Sore itu, Selasa, 31 Agustus 2010, Pak SBY hadir dalam acara buka puasa bersama anak yatim piatu dan dhuafa di Jakarta Convention Center.
Semua berjalan seperti biasa...pengawalan super ketat; sebelum presiden datang, pembawa acara sudah memberitahu hadirin apa yang harus dilakukan ketika rombongan prsiden datang; kemudian pak Presiden datang segar bugar sambil melambaikan tangan tentunya.
Meski nampak seperti biasa, sebenarnya ada yang luar biasa, yaitu: Pak Presiden makan dihadapan ribuan orang dan sejumlah kamera. Menyaksikan pak SBY makan memang hal yang langka. Saya, rakyat jelata ini, juga baru tahu setelah belakangan keluyuran ke Istana.
Di Istana, ataupun di manapun, para wartawan dilarang mengabadikan gambar Pak Presiden yang sedang makan...entah dengan alasan apa. Memang ada gambar presiden sedang berada di depan meja makan dengan sejumlah hidangan tersaji. Namun, hampir tidak pernah ada gambar atau rekaman video presiden sedang melahap makanan.
Hal yang sama terjadi di JCC. Saat itu, Pak Yudhoyono duduk di panggung kehormatan bersama Ibu Ani dan sejumalah menteri. Panggung kehormatan itu menghadap ke 3.400 anak yatim piatu dan dhuafa yang duduk "lesehan".
Sejuk rasanya melihat menu buka puasa pak presiden sama dengan menu para anak yatim piatu. Meski menu itu tidak bisa dibilang sederhana dan bersahaja, pasti kejadian itu baik untuk citra presiden, apalagi sang pembawa acara mengumumkan hal itu melalui pengeras suara yang, tentunya, disambut riuh tepuk tangan para hadirin.
Sayangnya, kami tidak bisa mengabadikan pemandangan yang indah dan bersahaja itu. Tanpa diduga, salah satu anggota Pasukan Pengamanan Presiden berdiri sigap dan menunjuk ke seseorang yang berniat memotret Pak Presiden yang sedang berbuka. Setelah menunjuk, dia menyilangkan pergelangan tangan, menggelengkan kepala. Semua tahu itu adalah larangan memotret.
Benar saja, tak lama kemudian, anggota Paspampres yang lain menghampiri para juru kamera dan mengingatkan agar tidak merekam ataupun memotret presiden ketika sedang makan. Setelah kejadian itu, puluhan pasang mata Paspampres sigap bergerak memantau arah dan kerja setiap kamera.
Aku sendiri pingin banget memotret pak presiden sedang makan. Namun kuurungkan niat itu...khawatir kalau ditegur tentara dan bikin gaduh suasana.
Setelah tanya kesana- kemari, larangan memotret Presiden yang sedang makan itu bukan cuma berlaku pada masa pemerintahan Pak SBY. Kabarnya, aturan itu juga berlaku sejak presiden-presiden sebelumnya.
Aku teringat cerita tentang pengalaman menggelikan ketika sepupuku malu di depan umum pada saat dan setelah dia makan.
Mie ayam adalah makanan yang dia santap saat itu. Mie ayam adalah hidangan lezat bagi kami, bocah kampung, kala itu. Bahkan, untuk semangkuk mie ayam, kami rela naik bis ke kota.
Saking enaknya, sepupuku itu tidak peduli dengan mimik mukanya yang terlipat kesana kemari gara-gara berusaha mengurai serat daging ayam yang keras minta ampun itu. Akupun tertawa membayangkan muka sepupuku yang mendadak berubah bak juru pantomim.
Gelak tawaku kembali membuncah ketika mendengar cerita bahwa dia dengan percaya diri bertumpuk-tumpuk bercerita dan tertawa di dalam bus kota, meski daun bawang menyelip di sela gigi serinya. Aku sendiri malu membayangkannya.
Kembali ke Pak Presiden. Kabarnya, selain dilarang memotret presiden yang sedang makan, juru warta Istana juga tidak boleh memotret atau merekam gambar presiden yang sedang mengenakan sepatu. Entah kenapa...
Jadi, daripada berpanjang lebar, tak usahlah kita berharap bisa melihat presiden-presiden kita melahap makanan dan tanpa beralas kaki dengan bersahaja....sebersahaja presiden Bolivia Evo Morales yang sedang berbuka puasa bersama Presiden Iran Ahmadinejad,....atau sesederhana presiden Ahmadinejad yang sedang tidur...seperti dalam gambar berikut.
Salam bersahaja.
