik mereka terpisah samudera, hati Dewi melayang menghampiri Soekarno di tanah air. Hatinya menyertai Sang Presiden dalam setiap pekerjaan, sampai akhir hayatnya.
Secara fisik, Dewi datang ke Indonesia pada 20 Juni 1970, malam hari, sekitar pukul delapan. Bersama anak buah kasihnya dengan Soekarno, Kartika, yang saat itu masih berumur empat tahun. Dewi langsung menuju Wisma Yaso.
Dewi mendampingi suaminya yang sekarat hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam kekuasaan Orde Baru.
Cinta Soekarno dan Indonesia
Kepustakaan Presiden yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebut Soekarno menambatkan hati kepada Dewi bukan hanya karena kecantikannya, namun karena cita rasa Indonesia yang tertanam dalam diri wanita itu.
Kepustakaan tentang para presiden Indonesia itu menyebut Dewi fasih melantunkan tembang "Bengawan Solo" saat hati dan mata mereka petama kali bertemu di negeri Sakura.
Sampai kini, 65 tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Dewi tetap merasa sebagai warga negara Indonesia (WNI).
"Saya lebih lama jadi WNI daripada Anda, ya. Dari 1959. 51 tahun saya WNI," kata Dewi ketika ditemui di Istana Merdeka setelah upacara penurunan bendera untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Pemakai kebaya cokelat itu berada di Indonesia selama tiga hari. Menginjakkan kaki di tanah air pada Senin (16/8) sore dan kembali ke Jepang Rabu (18/8) malam .
"Abis saya kerja di Jepang sekarang," kata Dewi memberi alasan.
Tiga hari di Indonesia dia manfaatkan untuk mengenang suaminya. Selasa pagi hari, dia bergegas untuk melihat kharisma suami tercinta diabadikan dalam sebuah patung di Universitas Bung Karno, Jakarta.
"Sembilan meter tinggi. Bagus sekali...," katanya lirih, sambil tersenyum.
Dia menyempatkan diri kembali ke tanah air untuk menghadiri peresmian patung setinggi sembilan meter itu. Setelah terhambat pembangunannya selama masa Orde Baru, patung itu kini tegak berdiri. Girang Dewi dibuatnya.
"Tadi pagi saya sangat bahagia dan bangga," katanya.
Hati Dewi juga melompat kegirangan ketika sore harinya dia ke Istana Merdeka yang pernah menjadi rumahnya dulu.
Dengan langkah pelan, dia tiba di Istana Merdeka, sore hari sesaat sebelum upacara penurunan bendera dimulai. Dia harus dipapah menaiki tangga istana, meunuju panggung kehormatan tempat dulu suaminya menghabiskan waktu.
Ia mengaku ingin ke Indonesia, dan selalu ingin. Hingga akhirnya, dia pertama kali bisa mengikuti upacara kenegaraan di Istana dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Begitu senang Dewi, hingga dia sangat menyesal tidak membawa kamera foto pribadi.
"Jadi saya tidak dapat ambil foto. Tapi tadi sore saya dapat banyak foto," katanya sambil selalu tersenyum.
Dewi memang tak muda lagi. Dia tetap mengenakan kebaya, meski gurat dan keriput sudah timbul di kulit wajahnya.
Cintanya kepada Indonesia sebesar cintanya kepada Soekarno. Dia mencintai Soekarno karena dia sadar Soekarno juga mencintainya dengan sepenuh hati.
Selalu terngiang curahan hati Soekarno tentang dirinya jika ajal menjemput, "Satukan aku dengan dia dalam satu peti."
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment