Muammar Gaddafi, presiden Libya, juga tak luput dari serangan. Bahkan, menurut pemberitaan internasional, Gaddafi menjadi target dan alasan utama serangan terhadap Libya.
Sang Kolonel Gaddafi dianggap membahayakan karena tega memerintahkan tentara untuk menembak rakyat Libya yang menuntut perubahan. Namun demikian, menurut pemberitaan AFP, pasukan koalisi belum bisa mengetahui keberadaan Gaddafi.
Amerika Serikat dan sekutunya yang tergabung dalam pasukan koalisi melakukan serangan secara terstruktur. Mereka menggempur kekuatan udara Libya, yang kemudian diteruskan dengan menghancurkan segala kekuatan pendukung militer negeri itu.
AFP melaporkan, sejumlah kapal perang Amerika Serikat dan satu kapal selam Inggris telah menembakkan lebih dari 120 rudal Tomahawk pada awal serangan ke Libya.
Sejumlah pesawat tempur, termasuk milik Prancis, juga dilibatkan untuk melumpuhkan kekuatan militer Libya.
Serangan pasukan koalisi itu didasarkan pada resolusi 1973 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi itu mengesahkan keputusan zona larangan terbang di Libya dan memerintahkan semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi warga sipil.
Awalnya, gertakan PBB itu ditanggapi dengan niat gencatan senjata dari kubu Gaddafi. Namun, pada akhirnya pasukan koalisi memutuskan membombardir Libya karena mereka menganggap Gaddafi tetap menyiksa rakyat dan ingkar janji.
Serangan awal itu memperjelas peta geo-politik dunia dan mengidentifikasi pihak-pihak yang saling bemusuhan. Paling tidak, pihak-pihak di balik serangan itu mudah dikenali, karena mereka telah bertemu sesaat sebelum serangan pertama menghujam di Libya.
Pihak-pihak yang bertemu itu adalah Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, para pimpinan Eropa, Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton, Sekjen PBB Ban Ki-moon, serta beberapa utusan Liga Arab, seperti Jordania, Maroko, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Pertemuan yang berlangsung di Prancis itu menyepakati penggunaan kekuatan udara untuk melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB.
Presiden Amerika Serikat, Barack Obama menegaskan, kebijakan politik Amerika Serikat adalah menuntut Gaddafi mundur dari jabatannya.
"Kebijakan AS adalah Gaddafi harus mundur," kata Obama saat konferensi pers bersama Presiden Chile, Sebastian Pinera.
Obama menegaskan, operasi militer negara-negara koalisi adalah bentuk perlindungan terhadap warga sipil Libya dari kekejaman Gaddafi.
"Amerika Serikat tidak bisa diam tanpa kata sementara Gaddafi, yang telah kehilangan legitimasinya, membunuh rakyatnya dan mengancam akan melakukan lebih banyak pembunuhan lagi," kata Obama.
Minyak
Serangan terhadap Libya membuka kembali luka lama dalam perseteruan geo-politik dunia. Keputusan pasukan koalisi ditentang oleh rival abadi, terutama Kuba dan negara-negara lainnya.
Kementerian Luar Negeri Kuba secara resmi mengutuk serangan terhadap Libya. Seperti dilaporakan oleh kantor berita Xinhua, serangan itu adalah bentuk intervensi asing terhadap kedaulatan sebuah negara.
Kementerian Luar Negeri Kuba juga menyatakan dukungan untuk mempertahankan keutuhan wilayah Libya dan kedaulatan atas sumber daya negara itu.
Diskusi tentang sumber daya atau kekayaan Libya pasti berkaitan dengan potensi minyak. Tidak dapat dipungkiri, pemerintahan Libya dibangun di atas tanah yang mengandung minyak--komoditas berharga yang seringkali diperebutkan.
Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) menyatakan, komoditas utama Libya adalah minyak. Selain itu, Libya juga masyur dalam hal cadangan gas dan gipsum.
Dalam laman resminya, OPEC menyatakan sektor minyak menyumbang 95 persen pendapatan ekspor Libya. Minyak juga menopang seperempat pendapatan negara dan sekitar 60 persen dari total upah penduduknya.