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Sumber gambar:
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://salim.usk.googlepages.com/iran-president-7.jpg&imgrefurl=http://salimkita.blogspot.com/2009/02/ahmadinejad-ingatlah-anda-tidak-lebih.html&usg=__pBeGDGIqcMASD7dabaXpj-fUC5g=&h=672&w=450&sz=39&hl=jw&start=21&sig2=brPyO1tQGh4cggaAohV-yg&zoom=1&itbs=1&tbnid=HBqr2RKGCgmuTM:&tbnh=138&tbnw=92&prev=/images%3Fq%3Dpresiden%2Bmakan%26start%3D20%26hl%3Djw%26sa%3DN%26gbv%3D2%26ndsp%3D20%26tbs%3Disch:1&ei=2QF9TKq_KYfJcYyUgPUF
dan
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://ressay.files.wordpress.com/2008/09/nejad_morales.jpg&imgrefurl=http://ressay.wordpress.com/2008/09/&usg=__IlLdnSiZOSgsQoUGXjfHXRgCDrA=&h=418&w=600&sz=147&hl=jw&start=189&sig2=JErDSw2OUdwVbkzWaULF7g&zoom=1&itbs=1&tbnid=OtChfxwYdqnwHM:&tbnh=94&tbnw=135&prev=/images%3Fq%3Dahmadinejad%2Bmakan%26start%3D180%26hl%3Djw%26sa%3DN%26gbv%3D2%26ndsp%3D20%26tbs%3Disch:1&ei=FyZ9TI2PG8jIcdHHye0F
Tuesday, August 31, 2010
Monday, August 23, 2010
Asketisme Politik dan "Chicken Flambe"
Ini hanya tulisan ringan. Saya berjanji. Kalaupun terkesan berat, itu hanya ketidakmampuan saya untuk memilih judul yang lebih menarik.
Ini hanyalah lanjutan dari kisah Wortel Partisan yang saya ceritakan sebelumnya.
Singkat kata, rakyat jelata berkesempatan mengikuti acara buka puasa bersama di kediaman pak presiden kita, Pak SBY, di Puri Cikeas, Bogor, 22 Agustus 2010 silam. Pintu terbuka, masukklah saya dan beberapa teman, yang juga jelata.
Memasuki halaman rumah Pak Presiden, saya melihat hamparan karpet, menyelimuti pekarangan rumah. Karpet terus membentang hingga ke sebuah pendopo yang mungkin cukup untuk menampung 50 orang. Pendopo itu masih termasuk bagian pekarangan rumah.
Jika itu saja baru pekarangan, bisa dibayangkan luas rumah pak presiden seluruhnya.
Buka puasa itu diawali dengan sambutan Pak Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, yang juga partainya Pak SBY.
Ada yang baru dari Pak Anas, bukan baju kokonya, bukan juga kacamatanya...tetapi istilah yang diserukan dalam pidato, asketisme politik!
Terinsipiasi oleh para tokoh yang selalu mendewakan pencitraan, sayapun segera sikut kanan sikut kiri sambil memencet semua tombol yang ada pada perangkat elektronik pinjaman kantor, hanya dengan satu tujuan...mencari tahu makna "asketisme" supaya citra saya baik, tidak terlihat bodoh-bodoh amat.
Dari sejumlah literatur yang saya baca, makna "asketisme" bermuara pada keadaan ketika seseorang lebih mengutamakan pengendalian diri dan nilai-nilai rohani keagamaan
daripada dorongan ragawi alamiah. Jadi "asketisme politik" kira-kira adalah tindakan mengedepankan pengendalian diri dan nilai rohani keagamaan dalam kehidupan berpolitik.
Rupanya tak terlalu meleset perkiraaan saya karena, dalam pidatonya, Pak Anas juga meminta para kader Partai Demokrat untuk bersabar, sopan, tidak grusa-grusu, apalagi di masa puasa.
Semua manggut-manggut, menyimak, seakan memahami. Dalam hati saya berujar, para kader Partai Demokrat akan segera dan semakin mengukuhkan diri sebagai politisi yang sopan, teratur, terukur dan tentu saja...terstigma teraniaya.
Saya kaget karena lamunan saya itu mendadak buyar! mendadak semua orang berdiri, memakai alas kaki dan mengerumuni sumber makanan yang sudah disediakan. Rupanya, karena terlalu asyik melamun, saya tak sadar kalau waktu berbuka sudah tiba.
Pemandangan yang saya lihat saat itu, menurut pendapat pribadi, sangat jauh dari kesan teduh-tenang-sabar yang digambarkan dalam jargon "asketisme" Pak Anas.
Riuh..rapat...ramai. Sedikit saja menoleh, saya memandang kerumunan orang. Sedikit saja bergeser, saya akan menyenggol orang lain yang seakan berlomba menyantap makanan yang disediakan.
Saya menjadi penasaran, apa sih yang akan mereka makan sehingga keriuhan itu harus mengganggu lamunanku tentang "asketisme" yang teduh-tenang-sabar-rohani itu.
Dengan sedikit meliukkan badan supaya tidak menyonggol orang-orang yang sedang menyangga piring penuh makanan, saya berhasil melongok menu yang disajikan.
Sebagian besar asing bagiku yang jelata ini. Beberapa hidangan yang kuingat adalah "Chicken Flambe" dan "Thai Steam Boat". Apakah itu? Otak ini tak mampu menerjemahkannya.
Aku sedikit menahan cemas, jangan-jangan semua yang disajikan bercitarasa "asing". Bukan kenapa, aku hanya khawatir tidak bisa makan karena lidahku mungkin saja berontak jika menyentuh makanan berkelas seperti itu.
Dari ujung hingga ke ujung lainnya, aku tak menemukan makanan yang sering kujumpai di kampung halamanku, seperti growol, wajik, jadah, cethot, klepon. Ataupun aneka sayuran yang sering dibuat oleh almarhum ibuku, seperti trancam, pecel, rawon, atau sayur nangka.
Tapi untunglah, setelah sekian lama mencari, aku menemukan Mie Kangkung. Halo kangkung, aku memilihmu.
