Film itu bercerita tentang perjalanan hidup perempuan bernama Elizabeth Gilbert, yang bertekad tidak menikah lagi dan memutuskan untuk berkelana dan mencari arti hidup. Dalam perjalanannya, dia singgah di tiga tempat, yaitu Italia, India, dan Bali--Indonesia.
Di Italia, Gilbert menemukan berbagai hal yang terkait dengan makan. Sedangkan di India, perempuan itu berjibaku dengan devosi terhadap sesuatu yang transenden; dia belajar untuk menemukan diri dalam doa di India.
Penggalan terakhir film ini berkisah tentang Bali. Liz--panggilan Elizabeth Gilbert, belajar untuk mencintai. Sejumlah pengalamannya di Pulau Dewata itu membawanya pada pemahaman tentang cinta.
Rupanya film yang satu ini memberi kesan tertentu bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden terkesan bukan kepada sosok Liz, bukan juga kepada Bali. Yudhoyono terkesan pada pesan dalam film itu, bahwa ciri khas suatu daerah bisa menjadi daya tarik daerah itu sebagai tujuan wisata.
Inspirasi itu dia bawa ke pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, pada 26 Februari 2011 lalu. Saat itu, presiden meresmikan kawasan wisata terpadu di pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura tersebut.
Yudhoyono juga diberi kehormatan untuk memberikan nama untuk kawasan wisata terpadu di kawasan itu. Kemudian, dipilihlah nama "Pesona Lagoi Bintan", sesuai dengan letaknya di Teluk Sebong, Desa Sebong Lagoi, Kabupaten Bintan.
Menurut Yudhoyono, sebuah daerah tujuan wisata hendaknya memiliki ciri khas yang bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Jika Bali identik dengan "cinta" seperti digambarkan dalam kisah Elizabeth Gilbert, maka dia berharap Bintan bisa menawarkan hal yang lebih. Hal itu sesuai dengan impian untuk menjadikan Bintan sebagai kawasan wisata terpadu.
"Silakan datang ke Bintan, maka anda bisa mendapatkan makanan, anda bisa berdoa, dan anda akan menemukan cinta," kata Yudhoyono dalam bahasa Inggris saat memberikan sambutan dalam acara itu.
Presiden begitu menaruh hati kepada Kepulauan Riau, sehingga dia menggelar rapat khusus pada akhir kunjungan kerja di provinsi itu (27/2).
Tidak tanggung-tanggung, sejumlah menteri terkait langsung datang dari Jakarta. Rapat itu digelar di salah satu ruangan di Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjungpinang.
Para menteri dan pejabat itu adalah Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Menteri Perindustrian M.S Hidayat, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Menteri Perhubungan Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan.
Selain itu, juga ada Menteri Pertanian Suswono dan Ketua Komite Ekonomi Nasional Chaerul Tanjung yang tiba di Tanjungpinang menggunakan pesawat jet khusus.
Beberapa menteri yang lain sudah berada di Tanjungpinang untuk mendampingi presiden, antara lain Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dan Mensesneg Sudi Silalahi.
Presiden pada awal kunjungan memang sudah mengatakan, akan menggelar rapat khusus sebelum kembali ke Jakarta. Dia meminta para pejabat pemerintah daerah setempat memberikan laporan pelaksanaan pembangunan dan investasi di kawasan tersebut.
"Saya minta dipresentasikan dengan lengkap," kata Yudhoyono.
Nuansa Singapura
Presiden Yudhoyono optimistis Provinsi Kepulauan Riau akan menjadi pusat ekonomi baru, sehingga bisa menyaingi Singapura.
"Tempat kita ini adalah satelit Singapura. Kita akan menjadi new economy center," kata Presiden Yudhoyono saat membuka rapat bersama pejabat Kepulauan Riau dan sejumlah menteri itu.
Yudhoyono meminta semua pihak untuk bekerja keras, sehingga pembangunan Kepulauan Riau bukan hanya menjadi pepesan kosong.
Presiden juga meminta pembangunan Kepulauan Riau memerhatikan empat sasaran utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan tenaga kerja, pengurangan kemiskinan, dan pemeliharaan lingkungan.
"Pada saatnya nanti itu akan menjadi center yang tidak kalah dengan Singapura," katanya.
Yudhoyono juga menyambut baik upaya berbagai pihak untuk mengembangkan Pulau Bintan, sehingga dia dengan senang hati memberikan nama "Pesona Lagoi Bintan" dan berbagi inspirasi "Eat, Pray, Love".
Bintan adalah salah satu dari sekian banyak gugusan pulau di Provinsi Kepulauan Riau. Bintan adalah salah satu "pintu" Indonesia karena tepat berhadapan dengan Singapura di sebelah utara.
Pulau Bintan tidak terlalu besar. Seorang bisa melintas dari Tanjungpinang di sisi selatan hingga Lagoi di sisi utara hanya dalam waktu sekitar dua jam melalui jalur darat, dengan menggunakan mobil.