OPEC menyatakan, produksi minyak yang melimpah dan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak membuat Libya menjadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di Benua Afrika.
Nuansa yang sama juga dipaparkan oleh badan intelijen Amerika Serikat (CIA) dalam laman resminya. CIA memiliki data yang sangat rinci tentang Libya, mulai dari kondisi geografis hingga pemerintahan, mulai dari sejarah negeri itu hingga kekayaannya.
CIA sependapat dengan OPEC bahwa minyak dan gas adalah produk andalan Libya. Bahkan, dinas rahasia Amerika Serikat itu "mengendus" Libya akan menjadi daya tarik internasional, dengan memompa produksi minyak hingga tiga juta barel per hari pada 2012.
Pada 2009, menurut CIA, produksi minyak di negeri itu mencapai 1,79 juta barel per hari. Kondisi itu menghantarkan Libya menempati urutan ke 18 dalam daftar negara-negara di dunia yang memproduksi minyak paling besar.
Produksi minyak itu mengalahkan United Kingdom yang ikut-ikutan menyerang Libya dan hanya mampu memompa minyak 1,5 juta barel per hari. Prancis, negara anggota koalisi yang juga menyerang Libya, mengalami hal yang sama. Prancis terseok-seok dan hanya mampu menghasilkan minyak hampir 80 ribu barel per hari.
Namun demikian, Libya memang masih tertinggal dari Irak. Irak yang telah ditumbangkan oleh Amerika Serikat itu mampu menghasilkan minyak 2,39 juta barel per hari.
Amerika Serikat sendiri mampu menghasilkan minyak hingga 9,05 juta barel per hari. Namun sebagian besar dari produksi itu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Amerika Serikat hanya mampu mengekspor minyak sejumlah 1,7 juta barel per hari.
Sebaliknya, menurut CIA, Libya mampu menjual sebagian besar minyaknya ke luar negeri. Negeri itu menjual minyak sebanyak 1,54 juta barel per hari dari total produksi 1,7 juta bareal per hari.
CIA bahkan melaporkan, Libya masih memiliki cadangan minyak hingga mencapai 47 miliar barel pada 2010, atau menempati posisi ke-9 dalam daftar negara sedunia dengan cadangan minyak terbesar. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh OPEC, bahwa negeri itu masih memiliki cadangan minyak sebanyak 46,42 miliar barel.
Khusus untuk cadangan minyak, masih menurut CIA, Libya mengalahkan Amerika Serikat. Cadangan minyak negeri Paman Sam itu semakin menipis, yaitu 19,12 miliar barel.
Potensi Libya bukan hanya minyak. Negeri yang pendapatan per kapitanya mencapai 13.800 dolar AS pada 2010 itu juga bisa menghasilkan gas sebanyak 15,9 miliar meter kubik pada 2008.
Negeri itu juga memiliki cadangan gas sebanyak 1.539 triliun meter kubik pada 2010, sehingga berada pada urutan ke 23 dalam daftar negara dengan cadangan gas terbesar di dunia.
Selain itu, Libya juga dikenal dalam industri perminyakan dan industri ketenagalistrikan. Bahkan, negeri itu juga memiliki cadangan dalam bentuk mata uang asing dan emas hingga mencapai 107,3 miliar dolar AS pada 2010.
Sampai dengan hari ketiga, pasukan koalisi masih bersikeras bahwa serangan yang dilaksanakan murni untuk melindungi warga sipil dari kekejaman Gaddafi.
Namun, fakta yang terjadi memperlihatkan bahwa Libya adalah negara kaya minyak yang bergolak secara mendadak. Negeri itu bergolak setelah dua negeri yang mengapitnya, Tunisia dan Mesir, dilanda huru-hara dan tumbang lebih dulu.
Jika Libya menyusul tumbang, maka tiga negeri itu akan menjadi negeri "kalah" yang secara geografis berada pada garis lurus di sisi utara benua Afrika dan berdekatan dengan Terusan Suez--sebuah jalur perdagangan yang ramai.
Bagaimanapun, posisi geo-politik itu akan sangat menguntungkan bagi mereka yang memenangkan perang. Sebuah perang yang berlangsung di atas ceceran darah dan semburan minyak dari perut bumi.
*****