Meski bingung dan cemas karena "ndeso", aku masih bisa bersyukur karena aneka cita rasa asing itu telah memperkaya pengetahuan dan pengalaman.
Aku juga semakin memahami kenapa banyak orang meyebut presiden kita memiliki wawasan dan orientasi internasional, hingga pidato-pidatonya disandingkan dengan pidato presiden Amerika Serikat dalam buku "Word That Shook The World" karangan Richard Greene yang bersampul tebal dan dijual dengan harga Rp280 ribu per eksemplar itu.
Oleh karena itu, mungkin saya harus bangga. Atau harus menabung supaya bisa membeli buku tentang Pak Presiden?
Kembali ke soal makanan. Rasa penasaranku tentang "Chicken Flambe" belum lenyap. Hasil sikut sana sikut sini membuatku sedikit mengenal jenis makanan ini.
Cambridge Advanced Learner's Dictionary atau kamus yang sering menjadi tempatku mengadu menjelaskan "flambe" termasuk dalam dua kelas kata, kata kerja dan kata sifat.
Sebagai kata kerja, "flambe" berarti menuangkan alkohol di atas makanan selama proses memasak. Sedangkan sebagai kata sifat, "flambe" selalu ditempatkan setelah kata benda untuk menegaskan bahwa kata benda itu dibuat dengan proses penuangan alkohol. Jantungku mulai berdetak....
Pencarianku belum selesai. Kucoba mencari pendapat lain tentang cara pembuatan "Chicken Flambe". Jantungku semakin berdetak lebih cepat setelah tahu kalau "brandy" menjadi salah satu bahan yang digunakan untuk membuat makanan itu. Kalau saya tidak salah, "brandy" berasal dari kata "brandywine", semacam minuman hasil fermentasi anggur dengan kadar alkohol antara 35 persen sampai 60 persen.
Sembari pulang, aku berpikir dan kembali melamun apa pesan yang hendak disampaikan ketika "Chicken Flambe" yang mungkin mengandung alkohol disajikan dalam hidangan buka puasa? kenapa setelah mendengarkan pidato tentang asketisme yang teduh-tenang-sabar-rohani, orang-orang lahap sekali menyantap si "flambe" itu?
Ah..mungkin itu hanya lamunan tidak penting. Semoga saja apa yang saya baca tentang "Chicken Flambe" beralkohol itu tidak benar. Semoga.
Salam semoga.
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Ini hanyalah lanjutan dari kisah Wortel Partisan yang saya ceritakan sebelumnya.
Singkat kata, rakyat jelata berkesempatan mengikuti acara buka puasa bersama di kediaman pak presiden kita, Pak SBY, di Puri Cikeas, Bogor, 22 Agustus 2010 silam. Pintu terbuka, masukklah saya dan beberapa teman, yang juga jelata.
Memasuki halaman rumah Pak Presiden, saya melihat hamparan karpet, menyelimuti pekarangan rumah. Karpet terus membentang hingga ke sebuah pendopo yang mungkin cukup untuk menampung 50 orang. Pendopo itu masih termasuk bagian pekarangan rumah.
Jika itu saja baru pekarangan, bisa dibayangkan luas rumah pak presiden seluruhnya.
Buka puasa itu diawali dengan sambutan Pak Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, yang juga partainya Pak SBY.
Ada yang baru dari Pak Anas, bukan baju kokonya, bukan juga kacamatanya...tetapi istilah yang diserukan dalam pidato, asketisme politik!
Terinsipiasi oleh para tokoh yang selalu mendewakan pencitraan, sayapun segera sikut kanan sikut kiri sambil memencet semua tombol yang ada pada perangkat elektronik pinjaman kantor, hanya dengan satu tujuan...mencari tahu makna "asketisme" supaya citra saya baik, tidak terlihat bodoh-bodoh amat.
Dari sejumlah literatur yang saya baca, makna "asketisme" bermuara pada keadaan ketika seseorang lebih mengutamakan pengendalian diri dan nilai-nilai rohani keagamaan
daripada dorongan ragawi alamiah. Jadi "asketisme politik" kira-kira adalah tindakan mengedepankan pengendalian diri dan nilai rohani keagamaan dalam kehidupan berpolitik.
Rupanya tak terlalu meleset perkiraaan saya karena, dalam pidatonya, Pak Anas juga meminta para kader Partai Demokrat untuk bersabar, sopan, tidak grusa-grusu, apalagi di masa puasa.
Semua manggut-manggut, menyimak, seakan memahami. Dalam hati saya berujar, para kader Partai Demokrat akan segera dan semakin mengukuhkan diri sebagai politisi yang sopan, teratur, terukur dan tentu saja...terstigma teraniaya.
Saya kaget karena lamunan saya itu mendadak buyar! mendadak semua orang berdiri, memakai alas kaki dan mengerumuni sumber makanan yang sudah disediakan. Rupanya, karena terlalu asyik melamun, saya tak sadar kalau waktu berbuka sudah tiba.
Pemandangan yang saya lihat saat itu, menurut pendapat pribadi, sangat jauh dari kesan teduh-tenang-sabar yang digambarkan dalam jargon "asketisme" Pak Anas.
Riuh..rapat...ramai. Sedikit saja menoleh, saya memandang kerumunan orang. Sedikit saja bergeser, saya akan menyenggol orang lain yang seakan berlomba menyantap makanan yang disediakan.