Sisi utara Bintan, termasuk Lagoi, kini "disulap" menjadi resort alias tempat berlibur. Kawasan ini membentang di sisi utara Pulau Bintan dengan luas mencapai ratusan hektare, dan langsung menghadap Singapura. "Pesona Lagoi Bintan" adalah salah satu proyek wisata yang digarap di kawasan itu.
Direktur PT ND Rekayasa Prima yang juga anggota konsorsium pembangunan proyek tersebut, Noegroho Djadjoesman mengatakan, nilai investasi proyek "Pesona Lagoi Bintan" mencapai Rp16,5 triliun.
"Kami merencanakan penanaman modal lebih dari Rp16,5 triliun," katanya saat memberikan sambutan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam acara peresmian proyek tersebut.
Proyek itu dibangun oleh konsorsium yang terdiri dari PT ND Rekayasa Prima, dan dua perusahaan asing, yaitu Landmarks Berhad dan WHT Capital Sdn Berhad.
Noegroho menjelaskan, perusahaan yang berbasis di Malaysia, Landmarks Berhad, telah membeli kawasan seluas 338 hektar itu pada 2006 dan akan membangun kawasan wisata bertema "Water City Resort".
Kawasan itu memiliki sejumlah fasilitas, antara lain terminal kapal ferry internasional, terminal marina, terminal pesawat terbang laut, tempat kunjungan kapal pesiar, pelayanan imigrasi terpadu.
Kawasan itu juga menawarkan sarana wisata air, pusat perbelanjaan, hotel, taman hiburan, dan villa.
Selain itu, pengembang juga akan membangun permukiman, apartemen, ruang pertemuan, universitas, dan rumah sakit, yang semuanya berstandar internasional.
Pembangunan tahap pertama kawasan itu diperkirakan selesai pada 2015 dan terhubung dengan pulau-pulau lain di Provinsi Kepulauan Riau.
Namun, berdasar pantauan, sejumlah fasilitas di kawasan itu sudah dibangun. Lapangan golf yang terawat membentang di sisi kiri dan kanan jalan. Restoran dan sejumlah pusat kebugaran tertata apik, lengkap dengan petugas yang siap melayani dengan senyum sumringah.
Sejumlah pengunjung juga mulai menggunakan fasilitas-fasilitas itu. Berdasarkan ciri fisik dan pengakuan langsung, sebagian besar dari mereka berasal dari Asia, khususnya Singapura. Sementara itu, sebagian pengunjung lainnya berasal dari Eropa dan Amerika.
Cita rasa Singapura di wilayah kedaulatan Republik Indonesia itu memang begitu kental.
Sebuah restoran di kawasan itu dipenuhi oleh warga negara Singapura. Mereka berbusana santai, tapi modis. Mereka berfoto, tertawa, dan bercanda menggunakan bahasa Inggris khas Singapura.
Fasilitas di kawasan itu pun beroperasi dengan memerhatikan kenyamanan pengunjung, khususnya yang berasal dari Singapura. Hal itu terlihat dengan pengaturan tarif khusus yang menggunakan mata uang Singapura, bukan Rupiah.
Sebuah restoran menyediakan informasi sejumlah fasilitas, misalnya lapangan golf lengkap dengan peralatan pendukungnya, sewa mobil lengkap dengan supirnya, sewa vila lengkap dengan perlengkapannya, dan sewa berbagai sarana olah raga lengkap dengan prasarananya. Lagi-lagi, semua tarif diatur dalam mata uang dolar Singapura.
Infrastruktur di kawasan itu juga serba bagus. Lebar ruas jalan di kawasan itu mencapai sekitar 15 meter. Tidak ada lubang di semua ruas jalan, sehingga kendaraan bisa melaju dengan lancar.
Pihak pengembang juga memperhatikan keindahan dengan menanam berbagai tanaman hias di samping ruas jalan.
Hal itu berbeda dengan kondisi jalan di sekitar tempat tinggal penduduk setempat. Ruas jalan bagi masyarakat setempat lebih sempit dan kadang berlubang.
Pihak pengembang membangun pos penjagaan dan pagar pembatas yang secara nyata memisahkan kawasan wisata terpadu dengan permukiman penduduk.
Harapan presiden untuk menjadikan pembangunan kawasan Kepulauan Riau sebagai pendongkrak perekonomian lokal hendaknya ditaati dan diwujudkan. Hendaknya masyarakat setempat bisa ikut menikmati keindahan, bukan hanya melihat wisatawan Singapura yang sedang berlibur.
Hendaknya inspirasi "Eat, Pray, Love" bisa menyentuh masyarakat Bintan, sehingga mereka bisa makan, berdoa, dan merasakan cinta di tanah kelahiran.
Hendaknya Bintan benar-benar menjadi milik Indonesia, bukan menjadi "negara bagian" Singapura.
*****
Cerita ini juga bisa dibaca di http://www.antaranews.com/berita/248131/sby-dan-inspirasi-eat-pray-love
No comments:
Post a Comment