Saya menjadi penasaran, apa sih yang akan mereka makan sehingga keriuhan itu harus mengganggu lamunanku tentang "asketisme" yang teduh-tenang-sabar-rohani itu.
Dengan sedikit meliukkan badan supaya tidak menyonggol orang-orang yang sedang menyangga piring penuh makanan, saya berhasil melongok menu yang disajikan.
Sebagian besar asing bagiku yang jelata ini. Beberapa hidangan yang kuingat adalah "Chicken Flambe" dan "Thai Steam Boat". Apakah itu? Otak ini tak mampu menerjemahkannya.
Aku sedikit menahan cemas, jangan-jangan semua yang disajikan bercitarasa "asing". Bukan kenapa, aku hanya khawatir tidak bisa makan karena lidahku mungkin saja berontak jika menyentuh makanan berkelas seperti itu.
Dari ujung hingga ke ujung lainnya, aku tak menemukan makanan yang sering kujumpai di kampung halamanku, seperti growol, wajik, jadah, cethot, klepon. Ataupun aneka sayuran yang sering dibuat oleh almarhum ibuku, seperti trancam, pecel, rawon, atau sayur nangka.
Tapi untunglah, setelah sekian lama mencari, aku menemukan Mie Kangkung. Halo kangkung, aku memilihmu.
Meski bingung dan cemas karena "ndeso", aku masih bisa bersyukur karena aneka cita rasa asing itu telah memperkaya pengetahuan dan pengalaman.
Aku juga semakin memahami kenapa banyak orang meyebut presiden kita memiliki wawasan dan orientasi internasional, hingga pidato-pidatonya disandingkan dengan pidato presiden Amerika Serikat dalam buku "Word That Shook The World" karangan Richard Greene yang bersampul tebal dan dijual dengan harga Rp280 ribu per eksemplar itu.
Oleh karena itu, mungkin saya harus bangga. Atau harus menabung supaya bisa membeli buku tentang Pak Presiden?
Kembali ke soal makanan. Rasa penasaranku tentang "Chicken Flambe" belum lenyap. Hasil sikut sana sikut sini membuatku sedikit mengenal jenis makanan ini.
Cambridge Advanced Learner's Dictionary atau kamus yang sering menjadi tempatku mengadu menjelaskan "flambe" termasuk dalam dua kelas kata, kata kerja dan kata sifat.
Sebagai kata kerja, "flambe" berarti menuangkan alkohol di atas makanan selama proses memasak. Sedangkan sebagai kata sifat, "flambe" selalu ditempatkan setelah kata benda untuk menegaskan bahwa kata benda itu dibuat dengan proses penuangan alkohol. Jantungku mulai berdetak....
Pencarianku belum selesai. Kucoba mencari pendapat lain tentang cara pembuatan "Chicken Flambe". Jantungku semakin berdetak lebih cepat setelah tahu kalau "brandy" menjadi salah satu bahan yang digunakan untuk membuat makanan itu. Kalau saya tidak salah, "brandy" berasal dari kata "brandywine", semacam minuman hasil fermentasi anggur dengan kadar alkohol antara 35 persen sampai 60 persen.
Sembari pulang, aku berpikir dan kembali melamun apa pesan yang hendak disampaikan ketika "Chicken Flambe" yang mungkin mengandung alkohol disajikan dalam hidangan buka puasa? kenapa setelah mendengarkan pidato tentang asketisme yang teduh-tenang-sabar-rohani, orang-orang lahap sekali menyantap si "flambe" itu?
Ah..mungkin itu hanya lamunan tidak penting. Semoga saja apa yang saya baca tentang "Chicken Flambe" beralkohol itu tidak benar. Semoga.
Salam semoga.
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Sunday, August 22, 2010
Wortel Partisan
Puri Cikeas, siapa yang tak mengenalnya? Penduduk kawasan itu mendadak mengalami penyempitan ruang gerak akibat pemadatan penghuni akhir-akhir ini.
Pemadatan itu tentu terjadi karena adanya daya tarik. Dan tak bisa dipungkiri Pak SBY, presiden kita, adalah salah satu daya tarik itu. Pak Presiden sudah beberapa lama tinggal di kawasan itu.
Sore itu, 22 Agustus 2010, Puri Cikeas ramai sekali. Mobil-mobil mengkilat berderet menyemut menuju kediaman pak Presiden.
Dari bawah gardu ronda di salah satu tikungan, saya bisa melihat sejumlah tokoh turun dari mobil-mobil tadi.
Oo...pantas mobilnya bagus-bagus, karena yang punya ternyata tokoh-tokoh penting, para kader dan pengurus Partai Demokrat. Sore itu, mereka akan berbuka puasa bersama Pak Presiden yang juga panutan mereka...Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Sungguh bersyukur karena rakyat jelata sepertiku bisa bergabung dalam acara tersebut. Murah hari nian sang empunya rumah.
Seperti biasa, acara yang dihadiri oleh Pak Yudhoyono berlangsung tertib, serba diatur. Setiap pasang mata kader Partai Demokrat tertuju kepada Pak SBY yang berpidato di mimbar. Setiap pasang telinga mengarah pada untaian kalimat rapi jali yang diucapkan oleh pak Presiden.
Soliditas partai nampak dan terasa dari setiap riuh tepuk tangan yang tertata dan terukur. Tentu saja, tepuk tangan meriah, lengkap dengan senyum sumringah para kader.
Loyalitas para kader Partai Demokrat tak perlu dipertanyakan. Sia-sia rasanya meragukan loyalitas awak partai yang sukses meraup dan mendulang suara dalam pemilihan anggota DPR dan presiden itu.
Berbicara tentang loyalitas, saya terhenyak! Bukan karena loyalitas kader telah memenangkan Partai Demokrat, tapi karena potongan wortel.
Kenapa wortel? ya, wortel adalah salah satu sajian untuk acara buka puasa di kediaman Pak Yudhoyono petang itu.
Awalnya biasa saja. Namun, lama kelamaan saya semakin tertarik dengan jenis sayuran yang, katanya, baik untuk kesehatan mata itu. Saat itu, saya tertarik bukan karena khasiatnya, namun karena bentuk...bentuk yang menurut saya terkait dengan loyalitas tadi.
Wortel itu disajikan secara "menyimpang" dari pakem yang biasa dianut kebanyakan orang. Daripada menggunakan kata "menyimpang", telinga sebagian orang mungkin lebih nyaman mendengar bila saya gunakan kata "inovasi". Ya..wortel itu disajikan dengan inovasi tinggi.
Bukannya disajikan dengan memotong wortel melintang sehingga menghasilkan potongan berbentuk lingkaran, tiap irisan wortel Cikeas itu dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai lambang Partai Demokrat, kalau saya tidak salah melihat.
Awalnya, saya menyangka ibu atau bapak yang bertugas menyajikan wortel itu terinspirasi dengan salah satu logo merk produk otomotif kenamaan.
Namun, setelah celingukan, saya tidak menemukan logo perusahaan otomotif itu terpampang sebagai sponsor acara buka puasa tersebut.
Tidak seperti saat upacara kenegaraan di halaman Istana Merdeka, ketika logo perusahaan produsen bahan bangunan dan induk sejumlah usaha, termasuk asuransi, terpampang dalam cenderamata yang dibawa pulang oleh para tamu undangan.
Saat itu saya hakul yakin tidak ada logo perusahaan otomotif terpampang sebagai sponsor kegiatan di kediaman Pak Presiden. Atau saya saja yang kurang cermat mengamati...?
Karena tidak menemukan logo tersebut, benak saya seraya melayang dan mencitrakan logo lain yang sedikit mirip, yaitu logo Partai Demokrat.
Jika prasangka saya benar, wah...hebat sekali ibu atau bapak penyaji menu sore itu. Loyalitas bisa mendorong mereka untuk berinisiatif, sehingga segala pernik acara sore itu terkesan "matching". Acara Partai Demokrat, aksesoris juga harus bernuansa demokrat, termasuk wortel.
Atau bisa jadi saya salah. Tidak pernah ada inisiatif dari bapak ibu yang bekerja di dapur. Bisa jadi para penyaji itu hanya menjalankan tugas, menjalankan arahan, seperti biasanya. Memang, semuanya telah disiapkan dan diatur.
Salam teratur.
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Pemadatan itu tentu terjadi karena adanya daya tarik. Dan tak bisa dipungkiri Pak SBY, presiden kita, adalah salah satu daya tarik itu. Pak Presiden sudah beberapa lama tinggal di kawasan itu.
Sore itu, 22 Agustus 2010, Puri Cikeas ramai sekali. Mobil-mobil mengkilat berderet menyemut menuju kediaman pak Presiden.
Dari bawah gardu ronda di salah satu tikungan, saya bisa melihat sejumlah tokoh turun dari mobil-mobil tadi.
Oo...pantas mobilnya bagus-bagus, karena yang punya ternyata tokoh-tokoh penting, para kader dan pengurus Partai Demokrat. Sore itu, mereka akan berbuka puasa bersama Pak Presiden yang juga panutan mereka...Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Sungguh bersyukur karena rakyat jelata sepertiku bisa bergabung dalam acara tersebut. Murah hari nian sang empunya rumah.
Seperti biasa, acara yang dihadiri oleh Pak Yudhoyono berlangsung tertib, serba diatur. Setiap pasang mata kader Partai Demokrat tertuju kepada Pak SBY yang berpidato di mimbar. Setiap pasang telinga mengarah pada untaian kalimat rapi jali yang diucapkan oleh pak Presiden.
Soliditas partai nampak dan terasa dari setiap riuh tepuk tangan yang tertata dan terukur. Tentu saja, tepuk tangan meriah, lengkap dengan senyum sumringah para kader.
Loyalitas para kader Partai Demokrat tak perlu dipertanyakan. Sia-sia rasanya meragukan loyalitas awak partai yang sukses meraup dan mendulang suara dalam pemilihan anggota DPR dan presiden itu.
Berbicara tentang loyalitas, saya terhenyak! Bukan karena loyalitas kader telah memenangkan Partai Demokrat, tapi karena potongan wortel.
Kenapa wortel? ya, wortel adalah salah satu sajian untuk acara buka puasa di kediaman Pak Yudhoyono petang itu.
Awalnya biasa saja. Namun, lama kelamaan saya semakin tertarik dengan jenis sayuran yang, katanya, baik untuk kesehatan mata itu. Saat itu, saya tertarik bukan karena khasiatnya, namun karena bentuk...bentuk yang menurut saya terkait dengan loyalitas tadi.
Wortel itu disajikan secara "menyimpang" dari pakem yang biasa dianut kebanyakan orang. Daripada menggunakan kata "menyimpang", telinga sebagian orang mungkin lebih nyaman mendengar bila saya gunakan kata "inovasi". Ya..wortel itu disajikan dengan inovasi tinggi.
Bukannya disajikan dengan memotong wortel melintang sehingga menghasilkan potongan berbentuk lingkaran, tiap irisan wortel Cikeas itu dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai lambang Partai Demokrat, kalau saya tidak salah melihat.
Awalnya, saya menyangka ibu atau bapak yang bertugas menyajikan wortel itu terinspirasi dengan salah satu logo merk produk otomotif kenamaan.
Namun, setelah celingukan, saya tidak menemukan logo perusahaan otomotif itu terpampang sebagai sponsor acara buka puasa tersebut.
Tidak seperti saat upacara kenegaraan di halaman Istana Merdeka, ketika logo perusahaan produsen bahan bangunan dan induk sejumlah usaha, termasuk asuransi, terpampang dalam cenderamata yang dibawa pulang oleh para tamu undangan.
Saat itu saya hakul yakin tidak ada logo perusahaan otomotif terpampang sebagai sponsor kegiatan di kediaman Pak Presiden. Atau saya saja yang kurang cermat mengamati...?
Karena tidak menemukan logo tersebut, benak saya seraya melayang dan mencitrakan logo lain yang sedikit mirip, yaitu logo Partai Demokrat.
Jika prasangka saya benar, wah...hebat sekali ibu atau bapak penyaji menu sore itu. Loyalitas bisa mendorong mereka untuk berinisiatif, sehingga segala pernik acara sore itu terkesan "matching". Acara Partai Demokrat, aksesoris juga harus bernuansa demokrat, termasuk wortel.
Atau bisa jadi saya salah. Tidak pernah ada inisiatif dari bapak ibu yang bekerja di dapur. Bisa jadi para penyaji itu hanya menjalankan tugas, menjalankan arahan, seperti biasanya. Memang, semuanya telah disiapkan dan diatur.
Salam teratur.
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Wednesday, August 18, 2010
Cinta Membawa Dewi Soekarno Kembali ke Indonesia
"Dewiku tercinta, Saya dalam keadaan baik dan sangat sibuk dengan konferensi bersama semua panglima militer untuk menyelesaikan konflik di kalangan militer. Jangan khawatir, sayang!, Sayang dan 1000 ciuman, Soekarno."
Untaian kata cinta itu dilayangkan oleh Soekarno kepada pujaan hatinya, Ratna Sari Dewi. Surat singkat itu dikirim melalui kurir Sang Presiden pada 2 Oktober 1965.
Situasi yang memanas di dalam tubuh militer setelah peristiwa 30 September 1965 nampaknya meluluhkan hati Soekarno yang keras. Cintanya membuat Soekarno tak melupakan Dewi, tak lupa melayangkan seribu ciuman kepada wanita Jepang itu.
Naoko Nemoto adalah nama aslinya. Perkenalan dan kisah cintanya dengan Sang Proklamator membawanya ke Indonesia, kemudian menjelma menjadi Ratna Sari Dewi, ketika Indonesia baru saja lahir.
Naoko dilahirkan dalam keluarga sederhana pada 6 Februari 1940. Keluarganya menetap di Tokyo, Jepang, tepatnya di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho.
Keadaan keluarga yang tak berkelimpahan, mendorong Naoko untuk bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada 1955.
Empat tahun kemudian, nasib mengubah hidupnya.
Saat itu, Juni 1959, Soekarno melepas lelah di salah satu kawasan kenamaan di negeri Sakura, Akasaka`s Copacabana. Sang Presiden merasa perlu melepas penat di sela kunjungan kerjanya yang padat, menguras tenaga dan pikiran.
Tanpa rencana, pandangan mata Soekarno menghampiri Naoko Nemoto yang anggun dan gemulai. Melalui perantaraan kolega di Jepang, Soekarno akhirnya berhasil bercengkrama dengan sang dara.
Hari berganti, keduanyapun semakin akrab. Semakin lama Soekarno memandang Naoko, semakin luluh hatinya, dan jatuhlah hati itu dalam dekapan dara Sakura.
Bukan Soekarno kalau tidak melakukan hal yang di luar kebiasaan. Dia boyong Naoko ke Tanah Air. Sejumlah literatur menyatakan keduanya sempat berkelana ke Pulau Dewata, hingga akhirnya bersanding di pelaminan pada 1962.
Jadilah Naoko dara nusantara, Ratna Sari Dewi, lengkap dengan status kewarganegaraan Indonesia. Jadilah dia Ibu Negara, bersama empat Ibu Negara lainnya yang telah disunting oleh Soekarno sebelumnya.
Cinta mempertahankan para Ibu Negara di samping Soekarno. Cinta Soekarno bulat, satu, kemudian dia bagi merata kepada para istrinya.
Cinta Soekarno kepada Ratna Sari Dewi meluap-luap. Ia ceritakan semua seluk beluk pekerjaan kepada Dewi. Dalam setiap surat yang dia kirim di tengah sibuknya aktivitas sebagai petinggi negeri, Soekarno selalu menyapa Dewi dengan sebutan "Dewiku" atau "Sayang".
Saking dekatnya hati mereka, para wartawanpun berusaha mendekati Dewi dengan satu alasan, hanya Dewi yang mengetahui apa yang dilakukan oleh Soekarno.
Begitupun Dewi. Dia menyayangi suaminya sepenuh hati. Meski kadang fisik mereka terpisah samudera, hati Dewi melayang menghampiri Soekarno di tanah air. Hatinya menyertai Sang Presiden dalam setiap pekerjaan, sampai akhir hayatnya.
Secara fisik, Dewi datang ke Indonesia pada 20 Juni 1970, malam hari, sekitar pukul delapan. Bersama anak buah kasihnya dengan Soekarno, Kartika, yang saat itu masih berumur empat tahun. Dewi langsung menuju Wisma Yaso.
Dewi mendampingi suaminya yang sekarat hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam kekuasaan Orde Baru.
Cinta Soekarno dan Indonesia
Kepustakaan Presiden yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebut Soekarno menambatkan hati kepada Dewi bukan hanya karena kecantikannya, namun karena cita rasa Indonesia yang tertanam dalam diri wanita itu.
Kepustakaan tentang para presiden Indonesia itu menyebut Dewi fasih melantunkan tembang "Bengawan Solo" saat hati dan mata mereka petama kali bertemu di negeri Sakura.
Sampai kini, 65 tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Dewi tetap merasa sebagai warga negara Indonesia (WNI).
"Saya lebih lama jadi WNI daripada Anda, ya. Dari 1959. 51 tahun saya WNI," kata Dewi ketika ditemui di Istana Merdeka setelah upacara penurunan bendera untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Pemakai kebaya cokelat itu berada di Indonesia selama tiga hari. Menginjakkan kaki di tanah air pada Senin (16/8) sore dan kembali ke Jepang Rabu (18/8) malam .
"Abis saya kerja di Jepang sekarang," kata Dewi memberi alasan.
Tiga hari di Indonesia dia manfaatkan untuk mengenang suaminya. Selasa pagi hari, dia bergegas untuk melihat kharisma suami tercinta diabadikan dalam sebuah patung di Universitas Bung Karno, Jakarta.
"Sembilan meter tinggi. Bagus sekali...," katanya lirih, sambil tersenyum.
Dia menyempatkan diri kembali ke tanah air untuk menghadiri peresmian patung setinggi sembilan meter itu. Setelah terhambat pembangunannya selama masa Orde Baru, patung itu kini tegak berdiri. Girang Dewi dibuatnya.
"Tadi pagi saya sangat bahagia dan bangga," katanya.
Hati Dewi juga melompat kegirangan ketika sore harinya dia ke Istana Merdeka yang pernah menjadi rumahnya dulu.
Dengan langkah pelan, dia tiba di Istana Merdeka, sore hari sesaat sebelum upacara penurunan bendera dimulai. Dia harus dipapah menaiki tangga istana, meunuju panggung kehormatan tempat dulu suaminya menghabiskan waktu.
Ia mengaku ingin ke Indonesia, dan selalu ingin. Hingga akhirnya, dia pertama kali bisa mengikuti upacara kenegaraan di Istana dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Begitu senang Dewi, hingga dia sangat menyesal tidak membawa kamera foto pribadi.
"Jadi saya tidak dapat ambil foto. Tapi tadi sore saya dapat banyak foto," katanya sambil selalu tersenyum.
Dewi memang tak muda lagi. Dia tetap mengenakan kebaya, meski gurat dan keriput sudah timbul di kulit wajahnya.
Cintanya kepada Indonesia sebesar cintanya kepada Soekarno. Dia mencintai Soekarno karena dia sadar Soekarno juga mencintainya dengan sepenuh hati.
Selalu terngiang curahan hati Soekarno tentang dirinya jika ajal menjemput, "Satukan aku dengan dia dalam satu peti."
Untaian kata cinta itu dilayangkan oleh Soekarno kepada pujaan hatinya, Ratna Sari Dewi. Surat singkat itu dikirim melalui kurir Sang Presiden pada 2 Oktober 1965.
Situasi yang memanas di dalam tubuh militer setelah peristiwa 30 September 1965 nampaknya meluluhkan hati Soekarno yang keras. Cintanya membuat Soekarno tak melupakan Dewi, tak lupa melayangkan seribu ciuman kepada wanita Jepang itu.
Naoko Nemoto adalah nama aslinya. Perkenalan dan kisah cintanya dengan Sang Proklamator membawanya ke Indonesia, kemudian menjelma menjadi Ratna Sari Dewi, ketika Indonesia baru saja lahir.
Naoko dilahirkan dalam keluarga sederhana pada 6 Februari 1940. Keluarganya menetap di Tokyo, Jepang, tepatnya di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho.
Keadaan keluarga yang tak berkelimpahan, mendorong Naoko untuk bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada 1955.
Empat tahun kemudian, nasib mengubah hidupnya.
Saat itu, Juni 1959, Soekarno melepas lelah di salah satu kawasan kenamaan di negeri Sakura, Akasaka`s Copacabana. Sang Presiden merasa perlu melepas penat di sela kunjungan kerjanya yang padat, menguras tenaga dan pikiran.
Tanpa rencana, pandangan mata Soekarno menghampiri Naoko Nemoto yang anggun dan gemulai. Melalui perantaraan kolega di Jepang, Soekarno akhirnya berhasil bercengkrama dengan sang dara.
Hari berganti, keduanyapun semakin akrab. Semakin lama Soekarno memandang Naoko, semakin luluh hatinya, dan jatuhlah hati itu dalam dekapan dara Sakura.
Bukan Soekarno kalau tidak melakukan hal yang di luar kebiasaan. Dia boyong Naoko ke Tanah Air. Sejumlah literatur menyatakan keduanya sempat berkelana ke Pulau Dewata, hingga akhirnya bersanding di pelaminan pada 1962.
Jadilah Naoko dara nusantara, Ratna Sari Dewi, lengkap dengan status kewarganegaraan Indonesia. Jadilah dia Ibu Negara, bersama empat Ibu Negara lainnya yang telah disunting oleh Soekarno sebelumnya.
Cinta mempertahankan para Ibu Negara di samping Soekarno. Cinta Soekarno bulat, satu, kemudian dia bagi merata kepada para istrinya.
Cinta Soekarno kepada Ratna Sari Dewi meluap-luap. Ia ceritakan semua seluk beluk pekerjaan kepada Dewi. Dalam setiap surat yang dia kirim di tengah sibuknya aktivitas sebagai petinggi negeri, Soekarno selalu menyapa Dewi dengan sebutan "Dewiku" atau "Sayang".
Saking dekatnya hati mereka, para wartawanpun berusaha mendekati Dewi dengan satu alasan, hanya Dewi yang mengetahui apa yang dilakukan oleh Soekarno.
Begitupun Dewi. Dia menyayangi suaminya sepenuh hati. Meski kadang fisik mereka terpisah samudera, hati Dewi melayang menghampiri Soekarno di tanah air. Hatinya menyertai Sang Presiden dalam setiap pekerjaan, sampai akhir hayatnya.
Secara fisik, Dewi datang ke Indonesia pada 20 Juni 1970, malam hari, sekitar pukul delapan. Bersama anak buah kasihnya dengan Soekarno, Kartika, yang saat itu masih berumur empat tahun. Dewi langsung menuju Wisma Yaso.
Dewi mendampingi suaminya yang sekarat hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam kekuasaan Orde Baru.
Cinta Soekarno dan Indonesia
Kepustakaan Presiden yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebut Soekarno menambatkan hati kepada Dewi bukan hanya karena kecantikannya, namun karena cita rasa Indonesia yang tertanam dalam diri wanita itu.
Kepustakaan tentang para presiden Indonesia itu menyebut Dewi fasih melantunkan tembang "Bengawan Solo" saat hati dan mata mereka petama kali bertemu di negeri Sakura.
Sampai kini, 65 tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Dewi tetap merasa sebagai warga negara Indonesia (WNI).
"Saya lebih lama jadi WNI daripada Anda, ya. Dari 1959. 51 tahun saya WNI," kata Dewi ketika ditemui di Istana Merdeka setelah upacara penurunan bendera untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Pemakai kebaya cokelat itu berada di Indonesia selama tiga hari. Menginjakkan kaki di tanah air pada Senin (16/8) sore dan kembali ke Jepang Rabu (18/8) malam .
"Abis saya kerja di Jepang sekarang," kata Dewi memberi alasan.
Tiga hari di Indonesia dia manfaatkan untuk mengenang suaminya. Selasa pagi hari, dia bergegas untuk melihat kharisma suami tercinta diabadikan dalam sebuah patung di Universitas Bung Karno, Jakarta.
"Sembilan meter tinggi. Bagus sekali...," katanya lirih, sambil tersenyum.
Dia menyempatkan diri kembali ke tanah air untuk menghadiri peresmian patung setinggi sembilan meter itu. Setelah terhambat pembangunannya selama masa Orde Baru, patung itu kini tegak berdiri. Girang Dewi dibuatnya.
"Tadi pagi saya sangat bahagia dan bangga," katanya.
Hati Dewi juga melompat kegirangan ketika sore harinya dia ke Istana Merdeka yang pernah menjadi rumahnya dulu.
Dengan langkah pelan, dia tiba di Istana Merdeka, sore hari sesaat sebelum upacara penurunan bendera dimulai. Dia harus dipapah menaiki tangga istana, meunuju panggung kehormatan tempat dulu suaminya menghabiskan waktu.
Ia mengaku ingin ke Indonesia, dan selalu ingin. Hingga akhirnya, dia pertama kali bisa mengikuti upacara kenegaraan di Istana dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Begitu senang Dewi, hingga dia sangat menyesal tidak membawa kamera foto pribadi.
"Jadi saya tidak dapat ambil foto. Tapi tadi sore saya dapat banyak foto," katanya sambil selalu tersenyum.
Dewi memang tak muda lagi. Dia tetap mengenakan kebaya, meski gurat dan keriput sudah timbul di kulit wajahnya.
Cintanya kepada Indonesia sebesar cintanya kepada Soekarno. Dia mencintai Soekarno karena dia sadar Soekarno juga mencintainya dengan sepenuh hati.
Selalu terngiang curahan hati Soekarno tentang dirinya jika ajal menjemput, "Satukan aku dengan dia dalam satu peti."
Subscribe to:
Posts (Atom)